PERTANGGALAN PUSTAHA LAKLAK DAN NASKAH BAMBU
DI BAGAS GODANG HUTA GODANG, MANDAILING NATAL
THE DATE OF PUSTAHA LAKLAK AND BAMBOO MANUSCRIPTS
IN BAGAS GODANG HUTA GODANG, MANDAILING NATAL
Churmatin Nasoichah1, Nenggih Susilowati, dan Andri Restiyadi
Balai Arkeologi Provinsi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg.Arkeologi No. 1,Tanjung Selamat, Medan
1churmatin.nasoichah@kemdikbud.go.id
Reception date : 12/04/2021 |
Last Revision: 10/11/2021 |
Acceptation date: 12/11/2021 |
Published: 25/11/2021 |
To Cite this article : Nasoichah, Churmatin, Nenggih Susilowati, and Andri Restiyadi. 2021. “RENTANG MASA DAN BUDAYA MANDAILING PADA PUSTAHA LAKLAK DAN NASKAH BAMBU DI BAGAS GODANG HUTA GODANG, MANDAILING NATAL”. Berkala Arkeologi Sangkhakala 24 (2). Medan, Indonesia, 75-86. https://doi.org/10.24832/bas.v24i2.461. |
©2021 Berkala Arkeologi Sangkhakala –This is an open access article under the CC BY-NC-SA license |
Abstract
The Mandailing people have a writing habit that develops in their region. The influence of Hindu-Buddhist culture has influenced the culture of writing in the communities around the area. The use of written sources with local characters, one of which is found in Bagas Godang Hut Godang, Kec. Ulu Pungkut, Mandailing Natal. From the results of the research before, it is not certain that the time span of making and using these manuscripts by the Mandailing people in the past cannot be ascertained. Through this background, the research problem is related to the span of time of making and using pustaha laklak and bamboo manuscripts stored in godang huta Godang bagas, Ulu Pungkut District, Mandailing Natal Regency, North Sumatra. Besides that, what is the description of the Mandailing community during that period. The research was conducted by survey, laboratory analysis, literature study, and interviews. From the analysis, it is known that pustaha laklak A-2/2014 was made and used in the range of 1720 - 1890 AD and the bamboo manuscript B-5/2014 was made and used in the range of 1790 - 1950 AD. In the mid-19th century or 18th - 20th centuries, in Mandailing there were many small kingdoms ruled by a huta king. The existence of pustaha laklak A-2/2014 and bamboo manuscripts B-5/2014 is proof that in the XVIII—XX AD the Mandailing region was still a small kingdom consisting of several huta (villages).
Keywords: Mandailing; pustaha laklak; bamboo manuscripts; huta
Abstrak
Masyarakat Mandailing memiliki kebiasaan menulis yang berkembang di wilayahnya. Pengaruh budaya Hindu-Buddha telah mempengaruhi budaya menulis pada masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Penggunaan sumber tertulis dengan aksara lokal, salah satunya terdapat pada Bagas Godang Huta Godang, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Dari hasil penelitian sebelumnya belum ditemukan rentang masa pembuatan dan penggunaan naskah-naskah tersebut oleh masyarakat Mandailing pada masa lalu. Masalah penelitian ini terkait rentang masa pembuatan dan penggunaan pustaha laklak dan naskah bambu yang disimpan di Bagas Godang Huta Godang. Selain itu bagaimana gambaran masyarakat Mandailing pada rentang masa tersebut. Penelitian dilakukan dengan survei, analisis laboratorium, studi literatur, serta wawancara. Dari hasil analisis diketahui bahwa pustaha laklak A-2/2014 dibuat dan digunakan pada kisaran tahun 1720 - 1890 dan naskah bambu B-5/2014 tersebut dibuat dan digunakan pada kisaran tahun 1790 - 1950. Pada pertengahan abad XIX atau abad XVIII sampai dengan XX, di Mandailing terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang raja huta. Keberadaan pustaha laklak A-2/2014 dan naskah bambu B-5/2014 ini sebagai bukti bahwa pada abad XVIII—XX-an wilayah Mandailing masih berupa kerajaan kecil yang terdiri dari beberapa huta (kampung).
Kata kunci: Mandailing; pustaha laklak; naskah bambu; huta
PENDAHULUAN
Sumatera Utara merupakan wilayah yang didiami oleh masyarakat dari berbagai etnis dengan budaya dan tradisinya, salah satunya adalah Mandailing. Secara karakteristik, Mandailing memiliki banyak kemiripan dengan sub-etnis bermarga lainnya seperti Angkola, Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak. Sub-etnis tersebut memiliki bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa membedakan sedikitnya dua cabang yang perbedaannya begitu besar sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi di antara kedua kelompok tersebut. Bahasa Mandailing, Angkola, dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri di antara rumpun selatan dan utara (Kozok 2009, 13).
