Togel Online Terlengkap dan Terpercaya 2022 online togel terlengkap kami menyediakan permainan online togel terbaik dan terpercaya di Indonesia.

Rekomendasi memilih situs online togel tebaik tahun 2021, menerima deposit menggunakan pulsa

AKTIVITAS RELIGI DI SITUS CANDI PERTAPAN KABUPATEN BLITAR, JAWA TIMUR PADA MASA KADIRI HINGGA MAJAPAHIT

 

RELIGIOUS ACTIVITY AT PERTAPAN TEMPLE SITE IN BLITAR REGENCY, EAST JAVA FROM THE KADIRI TO MAJAPAHIT PERIOD

 

Muhamad Satok Yusuf1, I Wayan Srijaya2, dan Coleta Palupi Titasari3

Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Jalan Pulau Nias No. 13 Denpasar Bali

1denjatayu2@gmail.com

2srijaya59@yahoo.com

3palupi_titasari@unud.ac.id

 

Reception date : 01/07/201

Last Revision: 18/11/2021

Acceptation date: 19/11/2021

Published: 25/11/2021

To Cite this article : Yusuf, M Satok, I Wayan Srijaya, and Coleta Palupi Titasari. 2021. “AKTIVITAS RELIGI DI SITUS CANDI PERTAPAN KABUPATEN BLITAR PADA MASA KADIRI HINGGA MAJAPAHIT”. Berkala Arkeologi Sangkhakala 24 (2). Medan, Indonesia, 121-34. https://doi.org/10.24832/bas.v24i2.467.

©2021 Berkala Arkeologi Sangkhakala –This is an open access article under the CC BY-NC-SA license

 

Abstract

The Pertapan Temple Site is the location utilized to worship Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita amid the Kadiri period and Dewarāja Wisnuwarddhana amid the Singhasari-Majapahit period. The location, which is found on the third top of Mount Pegat, is critical to consider, particularly with respect to regarding the religious activities of two different worship activities. This study uses a descriptive qualitative approach with the assistance of religious theory. This study indicate that the senior citizens in 11 areas around Mount Pegat lead by Kaki ri Subhasita worshiped Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita. The worship used the shape of three megalithic sculptures as meda and is carried out until them passing. The worship of Dewarāja Wisnuwarddhana was performed by rulers and their relatives who performed bahyapūja and pitrayajña, probably comprising of 16 arrangement of rites. There’s moreover an atrisandya rite that will be performed by the brahmins who care for the sacred building. The ritual requires water as a means that must be presented.

 

Keywords: religious activity; Pertapan Temple Site; Kadiri-Majapahit.

 

Abstrak

Situs Candi Pertapan merupakan tempat pemujaan yang digunakan untuk memuja Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita pada masa Kadiri dan Dewarāja Wisnuwarddhana pada masa Singhasari-Majapahit. Situs yang berada di Puncak III Gunung Pegat tersebut penting untuk diteliti, khususnya mengenai aktivitas religi dari dua aktivitas pemujaan yang berbeda. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan bantuan teori religi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para tetua di 11 wilayah sekitar Gunung Pegat dipimpin Kaki ri Subhasita melakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita. Pemujaan tersebut menggunakan media berupa tiga arca tradisi megalitik dan dilakukan hingga wafatnya. Pemujaan Dewaraja Wisnuwarddhana dilakukan untuk memuliakan leluhur Raja Singhasari, dilakukan oleh para raja dan kerabatnya yang melakukan bahyapūja dan pitrayajña, dengan kemungkinan terdiri atas 16 rangkaian ritual. Terdapat pula ritual atrisandya yang kemungkinan dilakukan para brahmana pengurus bangunan suci tersebut. Ritual tersebut membutuhkan air sebagai sarana yang wajib dihadirkan.

 

Kata kunci: aktivitas religi; Situs Candi Pertapan; Kadiri-Majapahit.

 


PENDAHULUAN

Masyarakat pada masa Hindu-Buddha di Jawa Timur menganggap bahwa gunung atau dataran tinggi merupakan tempat yang sakral. Kesakralannya dibuktikan melalui tinggalan berupa bangunan suci yang digunakan sebagai tempat peribadatan pada masa lalu. Fenomena tersebut juga ditemukan di Gunung Pegat Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur yang memiliki banyak tinggalan arkeologi, salah satunya adalah struktur dan komponen bangunan yang lazim disebut sebagai situs Candi Pertapan.

Situs Candi Pertapan berlokasi di Puncak III rangkaian Perbukitan Pegat (masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Gunung Pegat), Dusun Ngemplak, Desa Bagelenan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Bangunan pada situs tersebut menyisakan sebuah struktur candi bermaterial batu andesit, berukuran 14 x 12 x 1,2 meter, menghadap ke barat. Struktur berada di koordinat 112º05,073’ Bujur Timur dan 8º03,016’ Lintang Selatan dengan vegetasi di sekitarnya, berupa pohon kepuh (Sterculia foetida), kelor (Moringa oleifer), akasia (Acacia auriculiformis), dan bambu betung (Dendrocalamus asper). Di candi tersebut juga didapati bakal kepala kala, bakal antefiks sudut, yoni, umpak segi sepuluh, umpak segi empat, dan balok komponen bangunan. Terdapat pula bakal makara  yang jatuh ke selatan kaki Gunung Pegat, berada di tepi jalan Dusun Ngemplak. Akses menuju situs tersebut cukup mudah, sebab Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Bagelenan telah membangun jalan wisata menuju ke situs tersebut. Situs tersebut pada masa kini menjadi tempat wisata dan ziarah masyarakat Blitar dan sekitarnya.

Situs tersebut pernah diteliti beberapa kali, baik pada masa Belanda maupun paska kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda melakukan ekskavasi pada situs tersebut tahun 1914 dan berhasil menampakkan struktur kaki candi, komponen bangunan yang berserakan, dan fragmen prasasti Subhasita. Rogier Diederik Marius Verbeek (1915, 339–41) dalam Rapporten van Den Oudheidkundigen Dients in Nederlandsh-Indie menginventaris tinggalan arkeologi di situs Candi Pertapan dan Kekunoan Mleri. Inventaris tersebut mencatat struktur Candi Pertapan, komponen bangunan penting seperti kepala kala, yoni, relief, fragmen prasasti Subhasita (1120 Saka), dan prasasti Blitar I (1237 Saka)[1]. Jan Laurens Andries Brandes (1913, 180) melakukan pembacaan prasasti Subhasita yang dimuat dalam Oud Javaansche Oorkonden. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kaki ri Subhasita, berisi seruan kepada para buyut dan rama di 11 daerah sekitarnya untuk memuja Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita hingga akhir zaman. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jawa Timur juga melakukan reinventarisasi pada tahun 1995 dan 2010, serta melakukan studi kelayakan penyelamatan dan pengamanan situs tersebut pada tahun 2016.

