Togel Online Terlengkap dan Terpercaya 2022 online togel terlengkap kami menyediakan permainan online togel terbaik dan terpercaya di Indonesia.

Rekomendasi memilih situs online togel tebaik tahun 2021, menerima deposit menggunakan pulsa

BATU NISAN TIPE LAMURI – ‘PLANGPLENG’ GANO – LAMDINGIN

 

LAMURI TOMBSTONE - 'PLANGPLENG' GANO – LAMDINGIN

 

Dedy Satria

Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Aceh-Sumut

dedy_satria1111@yahoo.com

 

Reception date : 15/01/2021

Last Revision: 03/10/2021

Acceptation date: 10/11/2021

Published: 2511/2021

To Cite this article : Satria, Dedy. 2021. “BATU NISAN TIPE LAMURI – ‘PLANGPLENG’ GANO – LAMDINGIN”. Berkala Arkeologi Sangkhakala 24 (2). Medan, Indonesia, 87-106. https://doi.org/10.24832/bas.v24i2.458.

©2021 Berkala Arkeologi Sangkhakala –This is an open access article under the CC BY-NC-SA license

 

Abstracts

Tombstone type plangpleng  is a type of tombstone typology from Aceh that has not been widely known and understood, compared to the type of Acehnese tombology or 'Aceh Batu'. The shape of the tombstone and the shape of the motive form, as well as this tombstone chisel style that distinguishes it with other tombstone typologies in Aceh. Local motif themes combined with the themes of adoption from the outside then transformed well from the Hindu-Buddha-Buddha tradition and the Islamic world arts tradition combined here. This collection of tombstones was found in many places in Aceh Besar and Banda Aceh, although in limited quantities. (Simpang) Gano-Lamdingin One of the locations known to have the type of ancient tomb findings like this. The beginning of the presence of Muslim communities with Islamic government systems was reflected in the heritage of this cultural object. The kings built a tomb monument with markers of this type of tombstone.

 

Keywords: plangpleng tombstone type, chisel style, early Islamic society

 

Abstrak

Batu nisan tipe plangpleng merupakan satu jenis dari tipologi batu nisan dari Aceh yang belum banyak dikenal dan dipahami, bila dibandingkan jenis tipologi batu nisan Aceh atau ‘Batu Aceh’. Bentuk batu nisan dan rangcangan bentuk motif, serta gaya seni pahat batu nisan ini yang membedakannya dengan tipologi batu nisan yang lain di Aceh. Tema-tema motif lokal dipadukan dengan tema-tema adopsi dari luar lalu ditransformasikan baik yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha Asia Selatan dan tradisi kesenian dunia Islam berpadu di sini. Kumpulan batu nisan ini ditemukan di banyak tempat di Aceh Besar dan Banda Aceh, walau dalam jumlah terbatas. (Simpang) Gano-Lamdingin salah satu lokasi yang diketahui memiliki jenis temuan makam kuno seperti ini. Awal kehadiran masyarakat muslim dengan sistem pemerintahan Islam tercermin dari warisan benda budaya ini. Para merah atau raja-raja kecil membangun monumen makam dengan penanda dari jenis batu nisan ini.

 

Kata kunci: Batu nisan tipe plakpleng, gaya seni pahat, masyarakat Islam awal

 


PENDAHULUAN

Batu nisan Lamuri tipe plangpleng (pelakplieng atau plakpling) secara morfologis sangat mencolok bila dibandingkan dengan jenis-jenis batu nisan lain di Aceh, terutama jenis-jenis batu nisan yang dikenal kemudian sebagai Batu Aceh  (Yatim 1988). Bentuk batu nisan berupa tiang batu (pillar) yang seluruh permukaannya dihias dengan berbagai jenis bentuk motif dengan teknik pahat dalam atau bas relief. Rancangan tema dan bentuk motif sebagai pola rancangan motif batu nisan Plangpleng menjadi contoh yang khas dan akan dibahas di sini.