Masyarakat Mandailing dan masyarakat sub-etnis lainnya seperti Angkola, Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak memiliki kebiasaan menulis yang berkembang di masing-masing wilayahnya. Pengaruh budaya Hindu-Buddha yang sebelumnya telah berkembang di wilayah Padang Lawas, Mandailing dan Barus dengan ditemukannya sejumlah prasasti beraksara Sumatera Kuno (Paleo-Sumatera) telah mempengaruhi budaya menulis pada masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Seiring berjalannya waktu, muncullah bentuk aksara lokal yang merupakan perkembangan dari aksara Sumatera Kuno (Paleo-Sumatera). Penyebutan aksara lokal tersebut mencakup bentuk-bentuk aksara yang ditemukan di wilayah Mandailing, Angkola, Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak. Meskipun masing-masing di wilayah tersebut memiliki sedikit perbedaan namun secara keseluruhan strukturnya sama yaitu adanya penggunaan ina ni surat dan anak ni surat.
Pada zaman dahulu masyarakat Mandailing menggunakan pustaha laklak dan naskah bambu untuk wadah penulisan. Pustaha laklak berisi ilmu kedukunan (hadatuan) yang di dalamnya berupa mantra, ramuan, nasihat, ilmu perbintangan dan juga ramalan, sedangkan naskah bambu umumnya berisi porhalaan (kalender) dan nasihat. Umumnya kedua naskah tersebut dimiliki oleh seorang datu yang merupakan pemimpin ritual atau raja dari suatu huta (kampung) yang pada masa kemudian ketika tidak difungsikan lagi, naskah-naskah tersebut disimpan oleh keturunannya.
Masyarakat Mandailing sebagian besar mendiami wilayah di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Terdapat beberapa tempat yang masih menyimpan naskah-naskah kuno beraksara lokal salah satunya di Bagas Godang Huta Godang, Kecamatan Ulu Pungkut. Naskah kuno tersebut berupa pustaha laklak dan naskah bambu. Bagas Godang Huta Godang merupakan satu bangunan peninggalan keturunan raja bermarga Lubis yang terletak di 00̊ 32’ 43” LU dan 99̊ 46’ 01” BT dengan ketinggian 822 meter di atas permukaan laut. Bagas Godang ini selain menyimpan beberapa pustaha laklak dan naskah bambu, juga menyimpan beberapa artefak. Artefak yang ada selain menggambarkan aktivitas profan, juga berkaitan dengan aktivitas sakral yang pernah berlangsung di Bagas Godang tersebut. Artefak yang berkaitan dengan aktivitas sakral merupakan bagian dari kepercayaan masa lalu yang pernah ada di huta/ kampung Godang dan menjadi bagian budaya masyarakatnya.
Pada tahun 2014, Balai Arkeologi Sumatera Utara telah melakukan penelitian terkait naskah-naskah kuno. Dari hasil penelitian didapatkan 9 naskah kuno yang terdiri dari 4 pustaha laklak dan 5 naskah bambu (Nasoichah dkk. 2014, 9–17). Dari kesembilan naskah tersebut terdapat 1 naskah bambu yang telah dialihaksarakan dan dialihbahasakan yaitu naskah bambu Namanongon Ribut (B-2/2014). Naskah tersebut berisi tentang cara pembuatan naskah bambu dan nasihat dalam menjalani bahtera rumah tangga (Nasoichah 2013, 127). Selain itu ada 1 pustaha laklak (A-1/2014) yang juga telah dialihaksarakan dan dialihbahasakan yaitu Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas. Naskah tersebut berisi nasehat dari mantra rambu di porhas untuk melawan musuh. Di dalam naskah tersebut juga berisi doa kepada debata dan roh nenek moyang rambu di porhas, permintaan untuk menyerang musuh, nasehat, ramuan, mantra, nama bulan dan hari dalam kalender, ramalan, dan hari baik (Nasoichah dkk. 2020, 21–22).
Gambar 1. Bagas Godang Huta Godang
(Sumber: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2014)
Sejauh ini penelitian yang telah dilakukan belum dapat memastikan rentang masa pembuatan dan penggunaan naskah-naskah kuno oleh masyarakat Mandailing pada masa lalu. Penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya hanya berupa studi komparatif dengan membandingkannya dengan artefak atau situs di sekitar yang kemungkinan dibuat dan digunakan pada kisaran abad XVIII sampai awal abad XX. Perlu adanya analisis lain untuk dapat menguatkan argumen tersebut sehingga penelitian ini akan lebih difokuskan pada rentang masa pembuatan dan penggunaan naskah-naskah kuno.