Penelitian mutakhir dilakukan oleh Muhamad Satok Yusuf (2021, 179–91) dalam skripsinya mengenai fungsi keagamaan di Kawasan Gunung Pegat, termasuk fungsi Candi Pertapan. Candi Pertapan pada mulanya digunakan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita pada masa pemerintahan Raja Ktajaya dari Kadiri tahun 1120 Saka. Raja Ktanāgara dari Singhasari kemudian membangun candi pendharmaan Dewarāja Wisnuwarddhana sekitar tahun 1202 Saka. Bangunan candi pendharmaan tersebut tampaknya belum selesai didirikan atau malah telah rusak, sehingga dibangun ulang oleh Raja Jayanāgara dari Kerajaan Majapahit pada tahun 1237 Saka.

Kajian mengenai aktivitas religi belum dilakukan di wilayah itu. Padahal kajian semacam itu sangat penting untuk memberikan sumbangan pengetahuan tentang rekonstruksi kehidupan religi masyarakat setempat pada masanya. Lewis Binford (dalam, Mundardjito 1993, 5) memaparkan salah satu tujuan arkeologi adalah merekonstruksi kehidupan manusia di masa lampau. Koentjaraningrat (2015, 150–52) juga memandang bahwa artefak merupakan salah satu dari tiga wujud kebudayaan manusia. Manusia memiliki sebuah ide, kemudian diwujudkan dalam bentuk aktivitas dan bermuara pada artefak yang telah dikerjakan. Dengan demikian, pada dasarnya artefak tidak dapat dilepaskan dari ide dan aktivitas manusia. Artefak di situs Candi Pertapan merupakan hasil dari ide dan penanda aktivitas manusia di masa lalu, khususnya dari periode Kadiri hingga Majapahit. Melalui artefak yang masih didapati di situs Candi Pertapan, peneliti dapat merekonstruksi kehidupan manusia khususnya yang berhubungan dengan aktivitas religi.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini berupa bagaimana aktivitas religi masyarakat di situs Candi Pertapan pada masa Kadiri-Majapahit? Rumusan tersebut berupaya mengungkap aktivitas religi manusia yang didasarkan atas komponen religi. Koentjaraningrat (2015, 293) mengajukan terdapat lima komponen religi, yaitu (1) emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus, (4) peralatan ritus, dan (5) umat agama. Munandar (1990, 16–17) memaparkan bahwa rekonstruksi aktivitas religi yang didasarkan pada kelima komponen religi yang paling memungkinkan diteliti adalah komponen keempat (peralatan ritus) karena tinggalan artefaktualnya masih dijumpai. Adapun komponen lainnya yang memungkinkan ditelusuri berupa sistem keyakinan yang dianut masyarakatnya. Mengenai komponen lain dapat diteliti apabila terdapat sumber kesusastraan pendukung.

 

METODE

Penelitian ini diawali dari pengumpulan data, melalui observasi, wawancara, dan kajian pustaka. Observasi dilakukan di situs Candi Pertapan, Kekunoan Mleri Blitar, Museum Wajakensis Tulungagung, Museum Penataran Blitar, dan Pengelolaan Informasi Majapahit Mojokerto, meliputi pengamatan terhadap tinggalan arkeologi beserta lanskap pendukungnya. Lokasi penelitian berada di lima tempat sebab beberapa tinggalan arkeologi dari situs Candi Pertapan telah dipindah. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan secara tidak terstruktur karena lebih menekankan perolehan informasi dari informan tanpa batasan dan runtutan pertanyaan (Rosaliza 2015). Kajian pustaka dilakukan untuk menunjang literatur penelitian ini, melalui perolehan berbagai informasi yang tercatat dalam laporan penelitian, artikel ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, buku, dan sumber tertulis lainnya.

Analisis penelitian ini dilakukan setelah semua data terkumpul, menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif pada dasarnya menekankan pendeskripsian dari suatu peristiwa di lapangan secara holistik melalui kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks ilmiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong 2014, 6).

Teori religi digunakan dalam penelitian ini untuk membantu kerangka analisis. Religi menurut Koentjaraningrat (2015, 293–95) merupakan kepercayaan yang secara universal, berupa anggapan terhadap hal gaib yang maha dahsyat dan keramat (adikodrati), tidak mungkin dicakup akal dan pikiran manusia, menimbulkan kekaguman, menarik perhatian, serta mendorong hasrat untuk menghayati rasa bersatu manusia denganNya.

Melford Elliot Spiro (1977, 96–98) memaparkan bahwa religi merupakan suatu pranata yang berupa interaksi terpola dalam kebudayaan serta hasrat superhuman beings (kepercayaan bahwa ada hal yang menguasai kekuatan lebih dari manusia, penentu nasib baik/buruk, serta dapat menjalankan hubungan dengan manusia dalam berbagai tingkatan). Pranata tersebut adalah agama yang memiliki ciri, berupa terdapat kelompok sosial, terbentuk dari berbagai anasir kebudayaan terdahulu, dan mengalami proses pembudayaan (enkulturasi). Dengan demikian, variabel dari aktivitas keagamaan meliputi kepercayaan normatif, kegiatan ibadah bersama, dan nilai agama yang bermakna bagi manusia.

Kedua pandangan ahli tersebut menjadi kerangka dalam analisis penelitian ini. Komponen religi menjadi acuan untuk merekonstruksi aktivitas religi masyarakat di situs Candi Pertapan, sedangkan pranata dalam religi menjadi variabel dalam penentuan rekonstruksi aktivitas religi yang dilakukan masyarakat tersebut pada masa Kadiri-Majapahit.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fungsi Situs Candi Pertapan pada Masa Kadiri-Majapahit

Situs Candi Pertapan seperti uraian sebelumnya, merupakan bangunan suci yang difungsikan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita, kemudian dialih fungsikan menjadi candi pendharmaan Dewarāja Wisnuwarddhana (lihat gambar 1). Mengenai fungsi dari bangunan tersebut perlu dijelaskan kembali sebagai pengantar dari upaya rekonstruksi aktivitas religi masyarakat di situs Candi Pertapan pada masa Kadiri-Majapahit.

Yusuf (2021, 115–27) memaparkan bahwa pada mulanya wilayah Puncak III Gunung Pegat digunakan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita berdasarkan berita dalam prasasti Subhasita (1120 Saka) (lihat gambar 2). Jenis tempat peribadatan kabuyutan tidak lazim ditemukan di Jawa pada abad ke-12, karena bangunan tersebut lazim ditemukan di Sunda pada abad ke-15 (Septiani 2010; Saringendyati 1996).


 

Gambar 1. Struktur Candi Pertapan.

(Sumber: Dokumentasi Yusuf 2021)


Pada sekitar tahun 1202 Saka, Raja Kṛtanāgara dari Singhasari mendirikan candi pendharmaan di bekas tempat pemujaan Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita. Candi tersebut kemungkinan belum selesai pembangunannya atau malah sudah rusak, kemudian diperbarui oleh Raja Jayanāgara dari Majapahit pada tahun 1237 Saka berdasarkan temuan prasasti Blitar I (1237 Saka) (Yusuf 2021, 132–41).