Jenis batu nisan ini telah banyak dipahami oleh para peneliti sebagai monumen makam kuno muslim dari periode Lamuri. Yaitu satu masarakat kuno yang mendiami seluruh kawasan luas di Aceh Besar dan Banda Aceh. Satu masyarakat yang hadir mendahului kebangkitan Kesultanan Aceh pada awal abad ke-16 M. Persebaran jenis batu nisan yang dimaksud disini relatif lebih luas walaupun ditemukan dalam jumlah terbatas dan ini menjadi bukti keberadaan masyarakat tersebut. Batu nisan ini ditemukan dari kawasan Bukit (Kampung) Lamreh (hingga kawasan Teluk – Ujong Pancu) di Aceh Besar, Kampung Pande dan sekitar kota Banda Aceh, lalu Lamno-Daya, Kabupaten Aceh Jaya hingga di Samudera, Kabupaten Aceh Utara  (Montana 1997, 85–95; Guillot and Kalus 2008, 326–36). Namun demikian belum banyak diketahui bahwa jenis batu nisan ini tersebar jauh lebih luas di kawasan Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.

Hasil observasi yang telah lakukan di sekitar Kota Banda Aceh diketahui ada lokasi lain, seperti di Kampung Lamteh dan Pango Kecamatan (Mukim) Ulee Kareng, Banda Aceh (Satria 2014, 1–48) , Kampung Neusu, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh (Satria 2016, 1–27), Ilie-Ie Masen (Mukim Kaye Adang, Ulee Kareung) dan Simpang Gano – Lamdingin Kecamatan Makuta Alam, Banda Aceh. Selain lokasi tersebut batu nisan tipe ini sebenarnya tersebar cukup luas. Persebaran yang cukup luas ini cukup menarik dan selayaknya mendapatkan perhatian dalam penelitian di Aceh.

Pada kesempatan ini kelompok makam dari Gano-Lamdingin menjadi perhatian utama, karena keadaannya sangat mendesak. Lokasinya berada di barat Simpang Gano, Lamdingin, Kecamatan Kota Alam, Kota Banda Aceh pada titik koordinat 5034I77II LU dan 95019I42II BT. Kelompok makam terdiri dari lima makam yang masih pada posisi awal, tiga makam di antaranya menggunakan batu nisan tipe Plangpleng dan dua makam dengan penanda batu nisan tipe Batu Aceh dari periode Samudera-Pasai. Selain itu juga ditemukan dua batu nisan yang berasal dari makam lain dan ditemukan berdekatan dengan kelompok makam itu. Ada lima batu nisan dari jenis yang sama di Gano-Lamdingin tetapi ditemukan pada lokasi yang berbeda.

Batu nisan tersebut telah mengalami kerusakan parah karena selalu tergenang air laut yang mengakibatkan aus lalu hancur. Tulisan ini menjadi salah satu upaya untuk mendokumentasikan peninggalan warisan cagar budaya tersebut sebelum musnah. Kumpulan batu nisan itu juga menarik, terutama pada struktur rancangan seninya seperti bentuk, motif dan isi teks inskripsi. Pola rancangan yang sama juga ditemukan pada batu nisan sejenis di tempat lain. Bentuk motifnya istimewa dirancang khusus dengan menggunakan tema motif yang sama di keempat sisinya yang disebut batu nisan tipe plangpleng. Tema motif tampaknya dirancang khusus untuk menghasilkan ‘efek visual’ yang berbeda dan khas. Kumpulan batu nisan di sini juga mengandung teks inskripsi pendek yang penting untuk memahami kebudayaan, terutama sebagai satu proses perkembangan sejarah kebudayaan Islam awal di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Pada observasi awal tahun 2015 diketahui bahwa tema bentuk motif pahat yang ditemukan dari Gano-Lamdingin berbeda dengan batu nisan sejenis dari kawasan Lamreh (Satria 2019). Persamaannya pada gaya seni pahat yaitu menggunakan teknik pahat dalam (bas relief). Berdasarkan tema bentuk motifnya memiliki banyak kesamaan dengan batu nisan dari Kampung Pande, Kec. Kuta Raja, Banda Aceh dan Lamteh, Kec. Ulee Kareung, Banda Aceh, serta Lhok Kuta- Lambaro Neujid (Teluk Ujong Pancu), Kec. Peukan Bada, Aceh Besar. Sebagai contoh, tema bentuk motif anyaman digunakan pada keempat sisi bagian badan batu nisannya. Demikian juga cara menggambarkan bunga teratai berkelopak delapan dengan ukuran yang lebar dalam panil pada keempat sisi batu nisannya. Contoh lain yang juga sangat khas yaitu teknik penulisan teks inskripsi dan gaya penulisan kaligrafi Islam. Teks inskripsi dipahatkan dalam panil berupa kelopak bunga teratai. Rancangan bentuk motif seperti ini tidak ditemukan pada batu nisan dari kawasan Lamreh. Perbedaan ini menunjukkan adanya gaya seni pahat tersendiri di dua lokasi yang jaraknya berjauhan. Lokasi yang satu berada di kawasan Lamreh di timur (Aceh Besar) dan lainnya di kawasan lembah dan kuala sungai Aceh di barat (Banda Aceh).