Melalui tersebut maka yang menjadi permasalahan adalah rentang masa pembuatan dan penggunaan pustaha laklak dan naskah bambu yang disimpan di Bagas Godang Huta Godang. Selain itu bagaimana gambaran masyarakat Mandailing pada rentang masa pembuatan dan penggunaan pustaha laklak dan naskah bambu tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rentang masa pembuatan dan penggunaan pustaha laklak dan naskah bambu yang disimpan di Bagas Godang Huta Godang serta untuk mengetahui gambaran masyarakat Mandailing yang berkembang pada rentang masa tersebut.
Wujud kebudayaan terdiri dari tiga bagian yaitu gagasa/ ide, aktivitas, dan artefak (Hoenigman dalam Koentjaraningrat 2009). Gagasan adalah kumpulan ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, yang bersifat abstrak. Aktivitas merupakan suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut dengan sistem sosial. Kemudian artefak disebut sebagai wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia bersifat konkret. Tiga wujud kebudayaan itu juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sejarah budaya dan lingkungan alamnya. Pustaha laklak dan naskah bambu sebagai artefak merupakan hasil karya manusia dengan aktivitas sosial yang berlangsung pada masanya, serta di dalamnya terkandung gagasan/ ide-ide yang luhur dari penulisnya. Pustaha laklak dan naskah bambu bukan hasil karya biasa walaupun di dalamnya terdapat panduan atau catatan pribadi para datu (dukun). Dalam naskah kuno tersebut terkandung pengalaman, pengetahuan, tradisi, religi, dan gambaran kehidupan pada masa itu dengan kepercayaan animisme-dinamisme. Religi yang berkaitan dengan roh-roh leluhur dan roh-roh yang menguasai alam (hutan, huta (kampung), sungai, dan gunung) atau yang disebut sipelebegu.
Untuk mengetahui pertanggalan absolut atau kapan pustaha laklak dan naskah bambu di Bagas Godang Huta Godang tersebut dibuat dan digunakan maka dilakukan analisis AMS (Accelerator Mass Spectrometry) dengan mengambil beberapa sampel kecil dari bahan naskah tersebut.
Analisis AMS (Accelerator Mass Spectrometry) merupakan analisis radiokarbon yang memungkinkan sampel dengan ukuran kecil dapat diberikan pertanggalan. Hal ini berarti sampel dengan ukuran yang sangat kecil yang sebelumnya dianggap tidak sesuai lebih memungkinkan untuk dapat dianalisis sehingga dapat menambah informasi dalam tahap interpretasi. Oleh sebab itu para ilmuwan saat ini dapat mengumpulkan sampel yang lebih banyak jenis varian berdasarkan spesies individu sehingga dengan lebih banyak pengukuran radiokarbon yang dapat menghasilkan evaluasi kronologis yang lebih rinci. Pembersihan unsur kimia dilakukan untuk menghilangkan kontaminan sehingga sampel-sampel tersebut dapat dianalisis dengan meminimalisir kerusakan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan cara survei, analisis laboratorium, studi literatur, serta wawancara. Survei dilakukan untuk mendeskripsikan artefak yang berupa pustaha laklak dan naskah bambu yang disimpan di Bagas Godang Huta Godang. Analisis laboratorium dilakukan dengan menggunakan analisis AMS (Accelerator Mass Spectrometry) dengan mengirimkan sampel dari beberapa bahan naskah kuno yaitu pustaha laklak A-2/2014 dan naskah bambu B-5/2014. Tujuan dari analisis tersebut yaitu untuk mengetahui unsur penanggalannya. Sampel yang dikirimkan berupa serpihan dan potongan kecil dari bahan pustaha laklak dan naskah bambu tersebut. Studi literatur dilakukan untuk mendukung data penelitian dengan mengumpulkan berbagai sumber kajian penelitian naskah-naskah kuno beraksara Mandailing terutama pada naskah-naskah kuno yang memiliki bahan, bentuk aksara, bahasa dan isi yang sama. Wawancara dilakukan sebagai data dukung informasi untuk menguatkan analisis yang dilakukan. Hasil dari analisis tersebut kemudian akan digunakan untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rentang Masa Pembuatan dan Penggunaan Pustaha Laklak dan Naskah Bambu