Penggunaan situs Candi Pertapan untuk dua fungsi tersebut pada dasarnya tidak terlalu berbeda. Keduanya merupakan tempat suci. Kabuyutan berasal dari kata buyut, berarti moyang, cicit, yang tertua, dan tua-tua. Pengertian dari kabuyutan sendiri adalah sesuatu yang dipuja, aktivitas pemujaan, tempat suci, dan tempat pemujaan (Zoetmulder and Robson 1995, 146). Berdasarkan konteks bahwa prasasti Subhasita menyebutkan sebuah tempat pemujaan, maka kabuyutan dalam konteks ini adalah tempat suci pemujaan. Tempat tersebut dinamai Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita, sedangkan aspek yang dipuja kemungkinan adalah Sang Hyang Buyut ri Subhasita. Ketokohan Sang Hyang Buyut ri Subhasita tidak diketahui dengan jelas sebab keterbatasan informasi. Tokoh tersebut kemungkinan besar merupakan leluhur anonim yang dipercaya masyarakat di Kawasan Gunung Pegat sebagai tokoh yang kultus dan berpengaruh. Pandangan tersebut serupa dengan pandangan masyarakat dalam tradisi megalitik yang juga berkembang pada masa Majapahit hingga masa kini di Jawa. Hal itu terlihat dari tradisi nyadran/sraddha yang mulanya untuk memperingati 12 tahun kematian tokoh di Majapahit dengan mendirikan candi pendharmaan (Muljana 2011, 268; 381), kemudian bergeser menjadi ziarah ke tempat keramat yang dipercaya sebagai pusara leluhur desa.

Gambar 2. Prasasti Subhasita (1120 S).

(Sumber: Dokumentasi Yusuf 2021)

Candi pendharmaan merupakan bangunan suci untuk memuliakan tokoh yang telah meninggal. Tokoh tersebut telah dianggap bersatu dengan dewa yang dipujanya ketika masih hidup, ditandai dengan penggambaran wujud tokoh dalam rupa arca manusia perwujudan dewa. Arca manusia perwujudan dewa pada masa Singhasari dan Majapahit awal pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan arca perwujudan dewa seperti umumnya. Pembedanya adalah adanya anggapan masyarakat terhadap arca tertentu yang dianggap perwujudan dewa serta diberitakan dalam naskah kesusastraan seperti Nāgaraktāgama dan Pararaton. Candi pendharmaan memiliki perbedaan konsep dengan candi pemujaan dewa, khususnya pada objek yang dipuja. Objek yang dipuja pada candi pendharmaan masa Singhasari-Majapahit awal berupa tokoh manusia yang diperdewa (dewarāja) dengan rupa arca manusia perwujudan dewa, sedangkan objek yang dipuja pada candi pemujaan dewa berupa tokoh dewa yang diwujudkan dalam arca dewa.

Candi pendharmaan di Puncak III Gunung Pegat (selanjutnya disebut Candi Pertapan) merupakan tempat pemuliaan Dewarāja Wisnuwarddhana. Raja Wisnuwarddhana telah mangkat tahun 1190 Saka berdasarkan uraian kakawin Nāgarakṛtāgama. Empu Prapañca dalam kakawin tersebut menuliskan bahwa sang raja dicandikan di dua tempat, di Waleri dengan arca Śiwa dan di Jajaghu dengan arca Buddha (Muljana 2011, 360). Tempat pendharmaan yang pertama lah yang diduga kuat merupakan Candi Pertapan di Puncak III Gunung Pegat. Hal itu didasarkan atas toponimi Weleri dan Waleri yang disebut dalam Prasasti Mleri I (1091 Saka) dan prasasti Subhasita (1120 Saka), keduanya ditemukan di Kawasan Gunung Pegat (Brandes 1913, 180; Yahuda 2017, 30–35). Toponimi tersebut pada masa kini menjadi nama sadranan (tempat keramat) Kyai Ageng Mleri/Kekunoan Mleri di lembah selatan Puncak III Gunung Pegat.

 

Sistem Keyakinan Masyarakat Pendukung Situs Candi Pertapan

Religi pada dasarnya terdiri atas beberapa sistem yang terpadu, salah satunya terdiri atas sistem keyakinan. Sistem keyakinan menurut Koentjaraningrat (2015, 295–96) merupakan sistem yang terdiri dari atas banyak subunsur, namun cenderung mengarah terhadap konsep dewa-dewi; konsep makhluk halus lainnya, seperti roh leluhur, roh makhluk baik, dan roh makhluk jahat, hantu; dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah penciptaan alam (kosmogoni); masalah sifat dan bentuk alam (kosmologi); konsep hidup dan mati; serta dunia roh dan akhirat.

Sistem keyakinan tersebut pada dasarnya merupakan ide manusia dan berada di dalam pikirannya. Ketika ia melakukan aktivitas berdasarkan ide tersebut, maka manusia melaksanakan ritus yang oleh Koentjaraningrat digolongkan ke dalam sistem upacara keagamaan. Sistem upacara ini membutuhkan sarana dan prasarana untuk mewujudkan kelancaran dan kepuasan hasrat manusia mendekati Tuhannya. Dengan demikian, artefak menempati posisi sebagai sarana dan prasarana yang digunakan dalam sistem upacara tersebut, seperti bangunan pemujaan, persembahan, berbagai alat penanda ritus, dan prasarana pendukung lainnya.

Keberadaan prasasti Subhasita dan situs Candi Pertapan menjadi penanda dari adanya keyakinan yang dianut masyarakat di wilayah itu pada masa lalu. Keyakinan itulah yang menjadi roda penggerak dari ritual yang dilakukan, seperti pemujaan terhadap roh leluhur pada tiga periode kerajaan yang berbeda (Kadiri, Singhasari, dan Majapahit). Sistem keyakinan inilah yang menjadi dasar dari segala jenis aktivitas religi di wilayah itu, sehingga perlu dikaji terlebih dahulu.

Masyarakat pada masa Hindu-Buddha tidak sepenuhnya memuja dewa-dewi Hindu dan Buddha. Mereka juga memuja roh-roh leluhur, diluar dewata Hindu-Buddha. Fenomena tersebut dapat ditemukan di berbagai tempat di Jawa, seperti tinggalan arca-arca leluhur di Bogor, Gunung Arjuno, Gunung Bromo-Semeru, dan di Gunung Pegat, dengan ciri berupa arca-arca sederhana tradisi megalitik. Arca tersebut berwujud manusia dalam bentuk sederhana, hanya menampakkan simbol-simbol penting manusia (seperti kepala, mata, mulut, badan, dan alat kelami), tidak terlalu mementingkan aspek naturalis dan harmoni morfologi seperti arca-arca masa Hindu-Buddha, sebagai simbol dari leluhur yang telah mangkat (Suantara, Bawono, and Titasari 2016, 87). Tradisi tersebut telah lahir sejak masa Neolitik, kemudian berkembang hingga masa Hindu-Buddha dan berdampingan.

Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita merupakan tempat pemujaan leluhur masyarakat sekitar Gunung Pegat pada masa Kadiri akhir. Terdapat tiga arca sederhana tradisi megalitik yang kini berada di halaman rumah Bapak Sarni, kaki sisi selatan Gunung Pegat. Arca-arca tersebut menggambarkan tokoh manusia dengan fisik kepala hingga dada saja, sebuah diantaranya dilengkapi kedua tangan (lihat gambar 3). Keberadaan arca-arca tersebut dapat dihubungkan dengan tempat suci kabuyutan tersebut.


 

A rock with a face carved into it

Description automatically generated with low confidence

Gambar 3. Arca tradisi megalitik yang berasal dari situs Candi Pertapan.

(Sumber: Dokumentasi Yusuf 2021)


Etty Saringendyati (1996, 48–53) memaparkan bahwa kabuyutan merupakan tempat suci untuk pemujaan leluhur yang sudah mangkat, baik yang diketahui identitasnya maupun anonim. Bentuk bangunan kabuyutan dapat berupa punden berundak, atau bahkan pelataran terbuka serta gunung yang juga dianggap sebagai kabuyutan. Dani Sunjana (2019, 46–47) menegaskan bahwa kabuyutan merupakan tempat pemujaan leluhur dengan objek pemujaan yang berafiliasi terhadap leluhur, tidak seperti candi yang berafiliasi terhadap dewata Hindu-Buddha.

Suci Septiani (2010, 70) mengajukan pandapat bahwa kabuyutan lahir karena ketidakpuasan masyarakat terhadap politeisme Hindu-Buddha. Ketidakpuasan tersebut dilandasi oleh kebingungan pemuja terhadap entitas siapakah yang benar-benar berkuasa dalam kepercayaan yang dianutnya. Oleh karenanya, pemuja kemudian mengambil keputusan untuk kembali kepada akar religi Nusantara, yakni kepercayaan terhadap roh-roh leluhur.

Konsep tersebut tampaknya juga terkristalisasi dalam pandangan masyarakat Majapahit. Masyarakat Majapahit meyakini bahwa gunung merupakan superhuman beings. Indikasi tersebut didapati dari sumber kesusastraan dan tinggalan arkeologinya.

Kakawin Nāgarakṛtāgama memberitakan peran gunung sebagai salah satu dari kekuatan yang diseru dalam pembukaan sebagai Śrī Prawatanata (1.1), penentu nasib buruk bagi para durjana (1.4), dan Bhatāra Girinata yang menjelma kepada Raja Hayam Wuruk (1.5) (Muljana 2011, 337–38). Entitas gunung sebagai superhuman beings dalam pandangan masyarakat Jawa Kuno disebut parwatarājadewa. Parwatarājadewa pada dasarnya bukan dewa Hindu atau Buddha, melainkan kekuatan gaib sebagai dewa asli Nusantara yang berupa gunung itu sendiri sebagai raja para dewa (Soepomo 1972).

Konsep parwatarājadewa mengilhami pendirian bangunan suci Palah (Candi Panataran) yang diberikan sima oleh raja Kṛtajaya dari Kadiri dan diperbesar oleh raja-raja Majapahit (Lutfi 1991; Yusuf 2020). Kuat dugaan, konsep tersebut merupakan enkulturasi dari pandangan bahwa gunung merupakan alam suci tempat tinggal roh-roh leluhur. Pandangan tersebut kemudian dicampurkan dengan pandangan baru dari India tentang kedewaan, sehingga tercipta konsep parwatarājadewa yang memiliki peran penting dalam religi masyarakat Jawa Kuno.

Masyarakat di Kawasan Gunung Pegat tampaknya menyadari adanya superhuman beings dalam wujud Gunung Pegat yang didiami roh-roh leluhur. Hal itulah yang melandasi pendirian Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita berada di Puncak III Gunung Pegat. Adanya temuan tiga arca tradisi megalitik juga menjadi petunjuk media pemujaan terhadap roh-roh leluhur anonim di wilayah itu. Hal ini merupakan fenomena yang cukup menarik, sebab terdapat dua jenis kesenian yang dapat berjalan berdampingan, yakni seni pahat berlanggam tradisi megalitik (tiga arca sederhana) dan seni pahat terpengaruh langgam India (prasasti Subhasita dengan aksara Jawa Kuno dan bahasa Jawa Kuno pada sebuah monolith andesit dengan lapik padmasana ganda).

Keyakinan selanjutnya dari masyarakat pendukung Situs Candi Pertapan adalah kepercayaan terhadap dewarāja. Dewarāja adalah paham masyarakat pada masa Hindu-Buddha bahwa raja merupakan titisan dewa, simbol dari Yang Mahakuasa dalam lingkup kerajaan, serta ia akan menyatu denganNya ketika sudah wafat. Paham tersebut berkembang di Asia Tenggara Daratan dan Kepulauan sejak abad ke-4 hingga ke-20 Masehi (Coedes 2017, 241; Heine-Geldern 1982, 16–27).

Gagasan dewarāja juga dianut oleh raja-raja Singhasari, termasuk Raja Wisnuwarddhana. Ia memiliki nama lain Narāryya Sminiŋrat atau Ranggawuni, kemudian mendapat gelar abiseka Bhatāra Winuwarddhana. Pemerintahannya didampingi oleh Mahisa Campaka atau Narasinghamurtti, bagaikan Kresna dengan kakaknya (Baladewa) atau sepasang naga. Ketika wafat, ia didharmakan di dua tempat sebagai Śiwa dan Buddha (Muljana 2011, 365–66; Kriswanto 2009, 67; Boechari and Wibowo 1986, 182–83). Berdasarkan biografi singkat tersebut, dapat diketahui bahwa Raja Wisnuwarddhana menganut konsepsi dewarāja, sebagai titisan Wisnu, Śiwa, dan Buddha.

Konsep raja sebagai titisan Wisnu di Jawa Kuno merupakan hal yang lazim. Pada dasarnya raja-raja Jawa Kuno wajib menjadi pengayom dan pemelihara kerajaannya, bagaikan Dewa Wisnu yang memelihara dunia (cakrawarttin). Hal itu tercermin jelas dalam prasasti Pucangan yang menyebut Raja Airlangga sebagai ksatrya mahāpurusa yang merupakan penjelmaan Wisnu untuk mencurahkan seluruh hidupnya sebagai śrī mahārāja (Susanti 2010, 88–89). Konsep Airlangga sebagai ksatrya mahāpurusa sama dengan Wisnuwarddhana sebagai Kresna atau namanya sendiri sebagai Wisnu, keduanya merupakan penjelmaan Dewa Wisnu di dunia sebagai pemimpin dan pemelihara kerajaan. Mengenai kemakmuran Kerajaan Singhasari pada masa pemerintahan Raja Wisnuwarddhana dibuktikan dengan tiada konflik pertumpahan darah antarpangeran di Singhasari sebagaimana terjadi sebelumnya dalam berita Pararaton, pembagian jabatan kepada sanak saudara di berbagai wilayah dalam prasasti Mūla Maluruŋ, serta pembangunan kota Canggu yang menjadi cikal bakal pelabuhan Canggu berdasarkan uraian Kakawin Nāgarakṛtāgama (Muljana 2011, 365–66; Kriswanto 2009, 49–69; Boechari and Wibowo 1986, 182–86).