Penelitian dan pengkajian batu nisan di Aceh khususnya untuk jenis batu nisan tipe plangpleng mulai dilakukan oleh Suwedi Montana  dengan merinci bentuk batu nisan itu sebagai jenis batu nisan berbentuk ‘piramidal’. Tipe batu nisan ini berdasarkan teks inskripsi yang dipahatkan pada batu nisan telah dibuat paling awal pada abad ke-13 M dan abad ke-14 M hingga abad ke-15 M (Montana 1997, 85–95). Kemudian Guillot dan Kalus  melanjutkan pengkajian batu nisan berbentuk ‘piramidal’ ini. Hasil kajian epigarafis membuktikan bahwa jenis batu nisan itu dibuat paling awal pada pertengahan akhir abad ke-14 M dan sepanjang abad ke-15 M (Guillot and Kalus 2008, 326–36). Keduanya bahkan sempat mengamati batu nisan sejenis di tempat lain yang berada di luar kawasan Lamreh meliputi Kampung Pande dan Ilie (Kota Alam) bahkan hingga ke Lamno (Aceh Daya). Uraian dalam kajian tersebut sangat menarik karena memberikan gambaran keadaan masyarakat Islam awal dengan para penguasa Muslim di Aceh Besar serta Banda Aceh. Hasil kajian tersebut, gaya seni pahat khususnya rancangan bentuk motif dibahas sekilas sebagai karakter umum dari jenis batu nisannya dan belum dikaji lebih mendalam.

Bentuk batu nisan tipe Lamuri – Plangpleng secara morfologis sekilas tampak homogen. Jika diamati secara lebih teliti pada bagian keempat sisi dan keempat bagian sudut batu nisannya akan dapat dibedakan adanya perbedaan yang sangat berarti. Jenis batu nisan ini merupakan salah satu jenis dari banyak jenis batu nisan di Aceh yang cukup bervariasi dalam hal gaya seni pahat batu nisan dan khususnya rancangan bentuk motifnya. Terdapat banyak jenis atau tipe rancangan bentuk motif yang cukup menarik untuk diamati di sini. Tema motif yang sama dirancang khusus untuk menghasilkan ‘efek visual’ yang berbeda dan khas. Sementara teks inskripsi pendek hanya terdiri dari tiga atau empat kata. Inskripsi itu perlu mendapat perhatian juga untuk mengetahui tujuan serta maksud pembuatannya.

Rancangan bentuk motif (tipe motif) bersifat dekoratif dibentuk melalui teknik transformasi visual yang baik menjadi perhatian penting dalam pengamatan ini. Berbagai jenis elemen bentuk motif yang digunakan pada masing-masing kelompok batu nisan mencerminkan adanya latar belakang budaya dan sistem kepercayaan yang berbeda. Pembuatannya terjadi pada saat awal Islam masuk dan diterima sebagai sistem kepercayaan yang baru di Aceh.

Keberagaman rancangan bentuk motif pada batu nisan menjadi salah satu bahan untuk mengetahui dan memahami perkembangan kebudayaan masyarakat pembuat dan penggunanya. Perkembangan dimaksud meliputi segala aspek kehidupannya, khususnya dalam sistem kepercayaan (religi), sistem sosial-politik, seni, teknologi, dan ekonomi. Perkembangan ini terjadi karena adanya hubungan dengan masyarakat pendatang (asing). Dengan demikian rancangan bentuk motif dan gaya seni pahat yang berkembang juga banyak dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar, terutama kebudayaan Islam.