Pustaha laklak dan naskah bambu yang tersimpan di bangunan Bagas Godang Huta Godang berjumlah 9 naskah di antaranya Pustaha Laklak A-1/2014, Pustaha Laklak A-2/2014, Pustaha Laklak A-3/2014, Pustaha Laklak A-4/2014, Naskah Bambu B-1/2014, Naskah Bambu B-2/2014, Naskah Bambu B-3/2014, Naskah Bambu B-4/2014, dan Naskah Bambu B-5/2014. Menurut informan yang bernama Andre Lubis (40 tahun) kemungkinan naskah-naskah tersebut dulunya dibawa dari huta Dolok yang merupakan kampung lama sebelum dipindahkan ke huta Godang tersebut. Dari kesembilan naskah kuno tersebut untuk mengetahui rentang masa pembuatan dan penggunaan naskah kuno, maka diambil 2 sampel untuk dilakukan analisis AMS. Kedua sampel tersebut di antaranya:
Pustaha Laklak A-2/2014
Pustaha laklak ini berbentuk persegi dan terbagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian sampul dan bagian lembaran isi. Pustaha ini memiliki ukuran panjang sampul 25 cm, lebar 7,5 cm, tebal 8 cm, dan panjang keseluruhan 736 cm. Pustaha ini memiliki 100 halaman yang dituliskan bolak balik dengan 25 lipatan. Pustaha ini dibuat dari kayu alim (aquilaria) yang oleh masyarakat sekarang banyak dibudidayakan karena menghasilkan gaharu yang bernilai tinggi. Lembaran kulit kayu tersebut berwarna coklat kekuningan dengan bagian pinggirnya menghitam, sedangkan bagian sampulnya berwarna hitam. Pustaha Laklak tersebut dituliskan dengan menggunakan tinta berbahan getah yang berwarna hitam. Kondisi naskah ini sudah sangat rapuh dan beberapa bagian telah sobek (Nasoichah dkk. 2014: 10-11).
Gambar 2. Pustaha Laklak A-2/2014
(Sumber: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2014)
Gambar 3. Sampel Pustaha Laklak A-2/2014 (kiri); Hasil Analisis AMS A-2/2014 (kanan)
(Sumber: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2020)
Dari pustaha laklak A-2/2014 tersebut kemudian diambil sampel kurang lebih 0,5gram dan dalam kondisi sampel kering. Dalam waktu kurang lebih 2 bulan dilakukan analisis AMS di Laboratorium University of Waikato, New Zealand dengan kode analisis Wk-51587. Beberapa hal yang dilakukan dalam analisis tersebut yaitu, perlakuan awal fisik: Sampel tersebut dibersihkan dan digiling, kontaminan dihilangkan dengan ekstraksi soxhlet dengan xilena, toluena, eter, aseton, dan air suling (dalam urutan elutrop). Perlakuan awal kimia: Sampel dicuci dalam HCl panas, dibilas dan diperlakukan dengan beberapa pencucian NaOH panas. Beberapa fraksi yang tidak larut dalam NaOH diperlakukan dengan HCl panas, disaring, dibilas, dan dikeringkan.
Berdasarkan hasil analisis AMS tersebut didapatkan kisaran atau rentang masa naskah pustaha laklak A-2/2014 tersebut adalah 161 sampai lebih kurang 20 tahun yang lalu. Apabila dilihat dari gambar tabel berikut (lihat gambar 4) kemungkinan kisaran tahun 1720 - bahkan sampai pada - 1890. Dari hasil analisis AMS tersebut menunjukkan bahwa rentang masa bahan yang digunakan untuk penulisan pustaha laklak A-2/2014 paling tua kurang lebih pada tahun 1720 atau sekitar abad XVIII. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat pustaha laklak A-2/2014 tersebut dibuat dan digunakan, memiliki rentang masa yang lebih muda dari bahan tersebut kemungkinan dari tahun 1720 - 1890.
Naskah ini berbentuk silinder panjang dan hanya memiliki satu ruas dengan gelang bambu yang melingkarinya. Naskah ini memiliki panjang 39 cm, diameter 7,5 cm, dan tebal bambu 2 cm, sedangkan gelang berbahan bambu ini memiliki diameter 8,5 cm dengan tebal 0,75 cm. Gelang ini berwarna hitam dengan motif sulur-sulur. Naskah bambu ini dibuat dari batang bambu yang oleh masyarakat sekarang banyak digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti membuat tiang atau yang lainnya. Bambu yang digunakan ini diolesi minyak sehingga warnanya terlihat coklat tua dan mengkilap. Naskah bambu ini dituliskan dengan cara digoreskan dengan menggunakan pisau dan ditulis melingkar ke seluruh bagian ruas bambu. Agar tulisan lebih terlihat, digunakan tinta hitam pada bagian aksara yang telah digores (bagian yang menonjol ke dalam). Naskah tersebut dituliskan dengan menggunakan aksara lokal (masyarakat sekarang biasa menyebutnya aksara tulak-tulak) dan bahasa Mandailing. Kondisi naskah ini masih baik, meskipun beberapa aksara sudah mulai aus, dan tersimpan rapi di Bagas Godang Huta Godang (Nasoichah dkk. 2014: 17-18).