Selanjutnya, masyarakat meyakini bahwa Raja Wisnuwarddhana merupakan titisan Dewa Śiwa dan Buddha. Hal itu didasarkan atas pendirian candi pendharmaannya sebagai Śiwa di Waleri dan Buddha di Jajaghu. Konsep pendharmaan raja sebagai Śiwa dan Buddha semacam itu telah terjadi sejak masa pemerintahan raja pertama Singhasari bernama Ken Aŋrok. Dewa Śiwa merupakan dewa populer dalam agama Hindu di Indonesia, sedangkan agama Buddha menjadi agama yang datang lebih dahulu sebelum pengaruh Hindu ke beberapa wilayah di Indonesia.

Kecakapan pemerintahan Raja Wisnuwarddhana menjadi panutan bagi Raja Kṛtanāgara. Hal itu dibuktikan dengan pengiriman arca Amoghapasa yang merupakan arca perwujudan Raja Wisnuwarddhana sebagai Buddha kepada Raja Malayu untuk menggalang persatuan Nusantara pada tahun 1208 Saka (Utomo 2009, 2–5). Selanjutnya, lokasi Candi Pertapan sebagai dharmma i walari merupakan wilayah pendharmaan raja-raja Singhasari terjauh dari keraton. Candi-candi pendharmaan raja-raja Singhasari biasanya berlokasi di Malang dan Pasuruan, tak jauh dari ibukota Singhasari. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya wilayah Waleri pada masa lalu sehingga Raja Kṛtanāgara perlu mendirikan candi pendharmaan ayahnya.

Raja Kṛtanāgara tampaknya mengikuti konsep Ken Aŋrok yang menarik simpati para agamawan Kadiri. Ken Aŋrok menarik hati agamawan Kadiri dengan cara tampil sebagai pelindungnya dari raja zalim yang ‘mabuk agama’ bernama Ktajaya (Kriswanto 2009, 52–57). Konsep itu tampaknya juga diikuti Raja Kṛtanāgara dengan cara mengambil hati agamawan Weleri, khususnya pengikut Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita. Weleri pada masa pra-Singhasari merupakan salah satu wilayah penting dalam perpolitikan Kadiri. Wilayah itu menjadi desa yang diberikan anugerah sima oleh Raja Aryyeswara dari Kadiri pada tahun 1091 Saka dan terdapat tempat pemujaan leluhur hingga akhir zaman dengan pengikut dari 11 wilayah di sekitar Gunung Pegat pada masa pemerintahan Raja Kṛtajaya tahun 1120 Saka.

Berdasarkan uraian tersebut, Raja Kṛtanāgara tampaknya telah memahami betul kondisi wilayah di Waleri, terlebih ia pernah menjabat sebagai yuwaraja dan bertakhta di Daha berdasarkan uraian prasasti Mūla Maluruŋ (Boechari and Wibowo 1986, 182–83), tentu sangat paham dengan situasi kekuasaan Singhasari di barat, termasuk wilayah Gunung Pegat. Ia kemudian berupaya mengambil hati agamawan di Waleri yang memiliki pengaruh luas hingga ke 11 wilayah di sekitar Gunung Pegat, melalui pendirian candi pendharmaan Dewarāja Wisnuwarddhana di bekas tempat pemujaan Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita. Melalui pendirian bangunan tersebut, ia berupaya menarik simpati rakyat Waleri agar loyal terhadap penguasa Singhasari, layaknya yang dilakukan Ken Aŋrok.

Aktivitas Religi di Situs Candi Pertapan

Aktivitas religi yang dipaparkan berikut mengacu terhadap komponen keagamaan yang dipaparkan oleh Koentjaraningrat, namun tidak semua komponen dapat diteliti mengingat keterbatasan data. Komponen sistem keyakinan telah dipaparkan pada subbab sebelumnya, sedangkan komponen emosi keagamaan tidak dapat diketahui sebab keterbatasan sumber tertulis. Komponen yang mungkin dapat direkonstruksi terhadap aktivitas religi di situs Candi Pertapan adalah sistem ritus, peralatan ritus, dan umat agama. Ketiga komponen tersebut dihadirkan dalam dua bagian, komponen pada aktivitas religi pada Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita dan candi pendharmaan Dewarāja Wisnurwarddhana.

Sistem ritus yang dilakukan masyarakat di Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita belum dapat direkonstruksi sebab keterbatasan data. Berita dalam prasasti Subhasita hanya memberitahukan seruan Kaki ri Subhasita kepada pemimpin di 11 wilayah sekitar Gunung Pegat untuk memuja Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita hingga akhir zaman. Sayangnya, penulis prasasti (citralekha) tidak memerikan ritus tersebut.

Masyarakat menggunakan peralatan ritus di kabuyutan tersebut, antara lain, tiga arca tradisi megalitik, umpak segi sepuluh, Patirtan Jaran Dawuk, dan bak air. Tiga arca tradisi megalitik menjadi media pemujaan masyarakat terhadap roh leluhur yang anonim. Identitas ketokohan arca tersebut tidak diketahui, kecuali jenis kelaminnya saja yang sering dipahatkan dengan simbol alat vital. Mengenai nama, peran, hingga status penggambaran arca tersebut tidak diketahui. Hal itulah yang melatarbelakangi pemujaan roh-roh leluhur anonim yang disimbolkan melalui arca anonim.

Arca-arca pada dasarnya hanyalah media manusia agar fokus dalam beribadah. Melalui keberadaan arca, para pemuja akan merasakan (sense) citra objek yang dipujanya, atau dalam bahasa lain arca merupakan penggambaran paling sederhana dari kekuatan adikodrati sesuai bahasa yang dipahami manusia. Dengan demikian, arca tetaplah arca, sedangkan pemuja akan berdoa kepada kekuatan adikodrati, bukan terhadap arca tersebut.

Kehadiran patirtan di sekitar bangunan suci memiliki peran yang cukup signifikan terhadap kelangsungan ritus religi. Kitab arsitektur India kuno seperti Manasara Silpa Sastra dan Silpa Prakasa mengungkapkan tentang pendirian bangunan suci (candi) yang harus berdekatan dengan perairan. Peraturan tersebut dipertegas dalam kitab Bhat Sahita LV.4-8 dan Bhavisva Pūrana I.CXXX.11-5 yang menyebutkan lokasi bangunan suci hendaknya harus berdekatan dengan air, terutama di pertemuan sungai, danau, laut, bahkan kalau perlu dibuatkan kolam atau menghadirkan wadah air di dekat pintu masuknya (Kramsich, dalam Srijaya 1996, 14–15).

