Kelapa dalam Catatan Arkeologi dan Historis: Upaya Pengembangan Kebijakan Tanaman Serba Guna
Main Article Content
Abstract
Abstract
Historical and archaeological sources in this article suggest the Indonesia's coconuts cultivation and varied uses of the tree parts, such as their flowers which produce sap (an ingredient of brown sugar and fermented palm wine), leaves for fish traps/breeding place, roofing materials, and banners. Copras, the main ingredient of oil making, butter, and soap, which are acquired from the coconut flesh, were used to be a worldwide export commodity in Indonesian pre-independence period. Once was only processed into copras, coconut flesh has now product varieties. Nowadays, the demand for coconut has soared but the production ironically is declining. As a matter of fact, Indonesia's coconut plantation is actually the largest in size in the world, yet the products are unfortunately not well-organized as strategic commodity. Furthermore, the plant production is so low that the supply suffers from it. The government seems to focus only on coconut palms, which is ironic due to the horrible environmental damaging effect caused by the exploitative land clearing for the plantations. Coconut palm plantations are mostly owned by rich business people, while the coconuts plantations belong to common people. Most of the people's coconut plantations have old and unproductive trees, which need replanting for the sake of the people welfare improvement.
Abstrak
Sumber sejarah dan arkeologi yang diolah dalam artikel ini memperlihatkan masyarakat Indonesia sudah lama membudidayakan tanaman kelapa dan memanfaatkan berbagai bagian pohonnya. Diantaranya bunga kelapa yang menghasilkan nira (bahan baku gula merah dan tuak), daun kelapa dijadikan rumpon, atap, dan umbul-umbul. Kopra - bahan utama pembuatan minyak, mentega, dan sabun - diperoleh dari daging kelapa, dan sebelum Indonesia merdeka merupakan komoditas ekspor yang mendunia. Dahulu daging kelapa hanya diolah menjadi kopra, saat ini variasi produknya semakin beragam. Kebutuhan kelapa menjadi sangat tinggi, namun produksi kelapa malah cenderung berkurang. Areal tanaman kelapa Indonesia terluas di dunia, namun belum terkelola sebagai komoditas strategis. Produksi tanamannya rendah sehingga pasokan kelapa tidak maksimal. Pemerintah cenderung berfokus pada kelapa sawit, sementara diketahui bahwa perkebunan kelapa sawit yang belakangan banyak dibuka secara besar-besaran ditengarai memunculkan dampak lingkungan yang besar. Bila perkebunan kelapa sawit banyak dimiliki pengusaha kaya, sebagian besar perkebunan kelapa adalah milik rakyat. Sebagian besar perkebunan rakyat itu tanamannya tua dan tidak produktif lagi, sehingga peremajaan tanaman kelapa harus dilakukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Downloads
Article Details
References
Daldjoeni, N, 1992. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni
Darmosoetopo, Riboet, Tjahjono Prasodjo, dan Rita Margaretha Setianingsih, 2007. Pusaka Aksara Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta
Fagan, Brian M, 1988. Archaeology: A Brief Introduction. USA: The Lindbriar Corporation, Scot, Foresman and Company
Fox, James J, 1996. Panen Lontar. Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Rachman, A Kadir & Yudo Sudarto, 1992. Nipah, Sumber Pemanis Baru. Yogyakarta: Kanisius
Koestoro, Lucas Partanda, Andri Restiyadi, dan Ery Soedewo, 2008. Subfosil dan Bangkai Perahu di Pesisir Timur Sumatera Utara, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 20. Medan: Balai Arkeologi Medan
Koestoro, Lucas Partanda dan Ketut Wiradnyana, 2007. Megalithic Traditions in Nias Island. Medan: Medan Archaeological Office dan UNESCO
Leirissa, RZ, 1997. Manfaat Data Arkeologi Bagi Penelitian Sejarah, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII Jilid 1. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 93--106
Manguin, Pierre-Yves, 1989. The trading ships of Insular South-East Asia. New Evidence from Indonesian Archaeological Sites, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V (1). Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia: 200—220
Marsden, William, 2008. Sejarah Sumatera. Depok: Komunitas Bambu
Mubyarto dan Daryanti eds., 1991. Gula. Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media
Nastiti, Titi Surti, 2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII- XI Masehi. Jakarta: Pustaka Jaya
Nastiti, Titi Surti, Dyah Wijaya Dewi & Richadiana Kartakusuma, 1982. Tiga Prasasti dari Masa Balitung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Reid, Anthony, 1992. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450 – 1680. Jilid I: Tanah di Bawah Angin, diterjemahkan oleh Mochtar Pabotinggi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Renfrew, Colin dan Paul Bahn, 1991. Archaeology Theories, Methods, And Practise. London: Thames & Hudson
Sastrapradja, Setijati, dkk., 1980a. Palem Indonesia. Lembaga Biologi Nasional – LIPI. Jakarta: Balai Pustaka
Sastrapradja, Setijati dkk., 1980b. Tanaman Industri, Lembaga Biologi Nasional - LIPI. Jakarta: Balai Pustaka
Setianingsih, Rita Margaretha, 1989. Telaah Singkat Prasasti Dawangsari, makalah dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V di Yogyakarta
_______, 1996. Bencana Alam dan Kerja Bakti Masa Jawa Kuna Serta Catatan Lain Tentang Prasasti Nganjatan, dalam Berkala Arkeologi Tahun XVI Nomor 2. Yogyakarta: Balai Arkeologi
Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore., 1993. Archaeology Discovering Our Past. Second Edition. California: Mayfield Publishing Company.
Slametmulyana, 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara
Soedijanto dan RRM Sianipar, 1991. Kelapa. Jakarta: Yasaguna
Wahyono, Effendi, 2008. Minahasa dalam Jaringan Perdagangan Kopra di Hindia Belanda 1900-1941, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra:129--164
Widiati, R, 2007. Ragam Temuan Dari Situs Kapal Tenggelam Perairan Cirebon, Jawa Barat, dalam Varuna, Jurnal Arkeologi Bawah Air Vol. I/2007. Jakarta: Direktorat Peninggalan Bawah Air: 16--25