Gambar 5. Naskah Bambu B-5/2014 (kiri); Sampel Naskah Bambu B-5/2014 (kanan)
(Sumber: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2014)
Gambar 6. Hasil Analisis AMS B-5/2014
(Sumber: The University of Waikato, 2020)
Naskah bambu tersebut kemudian diambil sampel kurang lebih 0,5 gram dan dalam kondisi sampel kering. Dalam waktu kurang lebih 2 bulan dilakukan analisis AMS di Laboratorium University of Waikato, New Zealand dengan kode analisis Wk-51588. Beberapa hal yang dilakukan dalam analisis tersebut yaitu, perlakuan awal fisik: sampel tersebut dibersihkan dan digiling, kontaminan dihilangkan dengan ekstraksi soxhlet dengan xilena, toluena, eter, aseton, dan air suling (dalam urutan elutrop). Perlakuan awal kimia: Sampel dicuci dalam HCl panas, dibilas dan diperlakukan dengan beberapa pencucian NaOH panas. Beberapa fraksi yang tidak larut dalam NaOH diperlakukan dengan HCl panas, disaring, dibilas, dan dikeringkan.
Berdasarkan hasil analisis AMS tersebut didapatkan kisaran atau rentang masa naskah bambu B-5/2014 tersebut adalah 141 sampai lebih kurang 20 tahun yang lalu. Apabila dilihat dari tabel berikut (lihat gambar 7) kemungkinan kisaran tahun 1790 - 1950. Dari hasil analisis AMS tersebut menunjukkan bahwa rentang masa bahan yang digunakan untuk penulisan naskah bambu B-5/2014 tersebut paling tua kurang lebih pada tahun 1790. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat naskah bambu B-5/2014 tersebut dibuat dan digunakan, memiliki rentang masa yang lebih muda dari bahan tersebut kemungkinan dari tahun 1790—1950.
Gambaran Masyarakat Mandailing pada Kisaran Tahun 1700—1900an
Dari hasil analisis AMS yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pustaha laklak A-2/2014 tersebut ditulis dan digunakan pada kisaran tahun 1720 - 1890 dan naskah bambu B-5/2014 ditulis dan digunakan pada kisaran tahun 1790—1950. Asumsi awal berdasarkan penelitian sebelumnya yang kemungkinan dibuat dan digunakan pada sekitar abad XVIII sampai awal XX, ternyata memiliki kesamaan dengan hasil analisis AMS yang telah dilakukan.
Berkaitan dengan gambaran masyarakat Mandailing pada kisaran abad XVIII sampai awal XX tersebut tentunya berbeda dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat ini. Seperti telah diketahui, masyarakat Mandailing terbagi atas beberapa marga yang menunjukkan keturunannya berdasarkan garis ayah (patrilineal). Adapun marga-marga yang termasuk dalam budaya Mandailing di antaranya, Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Daulay, Matondang, Parinduri, dan Hasibuan (Nasution 1994, 11).
Wilayah Mandailing
berdasarkan budayanya (bukan administratif) berada di sepanjang lintas Sumatera
kurang lebih 40 km dari Padang Sidimpuan ke selatan dan kurang lebih 150 km
dari Bukit tinggi, Sumatera Barat ke utara yang berbatasan dengan: sebelah
utara dengan wilayah Angkola, sebelah barat dengan wilayah pesisir (Natal),
sebelah selatan dengan daerah Minangkabau, sebelah timur dengan daerah Padang Lawas
(Nasution
1994, 5).
Wilayah Mandailing terbagi dalam dua daerah, yaitu Mandailing Godang
(Mandailing Besar) dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu). Garis batas antara keduanya
terletak di antara Desa Maga dan Laru, dekat Kotanopan. Wilayah yang termasuk
dalam Mandailing Godang (Mandailing Besar) yaitu daerah Panyabungan dan
sekitarnya sampai ke perbatasan Angkola Jae, Kec. Batang Angkola. Selain itu
Kec. Batang Natal juga termasuk dalam wilayah Mandailing Godang, sedangkan
wilayah yang termasuk Mandailing Julu (Mandailing Hulu) yaitu wilayah Kotanopan
dan sekitarnya, sampai ke Desa Laru di sebelah utara, Pakantan dan Muara
Sipongi (Lubis 2010,
2–3).