Berdasarkan konsep tersebut, Patirtan Jaran Dawuk dapat dihubungkan dengan kabuyutan tersebut. Hal ini didasarkan atas pendapat I Wayan Srijaya (1996, 166–76), bahwa pendirian bangunan suci di sekitar perairan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, serta merupakan bentuk kearifan masyarakat masa lalu yang berhasil mengintegrasikan bangunan suci dengan berbagai fasilitas pendukung ritual dan kehidupan sehari-hari. Lokasi Patirtan Jaran Dawuk berada di kaki utara Gunung Pegat, menjadikan para pelaku ritual harus menuruni dataran tersebut untuk mengambil air. Selanjutnya, air tersebut mungkin saja ditampung di bak air dari batu yang ditemukan di sekitar situs.

Komponen religi selanjutnya adalah umat agama. Umat agama dalam konteks ini berupa pelaku ritus di kabuyutan tersebut. Prasasti Subhasita menuliskan daftar 11 wilayah yang diseru oleh Kaki ri Subhasita untuk melakukan ritual di Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita. Wilayah tersebut, antara lain Kabuyutan di Makudutan, Manghuri taa Subhasita, Wleri, Pandyasan, Luwem, Lajiran, Rawadi, Trinayana, Jalas( )i( )ha, Lwapandak, dan Padlegan. Hanya tiga dari 11 wilayah tersebut yang masih dapat dilacak hingga saat ini, yaitu Manghuri yang kini menjadi Dusun Nguri Desa Selokajang Kecamatan Sanankulon-Blitar, Wleri yang merupakan toponimi desa kuno di selatan Gunung Pegat (kini tersisa toponimi Makam Kyai Ageng Mleri/Kekunoan Mleri), dan Padlegan yang berada di Kecamatan Wonodadi-Blitar hingga Kecamatan Ngantru-Tulungagung. Jika menilik keluasan tiga wilayah tersebut, maka dapat direkonstruksi perkiraan luas pengaruh Kaki ri Subhasita dalam bidang religi sejauh 15km ke arah barat dan 7km ke arah selatan.

Adapun nama-nama tokoh yang diseru oleh Kaki ri Subhasita, antara lain, Dūwan ri Manghuri (dari) Kabuyutan Turuŋ Sunga, Buyut Rama Kulajaya ri Wleri, Bu(yut) Sri( )ka, Buyut …, Buyut Bukuŋ juru Mpu Santaraja, dan Kabayan riŋ Pamalajaran maaran Sa( )la Buyut…. Terdapat enam tokoh dari 11 wilayah yang disebutkan dalam prasasti Subhasita. Keenam tokoh tersebut masing-masing menyandang gelar buyut, kecuali Dūwan ri Manghuri dan Kabayan riŋ Pamalajaran. Buyut dalam Kamus Jawa Kuno berarti tetua, yang dituakan (Zoetmulder and Robson 1995, 146–47). Hal ini mengindikasikan bahwa tokoh-tokoh yang diseru oleh Kaki ri Subhasita adalah tokoh yang telah berusia lanjut, sehingga diseru untuk beribadah di kabuyutan tersebut hingga akhir zaman, dalam pengertian hingga akhir masa hidup sang pelaku ritual.


 

 

Gambar 4. Prasasti Subhasita (1120 S) berisi seruan pemujaan (kiri) dan prasasati Sentono Dowo (1130 S) berisi ajaran filsafat (kiri).

(Sumber: Dokumentasi Yusuf 2021)

 


Selanjutnya, mengenai Dūwan ri Manghuri dan Kabayan riŋ Pamalajaran tampaknya menunjukkan identitasnya sebagai pejabat penting dalam politik di wilayah itu. Dūwan berarti kepala daerah setingkat desa, sedangkan kabayan merupakan tetua atau pemimpin (Zoetmulder and Robson 1995, 241), dalam konteks ini dapat diartikan serupa dengan makna dūwan. Selanjutnya, Dūwan ri Manghuri berasal dari Kabuyutan Turuŋ Sunga. Dengan demikianada kemungkinan pula bahwa Kabayan riŋ Pamalajaran juga berasal dari suatu kabuyutan di wilayahnya. Hal itu menunjukkan bahwa ada upaya dari para tokoh politik untuk mendapatkan ketentraman batin melalui aktivitas religi di tempat suci semacam kabuyutan. Aktivitas demikian juga ditunjukkan oleh para raja Jawa terdahulu, seperti Raja Airlangga yang mengundurkan diri di karesian dan menjadi pendeta dengan nama aji paduka mpungku saŋ pinakacatra niŋ bhūwana dan Raja Kṛtajaya yang dikabarkan Kakawin Nāgarakṛtāgama dan Pararaton berada di alam kedewaan (=parhyangan, dapat diartikan salah satu jenis bangunan suci) paska kekalahannya melawan Ken Aŋrok di pertempuran utara Desa Gantěr (Kriswanto 2009, 55–57; Muljana 2011, 365; Susanti 2010, 101).

Kaki ri Subhasita menjadi pemimpin dari ritual di Kabuyutan ri Subhasita. Gelarnya sebagai kaki menarik perhatian, sebab dalam tingkatan karesian gelar kaki disematkan bagi para murid laki-laki dari maharsi yang menjadi pertapa (Purwanto 2017, 172). Dengan demikian, tampaknya Kaki ri Subhasita merupakan salah satu murid dari sebuah mandala karesian yang kemudian berdakwah di areal Gunung Pegat. Walau statusnya hanya murid dari sebuah karesian, tampaknya ia memiliki kekuasaan politik-religi yang besar di wilayah itu, sehingga dapat mengeluarkan prasasti layaknya raja yang berisi seruan aktivitas religi. Kekuasaannya tersebut menunjukkan indikasi hubungannya dengan kerajaan cukup baik. Hal itu didasarkan atas bentuk prasasti Subhasita yang serupa dengan prasasti raja-raja Kadiri, berupa berbentuk akolade, terdapat bidang lencana di bagian muka atas, serta lapik prasasti berbentuk padmasana ganda, berbeda dengan prasasti yang ditulis agamawan masa Kṛtajaya lainnya yang berisi mantra filsafat, seperti contoh Prasasti Sentono Dowo (lihat gambar 4) yang ditemukan 1km di utara Candi Panataran, terbaca:

1130

Dhibhūta bhawa

Krtālan

Komponen religi kedua berhubungan dengan aktivitas religi pada Candi Pertapan yang menjadi tempat pendharmaan Dewarāja Wisnuwarddhana. Komponen religi yang pertama berupa sistem religi telah dibahas di subbab sebelumnya. Komponen religi sarana ritual yang ditemukan di candi tersebut, antara lain struktur candi beserta komponennya, yoni, empat umpak segi empat, 2 panil relief berkisah Arjunawiwaha, 10 panil relief berkisah kehidupan manusia sehari-hari, prasasti Blitar I (saat ini tidak diketahui keberadaannya), sumur tadah hujan, bak air, dan Patirtan Jaran Dawuk.