Tulisan ini bertujuan untuk mengenal dan memahami lebih lanjut berbagai jenis rancangan tema bentuk motif pahat pada batu nisan tipe plangpleng. Struktur dan gaya seni pahat batu nisan tersebut memiliki ciri khas, namun perubahan tema motif pahatnya serta ciri-ciri khususnya menarik untuk diamati dan dipahami lebih lanjut. Tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan untuk memahami adanya perbedaan gaya seni pahat batu nisan tipe plangpleng yang khas dan dapat diamati dari tipe atau pola rancangan bentuk motif.

Batu nisan Lamuri tipe plangpleng sebagai warisan kebudayaan Islam diamati untuk memahami tahap pembentukan masyarakat Islam awal di pesisir Aceh Besar dan khususnya di Banda Aceh. Yaitu sebagai masyarakat yang terbentuk dan berkembang melalui hubungan percampuran antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang (masyarakat asing). Sebagai masyarakat dengan perkembangan kebudayaan baru yang dilandasi oleh hukum Islam dengan pemimpin seorang muslim. Dengan demikian melalui kajian ini dapat dipahami keadaan dan karakter yang khas serta tahapan pembentukan masyarakat Muslim awal di Aceh Besar dan Banda Aceh khususnya.

 

METODE

Penggunaan data yang bersifat selektif berupa batu nisan tipe plangpleng dengan jenis tertentu dan secara morfologis memiliki ciri-ciri yang sama. Ciri-ciri tersebut meliputi rancangan bentuk batu nisan dan gaya seni pahat batu, ragam bentuk serta tema motif, serta teks inskripsi dalam kaligrafi Islam. Pengamatan terhadap elemen motif dan penataannya (penempatannya) secara berurutan dan cenderung baku mengikuti bentuk tiang batu (pillar) yang disusun secara vertikal, meliputi bagian-bagian kaki, badan, dan bagian puncak. Adapun tema dan rancangan motif untuk bagian badan batu nisan mendapat perhatian lebih banyak, karena pada bagian inilah dapat diketahui adanya perbedaan penggunaan pola dan tema motif yang sangat berarti.

Perubahan-perubahan rancangan bentuk motif diharapkan dapat dipahami. Peminjaman gagasan motif dari luar (asing) melalui perubahan bentuk (transformasi) lalu dipadukan dengan gagasan motif lokal sehingga menghasilkan bentuk motif baru yang bersifat ‘campuran’. Ini dilakukan untuk memahami hubungan masyarakat lokal yang bukan Islam sebelum beralih menjadi Islam dengan para pendatang, baik yang bukan maupun orang Islam sendiri.

Hasil pengamatan ini nantinya akan disusun ciri-ciri yang khusus sebagai pola atau tipe rancangan bentuk motif dari masing-masing batu nisan yang diamati. Kumpulan batu nisan yang diamati lebih lanjut akan dibandingkan dengan batu nisan sejenis di tempat lain yang berada di lokasi terdekat, Banda Aceh dan Aceh Besar. Untuk bahan perbandingan jenis batu nisan dengan pola dan tipe rancangan bentuk motif yang sama, khususnya batu nisan sejenis dari Kampung Pande yang telah diteliti serta dipublikasi secara luas.

Kaligrafi Islam sebagai hasil kebudayaan Islam yang khas dalam bentuk teks inskripsi juga diamati. Penyusunan sistem kronologis berdasarkan keterangan waktu kematian dan nama tokoh-tokoh yang dimakamkan dapat membantu mengetahui dan memahami pengguna batu nisan ini. Selain itu untuk mengetahui rancangan bentuk motif pada batu nisan tipe plangpleng yang terus mengalami perkembangan berarti dalam keberagaman gaya seni pahat secara kronologis.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terminologi ‘Plangpleng’

Dalam Kamus Bahasa Aceh – Indonesia (Abu Bakar et al. 2001, 729) dijelaskan plangpleng merupakan Bahasa Aceh yang terbentuk sebagai pengulangan dari kata dasar belang yang berarti belang-belang; bergaris-garis, berbagai corak bentuk atau garis. Istilah ini digunakan pula untuk kepribadian yang peragu, warna belang pada hewan, atau warna dan motif pada kain ikat/tenun. Sebagai motif agaknya istilah plangpleng dan juga plakplieng digunakan untuk ragam corak garis-garis motif dan keberagaman bentuknya. Kata plakplieng merupakan bentuk dialek lain untuk kata plangpleng.