Terkait dengan keberadaan Huta Godang, sebelum pertengahan abad XIX dan sebelum kolonialisme masuk ke wilayah Mandailing, terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang raja. Kerajaan kecil tersebut hanya terdiri dari beberapa huta (kampung). Kerajaan-kerajaan kecil tersebut masing-masing berdiri secara otonom meskipun di antara raja-raja kecil tersebut pada dasarnya memiliki hubungan kekeluargaan berdasarkan adat, salah satunya Kerajaan Huta Godang, Ulu Pungkut ini. Kerajaan kecil yang merupakan wilayah Mandailing Julu ini pernah diperintah oleh Raja Gadombang yang meninggal pada 1835 pada Perang Paderi, lalu digantikan oleh Sutan Mangkutur. Kapan kerajaan ini berdiri belum diketahui secara pasti, namun menurut informasi dulunya didirikan oleh nenek moyangnya yang berasal dari Manambin. Menurut tarombo, raja-raja bermarga Lubis yang pernah berkuasa di Mandailing Julu adalah keturunan dari tokoh bernama Namora Pande Bosi (Lubis 2010, 4–5).
Keberadaan Kerajaan Huta Godang, Ulu Pungkut ini ada sebelum masuknya kolonialisme dan kaum Paderi ke wilayah Mandailing. Menurut informasi, sebenarnya Huta Godang dulunya bukan tempat permukiman Marga Lubis, namun merupakan permukiman orang-orang Agam. Dulunya Marga Lubis tinggal di huta Dolok yang menurut informasi sudah ada dari abad XVI. Letak huta Dolok ini berada di tengah hutan yang kini sedang dibuka menjadi perkebunan oleh masyarakat setempat yaitu 00̊ 32’ 14” LU 99̊ 45’ 31” BT dengan ketinggian 1.064 m dpl. Pada awalnya permukiman warga bermarga Lubis berpusat di huta Dolok. Pada tahun 1835, setelah masuk Paderi, huta tersebut berpindah ke mendekati aliran sungai. Saat ini permukiman tersebut dinamakan huta Godang. Adapun huta Dolok ditandai oleh sebuah bangunan cungkup yang di dalamnya terdapat 2 makam. Menurut kepercayaan warga setempat, makam tersebut adalah makam raja Lubis ketika masih menganut kepercayaan sipalabegu (Nasoichah, dkk, 2014: 35).
Gambar 7. Huta Dolok, kampung Marga Lubis sebelum di Huta Godang
(Sumber: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2014)
Perpindahan huta terjadi ketika Raja Junjungan yang Penghabisan atas perintah Tuanku Rao, meninggalkan huta Dolok dan mendirikan huta na Godang agar masyarakat dapat berdiam dekat sungai sehingga dapat membersihkan diri untuk keperluan ritual.
Peran Datu Pada Suatu Huta
Mandailing pada abad XVIII—XX masih kental dengan budaya lokalnya dengan adanya huta-huta termasuk juga penggunaan pustaha laklak dan naskah bambu. Pustaha laklak dan naskah bambu merupakan hasil karya cipta para datu yang dahulu menjadi tokoh penting dalam suatu huta, menjadi penasehat dan pendamping Raja dalam setiap kegiatan yang berlangsung di dalam huta tersebut. Datu juga diberi kewenangan dalam memimpin upacara adat atau ritual karena dipandang sebagai tokoh yang memiliki banyak ilmu dan mampu memberikan kearifan tradisional yang dibutuhkan guna kesempurnaan komunitas huta (Nasution 2007, 26). Peran datu di antaranya memberi petunjuk berkaitan aktivitas masyarakat di huta seperti menentukan hari baik untuk turun ke sawah, menuai padi, pelaksanaan upacara adat perkawinan dan juga memasuki rumah baru. Datu juga dipercaya memiliki kemampuan untuk meramal, melihat datangnya bencana atau keberuntungan, menangkal atau menyembuhkan guna-guna dan menyembuhkan penyakit atau wabah yang menyerang perseorangan atau masyarakat huta. Peran yang cukup beragam inilah yang mendorong para datu mencatat pengalaman maupun pengetahuannya (ilmu hadatuan) ke dalam pustaha laklak dan naskah bambu. Adapun isinya antara lain berkaitan dengan ramalan hari baik-buruk melalui porhalaan atau mengamati alam sekitar seperti angin, suara guntur dan lainnya, resep obat tradisional berbahan herbal seperti rempah dan bagian tubuh hewan, membuat atau menghilangkan kutukan, serta cara membuat jimat penolak bala.