Candi pada dasarnya merupakan bangunan pelindung dari arca yang menjadi media pemujaan. Nafas keagamaan candi tentu menyesuaikan dengan nafas keagamaan arcanya. Candi Pertapan memiliki dua panil relief Arjunawiwaha dan sebuah yoni yang mengindikasikan nafas keagamaan Hindu-Śiwa. Hal itu dipertegas dengan berita dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama bahwa Raja Wisnuwarddhana dicandikan di Waleri sebagai Śiwa. Dengan demikian, maka dahulunya arca yang ada di dalam candi sekurang-kurangnya Śiwa atau dapat disimbolkan dengan lingga yoni.

Bangunan candi pendharmaan menjadi tempat pemujaan bagi kerabat atau keturunan raja yang telah mangkat tersebut. Hal itu diberitakan dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama bahwa Raja Hayam Wuruk mengunjungi candi pendharmaan di Kalayu, Kagenengan, dan Jajawar untuk melakukan pemujaan terhadap leluhurnya (Muljana 2011, 357; 361–62; 376–77). Pemujaan dalam agama Hindu dikenal dua jenis, yaitu bahyapūja (puja luar) yang menggunakan sarana pemujaan sthūlaśarīra (simbol dewa) berupa arca, yantra, dan lambang tertentu seperti lingga yoni dalam prosesi pemujaan; dan antarpūja (puja dalam) yang memuja dewa di dalam pikiran tanpa menggunakan sarana pemujaan (Santiko 1987, 430). Adapun masyarakat Jawa Kuno juga mengenal dua jenis pemujaan, yaitu dewayajña (pemujaan dewa) dan pitrayajña (pemujaan nenek moyang) (Muusses, dalam Lutfi 1991, 55).

Berdasarkan dua macam pemujaan tersebut, tampaknya pemujaan di Candi Pertapan termasuk dalam bahyapūja. Hal itu didasarkan atas temuan sthūlaśarīra berupa yoni. Mengenai yoni itu sendiri dapat berupa pasangan dari lingga atau malah sebagai pedestal dari arca Śiwa seperti temuan yoni sebagai pedestal arca-arca di Candi Prambanan. Di luar permasalahan tersebut, yoni tersebut merupakan sarana pemujaan yang umumnya ditemukan di dalam bangunan candi (garbagha).

Prosesi pemujaan dalam agama Hindu di India terdiri atas 16 rangkaian, antara lain (1) āyāhana (berdoa kepada dewa), (2) sthāpana (menegakkan arca), (3) padya (menyucikan diri dengan air), (4) ācamana (menghirup air dari telapak tangan), (5) arghya (memberikan sesaji berupa beras dan air), (6) abhiseka (memandikan arca dengan air), (7) yastropayīta (memakaian busana dan wewangin pada arca), (8) pupāñjali (memberikan sesaji bunga), (9) dhūpadīpa (memberikan sesaji kemenyan dan asap-asapan pada arca), (10) naiyedya (memberikan sesaji makanan yang dimasak), (11) bali (memberikan sesaji kurban), (12) homa (membakar kurban), (13) nityosatya (melakukan perjamuan), (14) yādya (membunyikan musik), (15) nartana (menari), dan (16) udyāsana (memberikan nasihat) (Liebert 1976, 229). Prosesi semacam itu juga dilakukan oleh Raja Hayam Wuruk saat menyekar ke candi pendharmaan leluhurnya walau tidak disebutkan secara rinci. Ia bersama pengiringnya melakukan anyěkar/mapupa (mempersembahkan sesaji bunga) di Candi Singhasari, Kagenengan, dan Jajawar dengan segala perlengkapan, harta, makanan, dan bunga, serta melakukan jamuan di paseban sehabis melakukan anyěkar maměgat sigi di Candi Kalayu dengan diiringi musik genderang dan gendang serta tari tandak (Muljana 2011, 357, 361, 376–78).

Berdasarkan ketentuan pemujaan tersebut, kemungkinan besar prosesi pemujaan di Candi Pertapan juga demikian. Prosesi pemujaan diawali dari berdoa, kemudian pemuja bersuci dengan air, memandikan arca, memberikan berbagai sesaji, dan diakhiri jamuan yang diselingi tarian dan musik.

Mengenai umat yang melaksanakan pemujaan pada candi pendharmaan dapat ditelusuri melalui sumber Kakawin Nāgarakṛtāgama pupuh ke-36-37. Empu Prapañca memberitakan bahwa Raja Hayam Wuruk menuju ke Candi Kagenengan diiringi pengikut yang membawa segala keperluan peribadatan. Ketika ia keluar candi, ia dikerumuni segenap rakyat, pendeta Śiwa-Buddha dan para bangsawan (Muljana 2011, 361–62). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang memasuki candi pendharmaan adalah raja seorang (atau keluarga raja) beserta pengikutnya yang berkepentingan. Adapun para pejabat dan rakyat yang tidak melakukan pemujaan menunggu di luar pagar candi.

Kembali ke pembahasan sarana dan prasarana, keberadaan wadah penampung air seperti bak air, sumur tadah hujan, dan Patirtan Jaran Dawuk sangat berperan penting dalam prosesi pemujaan di Candi Pertapan. Terdapat sekurang-kurangnya empat dari 16 prosesi upacara yang menggunakan media air, yakni padya, ācamana, argya, dan abhiseka. Air yang ditampung pada tiga tinggalan arkeologi berbeda di sekitar Candi Pertapan sangat dibutuhkan untuk mendukung kelangsungan ritual upacara tersebut. Bahkan, para Brahmana Śiwa akan melakukan ritual atrisandya (mandi di kolam tiga waktu:pagi, siang, malam) sebelum melakukan upacara, layaknya yang dilakukan Dewa Śiwa dalam Tantu Panggelaran (Munandar 2016, 53–56). Kemungkinan besar ritual atrisandya juga dilakukan brahmana di Kawasan Gunung Pegat, mengingat di wilayah itu juga didapati banyak tinggalan arkeologi lainnya yang berhubungan dengan aktivitas religi.

 

KESIMPULAN

Aktivitas religi yang dilakukan masyarakat pada masa Kadiri-Majapahit di situs Candi Pertapan didasarkan atas dua konsep, yaitu pemujaan terhadap Sang Hyang Kabuyutan ri Subhasita sebagai leluhur anonim pada masa Kadiri akhir dan pemujaan Dewarāja Wisnuwarddhana di bekas tempat pemujaan leluhur tersebut pada masa Singhasari-Majapahit. Pemujaan kedunya serupa, namun tak sama. Masyarakat pada masa Kadiri memuja roh leluhur anonim yang merupakan kelanjutan dari tradisi megalitik di era Hindu-Buddha, sedangkan masyarakat pada masa Singhasari-Majapahit memuja roh raja yang telah mangkat yang dianggap sebagai leluhur.

Pemujaan di tempat itu dibagi menjadi dua, pada masa Kadiri dilakukan oleh para tetua di 11 wilayah sekitar Gunung Pegat yang dipimpin oleh Kaki ri Subhasita berdasarkan berita prasasti Subhasita, dengan objek pemujaan berupa tiga arca tradisi megalitik. Adapun pemujaan pada masa Singhasari-Majapahit dilakukan oleh para raja dan keluarganya untuk memuliakan Dewarāja Wisnuwarddhana yang telah dicandikan dengan arca Siwa, berupa bahyapūja untuk pitrayajña dengan kemungkinan melakukan 16 rangkaian ritual pemujaan seperti di India dan berita dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama. Ada pula kemungkinan para agamawan pengurus candi pendharmaan (Candi Pertapan) tersebut melakukan atrisandya layaknya para agamawan di Gunung Penanggungan, mengingat telah mengenal konsep parwatarājadewa.