Penamaan ini diberikan sesuai dengan gaya seni pahat dan khususnya rancangan bentuk motif pada batu nisan ini. Seluruh permukaannya dilapisi berbagai tema bentuk motif di keempat sisi maupun keempat sudutnya dengan teknik seni pahat dalam (bas relief). Garis-garis yang tebal dan berat dibentuk secara terencana membentuk rekaan figur di keempat sisi dan keempat sudut balok tiang batu.

Istilah plangpleng sebagai penamaan untuk tipe batu nisan itu dimuat oleh Othman M. Yatim (Yatim and Nasir 1990, 23). Pada tradisi masyarakat Aceh Besar dan Banda Aceh nama ini dikenal untuk menyebut satu pemakaman kuno yang dikenal dengan Jirat atau Makam ‘Raja Pelakpling’. Pemakaman ini terdiri dari sekumpulan makam yang menggunakan penanda dari jenis batu nisan tipe plangpleng. Pemakaman kuno ini berada di Kampung Lamreh, Kecamatan (Mukim) Ulee Kareng, Banda Aceh.

 

Batu Nisan Plangpleng Gano-Lamdingin

Batu nisan tipe plangpleng di Gano telah diketahui pada survei awal pada pertengahan tahun 1990-an, dan baru tahun 2015 diamati kembali dengan lebih rinci dan terdokumentasi dengan baik. Ada enam makam dalam kelompok makam itu yang menggunakan batu nisan jenis ini. Lokasi pengamatan berada di (Simpang) Gano, Lamdingin, Kecamatan Makuta Alam, Banda Aceh.

Salah satu kelompok makam dengan sekumpulan jenis batu nisan ini mengandung teks inskripsi sangat pendek dan cukup berarti untuk kajian historis. Kelompok makam ini terdiri dari lima makam yang ditandai dengan batu nisan tipe plangpleng untuk tiga makam. Sementara dua makam lainnya dengan penanda batu nisan yang disebut sebagai tipe ‘Batu Pasai orisinil’, yaitu batu nisan slap (balok batu pipih) yang biasa ditemukan di Lhok Seumawe – Aceh Utara dari era Samudera Pasai. Selain itu, juga ditemukan dua batu nisan lain yang tidak lagi berada di tempatnya semula. Satu di antaranya berdasarkan gaya seni pahat memiliki kesamaan. Dengan demikian ada lima batu nisan dari jenis yang sama ditempat ini dan menjadi objek pengamatan.

 

Gambar 1. Kelompok Makam Gano

“Seri Mankuta Munawar Syah.” Nomor 4 dan 5 jenis batu nisan tipe “Batu Pasai Original,” nomor 6 non insitu

(Dokumentasi: Deddy Satria, 2015)

Kelompok makam berada di tambak ikan masyarakat yang tidak digunakan lagi. Batu nisan tipe plangpleng seluruhnya berbahan batu pasir (sandstone) dengan tekstur halus. Keadaan batu nisan saat ditemukan dalam keadaan rusak karena pelapukan akibat proses penggaraman. Pada saat pasang air laut seluruh batu nisan terendam air laut. Pada tahun 2017 seluruh batu nisan yang diamati ini telah hancur akibat pelapukan, kecuali dua pasang batu nisan tipe “Batu Pasai orijinal’ berbahan batuan sedimen dengan tekstur kasar yang keras dan relatif cukup kuat.