Di Mandailing datu lebih dikenal dengan sebutan si baso (shaman). Si baso dalam banyak hal sangat dibutuhkan oleh raja dan penduduk huta untuk melakukan hubungan komunikasi dengan alam gaib atau roh leluhur, karena si baso merupakan medium yang dapat dirasuki oleh roh leluhur melalui sebuah upacara ritual tertentu untuk memberi petunjuk guna mengatasi malapetaka seperti terjadinya kemarau panjang dan wabah penyakit. Kemudian melalui upacara ritual seperti pasusur begu atau paturun si baso, para datu berkomunikasi dengan roh melalui perantara si baso guna mengetahui penyebab atau solusinya (Nasution 2007, 25). Datu atau si baso menjadi tokoh penting dalam upacara tradisional yang diselenggarakan di banua atau huta. Tokoh tersebut menggunakan ragam bahasa khusus yang dikenal dengan hata si baso atau hata poda (Batak Toba), yaitu bahasa yang khusus digunakan oleh para datu di masa lalu.
Penggunaan Bahasa
Masyarakat Mandailing dalam menyusun bahasa selalu disesuaikan dengan tempat dan kondisi. Seseorang dalam berbicara dengan individu lain atau kelompok akan memilih kata-kata yang baik dan enak didengar oleh orang lain, dan pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh pendengarnya. Kepandaian dalam berkata-kata yang baik itu disebut “Hata Hapantunon” (Tinggibarani dan Hasibuan 2013, 108). Ragam bahasa yang dikenal di Mandailing dan Angkola (Nasution 2007, 31; Tinggibarani dan Hasibuan 2013, 108), terdiri dari:
1. Hata si baso, yaitu ragam bahasa yang digunakan oleh si baso dan datu. Hata ini digunakan ketika membaca mantera misalnya ketika melakukan memanterai ramuan/ pengobatan.
2. Hata Somal (hasomalon- Angkola), yaitu ragam bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Hata Adat, adalah ragam bahasa yang digunakan dalam pergaulan raja-raja dan dalam upacara adat (ragam bahasa ini tidak disebutkan secara khusus tetapi juga digunakan di Mandailing).
4. Hata Andung, merupakan ragam bahasa sastra yang digunakan dalam tradisi mangandung (meratap) dalam upacara adat perkawinan atau kematian.
5. Hata parkapur, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan ketika masuk ke hutan (dahulu untuk mencari kapur barus).
6. Hata aling/alingan.tambisan, adalah ragam bahasa yang digunakan raja-raja, orang tua, muda-mudi, ketika berkata tidak dengan berterus terang untuk menyampaikan pesan seperti nasehat, marah, dan lain sebagainya (ragam bahasa ini tidak disebutkan secara khusus tetapi digunakan dalam komunikasi raja-raja, dalam kegiatan adat (makkobar/markobar) di Mandailing).
7. Hata teas dohot jampolak, yaitu ragam bahasa yang dipakai saat mencaci-maki ketika bertengkar.
Mangaraja Gunung Sorik Marapi menyebutkan bahwa bahasa Mandailing dibagi menjadi 5 (Nasution 2005, 15), yaitu:
1. Hata somal i ma na niparkasajahon ari-ari (kosa kata yang dipergunakan sehari-hari).
2. Hata andung di hatiha siluluton (kosa kata dalam peristiwa duka).
3. Hata si baso di hatiha ni hadatuan (kosa kata dalam upacara spiritual/ kedukunan).
4. Hata parkapur hatiha di harangan (kosa kata ketika berada di kawasan hutan).
5. Hata teas dohot jampolak di hatiha parbadan (Kosakata dalam perkelahian).
Selain itu juga dikenal ragam bahasa hata bulung-bulung (bahasa dedaunan) yang digunakan muda-mudi sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan perasaan cinta secara rahasia. Di dalam adat-istiadat lama pemuda-pemudi tidak boleh bergaul secara terbuka di depan umum, sehingga perasaan cinta pun menggunakan lambang daun tumbuh-tumbuhan. Hata bulung-bulungan bukan berupa lambang bunyi, melainkan lambang yang menggunakan daun tumbuh-tumbuhan (Nasution, 2007: 31).
Bahasa yang digunakan dalam penulisan pustaha laklak dan naskah bambu pada kisaran abad XVIII—XX tersebut karena ditulis oleh seorang datu yang fungsinya untuk ritual atau kepentingan religi tentunya bahasa yang digunakan berupa hata si baso, yaitu ragam bahasa yang digunakan oleh si baso dan datu.