Penelitian di kawasan Gunung Pegat masih jarang dilakukan. Padahal, potensi sumber daya arkeologi di wilayah itu cukup banyak, khususnya dari masa Hindu-Buddha. Terlebih, terdapat beberapa indikasi bangunan suci yang masih terpendam di kawasan tersebut yang memerlukan penelitian dan ekskavasi lebih lanjut. Kepada masyarakat Bagelenan, Pemerintah Kabupaten Blitar, dan BPCB Provinsi Jawa Timur diharapkan agar meningkatkan sinergitas untuk pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan tinggalan arkeologi di wilayah itu yang menjadi bagian dari dari wisata religi masyarakat Blitar dan sekitarnya.

 

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Sunarmi selaku juru pelihara Kekunoan Mleri, Ibu Sri Suyanti selaku staf Museum Penataran Blitar, Bapak Hariyadi selaku staf Museum Wajakensis Tulungagung, Drs. Agus Supriyanto selaku Kepala Desa Bagelenan, dan BPCB Provinsi Jawa Timur atas dukungan dan kemudahan akses untuk melakukan penelitian di situs Candi Pertapan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Boechari, and A.S. Wibowo. 1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional. Jakarta: Museum Nasional Jakarta.

 

Brandes, Jan Laurens Andries. 1913. “Oud-Javaansche Oorkonden.” In Verhandelingen van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten En Wetenschappen LX. Batavia: Albrecht & Co.

 

Coedes, George. 2017. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kerjasama Kepustakaan Populer Gramedia dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

 

Heine-Geldern, Robert. 1982. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja Di Asia Tenggara. Edited by Deliah Noer. Jakarta: C.V. Rajawali.

 

Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

 

Kriswanto, Agung. 2009. Pararaton Alih Aksara Dan Terjemahan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

 

Liebert, George. 1976. Iconography Dictionary of Indian Religions Hinduis-Buddhis-Jains. Leiden: E.J.Brill.

 

Lutfi, Ismail. 1991. “Telaah Prasasti Palah Dalam Hubungannya Dengan Candi Panataran.” Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. https://www.researchgate.net/publication/336667222_Telaah_Prasasti_Palah_Dalam_Hubungannya_dengan_Candi_Panataran.

 

Moleong, J. Lexy. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

 

Muljana, Slamet. 2011. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Bantul: PT LKiS Printing Cemerlang.

 

Munandar, Agus Aris. 1990. “Kegiatan Keagamaan Di Pawitra: Gunung Suci Di Jawa Timur Abad 14-15 M.” Tesis. Universitas Indonesia.

 

———. 2016. Arkeologi Pawitra. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

 

Mundardjito. 1993. “Pertimbangan Ekologis Dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Buda Di Daerah Yogyakarta.” Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

 

Purwanto, Heri. 2017. “Kehidupan Beragama Di Lereng Barat Gunung Lawu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah Abad Ke-14-15 Masehi.” Skripsi. Denpasar: Universitas Udayana.

 

Rosaliza, Mita. 2015. “Wawancara, Sebuah Interaksi Komunikasi Dalam Penelitian Kualitatif.” Jurnal Ilmu Budaya 11 (2): 71–79. https://doi.org/https://doi.org/10.31849/jib.v11i2.1099.

 

Santiko, Hariani. 1987. “Kedudukan Bhatari Durga Di Jawa Pada Abad X-XV Masehi.” Jakarta: Universitas Indonesia.

 

Saringendyati, Etty. 1996. “Penempatan Situs Upacara Masa Hindu-Buda: Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan Di Jawa Barat.” Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

 

Septiani, Suci. 2010. “Aktivitas Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda Abad Ke-14 Hingga Awal Abad Ke-16 Masehi Berdasarkan Data Tertulis Dan Tinggalan Arkeologi: Suatu Penelitian Awal.” Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

 

Soepomo, S. 1972. “Lord Mountains in the Fourtheenth Century Kakawin.” Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania 128 (2): 281–97. https://doi.org/10.1163/22134379-90002751.

 

Spiro, Melford. E. 1977. “Religion: Problems of Definition and Explanation.” In Anthropological Approaches to the Study of Religion, 85–126. London: Tavistock Publications.

 

Srijaya, I Wayan. 1996. “Pola Persebaran Situs Keagamaan Masa Hindu-Buda Di Kabupaten Gianyar, Bali: Suatu Kajian Ekologi.” Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

 

Suantara, I.W.E., R.A. Bawono, and C.P. Titasari. 2016. “Perubahan Fungsi Dan Tinggalan Tradisi Megalitik Di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.” Jurnal Humanis Fakultas Ilmu Budaya Unud 17 (2): 86–93.

 

Sunjana, Dani. 2019. “Gunung Sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan Dan Skriptoria Masa Sunda Kuno.” Purbawidya 2 (8): 97–111. https://doi.org/10.24164/pw.v8i2.305.

 

Susanti, Ninie. 2010. Airlangga Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta: Komunitas Bambu.

 

Utomo, Bambang Budi. 2009. “Majapahit Dalam Lintas Pelayaran Dan Perdagangan Nusantara.” Berkala Arkeologi 29 (2): 1–14. https://doi.org/10.30883/jba.v29i2.375.

 

Verbeek, Rogier D. M. 1915. Rapporten van Den Oudheidkundigen Dients in Nederlandsh-Indie 2. Batavia: Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

 

Yahuda, Hasbullah Tawwus. 2017. “Kajian Epigrafi Prasasti Meleri I 10(91) Saka/1169 Masehi: Prasasti Masa Kadiri Dengan Askara Yang Sebagian Besar Telah Rusak.” Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

 

Yusuf, Muhamad Satok. 2020. “Blitar Tanah Suci Tiga Kerajaan.” Desawarnana - Warta Kepurbakalaan Jawa Timur 20 (11): 43–51.

 

———. 2021. “Aktivitas Religi Di Kawasan Gunung Pegat Periode Kadiri, Singhasari Hingga Majapahit.” Skripsi. Denpasar: Universitas Udayana.

 

Zoetmulder, P.J., and S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Edited by Darusuprapta and Sumarti Suprayitna. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

 

 


 



[1] Prasasti Subhasita kini disimpan di Museum Wajakensis Tulungagung, sedangkan Prasasti Blitar I hilang. Informasi terakhir prasasti Blitar I dipindah ke Pendopo Ronggo Hadinegoro Kabupaten Blitar, namun kemudian tidak diketahui lagi keberadaannya sejak pemindahan koleksi arkeologi ke Museum Penataran pada tahun 1998. Prasasti tersebut belum sempat diteliti isinya lebih lanjut.