Penggunaan Aksara
Pustaha laklak dan naskah bambu yang disimpan di Bagas Godang Huta Godang ditulis menggunakan aksara lokal yang secara karakteristik hampir sama dengan aksara yang ditemukan di Angkola, Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak-Dairi. Masyarakat Mandailing sendiri menamakan aksara lokal tersebut dengan sebutan aksara tulak-tulak.
Aksara tulak-tulak memiliki 21 bentuk dasar yang dikenal dengan sebutan induk ni surat (Nasution, 2005: 16-17). Berikut bentuk aksara tulak-tulak yang dikenal oleh masyarakat Mandailing saat ini.
Dari penggunaan aksara pada penulisan pustaha laklak A-2/2014 dan naskah bambu B-5/2014 ini diketahui beberapa bentuk aksara ina/induk ni surat dan anak ni surat, di antaranya:
Tabel 1. Bentuk Aksara Pada Pustaha Laklak A-2/2014 dan Naskah Bambu B-5/2014
Dari tabel di atas diketahui bahwa pada abad XVIII—XX karakteristik aksara tulak-tulak yang digunakan tidak jauh berbeda dengan aksara tulak-tulak yang dikenal masyarakat Mandailing saat ini. Aksara yang ditulis dengan menggunakan tinta dan digores tersebut dibuat oleh seorang datu, sehingga terlihat gaya penulisan dari datu tersebut.
KESIMPULAN
Pustaha Laklak A-2/2014 dan naskah bambu B-5/2014 tersebut banyak menyimpan informasi terkait kondisi dan keberadaan masyarakat Mandailing terutama di Huta Godang. Dari analisis AMS yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pustaha laklak A-2/2014 ditulis dan digunakan pada kisaran tahun 1720 - 1890 dan naskah bambu B-5/2014 ditulis dan digunakan pada kisaran tahun 1790 - 1950. Asumsi awal berdasarkan penelitian sebelumnya terkait paleografi yang kemungkinan dibuat dan digunakan pada sekitar abad XVIII—XX, ternyata memiliki kesamaan dengan hasil analisis AMS yang telah dilakukan.
Pertengahan abad XIX atau abad XVIII—XX, dan sebelum kolonialisme serta kaum Paderi masuk ke wilayah Mandailing, terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang raja. Kerajaan kecil tersebut hanya terdiri dari beberapa huta, salah satunya Kerajaan Huta Godang. Keberadaan Kerajaan ini menurut informasi penduduk setempat, dulunya berada di Huta Dolok yang menurut mereka sudah ada dari abad XVI, kemudian dipindahkanlah huta tersebut ke bawah yang dekat dengan aliran sungai yaitu di Huta Godang sekarang. Keberadaan pustaha laklak A-2/2014 dan naskah bambu B-5/2014 ini sebagai bukti bahwa pada abad XVIII—XX-an wilayah Mandailing masih berupa kerajaan kecil yang terdiri dari beberapa huta (kampung).
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kozok, Uli. 2009. Surat Batak. Sejarah Perkembangan Tulisan Batak Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII. Jakarta: EFEO dan Kepustakaan Populer Gramedia.
Lubis, Z. Pangaduan. 2010. “Perlawanan Sutan Mangkutur Terhadap Belanda di Mandailing.” dalam Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, 1–42. Medan: Pustaka Widiasarana, Kelompok Humaniora-Pokmas Mandiri.
Nasoichah, Churmatin. 2013. “Naskah Bambu Namanongon Ribut: Salah Satu Teks dari Batak Mandailing yang Tersisa.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 16 (2): 113–28.
Nasoichah, Churmatin, Manguji Nababan, Tomson Sibarani, dan Mehammat Br Karo Sekali. 2020. “Kajian Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik pada Penulisan Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Diporhas.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 23 (1): 18–27.
Nasoichah, Churmatin, Nenggih Susilowati, Repelita Wahyu Oetomo, dan Taufiqurrahman Setiawan. 2014. “Penelitian Prasasti dan Naskah Beraksara Batak beserta Budaya Pendukungnya Sub-Etnis Batak Angkola-Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.” Medan.
Nasution, Edi. 2007. Tulila: Muzik Bujukan Mandailing. Penang: Areca Books.
Nasution, H. Pandapotan. 1994. Uraian Singkat tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya. Jakarta: Widya Press.
Nasution, Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Medan: Forkala Prov. Sumatera Utara.
Tinggibarani, Sutan dan Zainal Efendi Hasibuan. 2013. Adat Budaya Batak Angkola Menyelusuri Perjalanan Masa. Padangsidimpuan.