 

Tipologi Pola Tipe Rancangan Bentuk Motif

Dari hasil observasi dan uraian di atas diketahui ada tiga pola atau tipe rancangan bentuk motif. Pola atau tipe rancangan bentuk motif tersebut dapat diamati dari elemen bentuk motif yang dipahatkan di seluruh permukaan batu nisan yang disusun secara vertikal, mulai dari bagian kaki hingga bagian badan nisan. Tema dan rancangan bentuk motif untuk bagian badan batu nisan mendapat perhatian lebih banyak, karena pada bagian tersebut terdapat perbedaan penggunaan pola dan tema motif yang mencolok dari masing-masing batu nisan. Tiga pola atau tipe rancangan bentuk motif tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

 

Pola rancangan bentuk motif – tipe motif I

Tema bentuk motif bunga teratai, disusun secara vertikal pada bagian kaki batu nisan menggunakan profil dengan pahatan motif kelopak bunga teratai (lotus petal).

Diagram

Description automatically generated

Gambar 2. Struktur Rancangan Bentuk dan Motif Batu Nisan tipe Lamuri – Plangpleng

 (Dokumentasi: Deddy Satria, 2015)

Pada bagian panil dengan bunga teratai besar dengan delapan kelopak bunga atau dalam berbagai penggambaran dan perspektif yang berbeda-beda, hingga bagian badan biasanya dipadukan dengan elemen motif lain, biasanya arabesque dalam pola anyaman (Gambar 2. Batu nisan nomor 01). Tema ini jarang ditemukan, tetapi terdapat di pemakaman Tuan di Kandang Kampung Pande dan Jirat (Makam) ‘Raja Pelak Plieng’ Lamreh.

 

Pola rancangan bentuk motif – tipe motif II

Tema bunga besar berkelopak empat (seperti kelopak bunga teratai), motif ini hanya dipahatkan pada bagian panil dan pada bagian badan batu nisan (gambar 2. Batu nisan nomor 03). Hanya saja motif pada bagian badan telah dipadukan dengan motif arabesque pola anyaman atau teknik pengembangan dengan menambahkan tangkai-tangkai bunga atau daun secara simetrik, lalu pola ini diulang secara vertikal. Batu nisan dengan pola rancangan motif I dan II biasanya berukuran lebih besar dengan tinggi antara 70 cm hingga 100 cm.

Pola rancangan bentuk motif ini juga termasuk jarang ditemukan, namun sempat mencatat beberapa batu nisan sejenis di pemakaman kuno Kawasan Bukit Lamreh dan satu batu nisan dari Pango Raya, Ulee Kareeng, Kota Banda Aceh  (Satria 2014, 1–48) Tema ini tidak ditemukan di pemakaman Tuan di Kandang Kampung Pande dan Jirat (Makam) ‘Raja Pelak Plieng’ Lamteh.

 

Pola rancangan bentuk motif – tipe motif III

Dua tangkai bunga atau daun yang disusun saling berhadapan atau saling berpotongan (bertindih), tanpa bagian hiasan untuk panil –tanpa motif pola dua huruf ‘S’ yang saling berhadapan (Gambar 3. batu nisan nomor 02), atau motif arabesque pola anyaman pada bagian tubuh batu nisan. Batu nisan dengan pola rancangan motif III cenderung berukuran kecil dengan tinggi kurang hingga 50-60 cm. Batu nisan dari periode akhir pertengahan akhir abad ke-15 M. tidak lagi memiliki keragaman motif seperti jenis-jenis motif di atas. Tema motif bunga teratai dan kelopak teratai serta bunga besar berkelopak empat masih terus digunakan, terutama pada bagian panil utama, sementara pola dua huruf ‘S’ yang disusun saling berlawanan arah masih menjadi tema untuk menghiasi panil utama.

Pola rancangan bentuk motif – tipe motif IV

Pola rancangan bentuk motifnya cenderung sama (homogen). Rancangan tema motif serupa ‘lentera’ atau ‘vas bunga’ yang dirancang dengan teknik transformasi (perubahan bentuk) melalui stylasi (styler, penggayaan - modifikasi) tetumbuhan. Tema motif ini kemudian juga muncul sebagai tema bentuk motif dalam tipologi batu nisan Othman ‘Batu Aceh’ dari abad ke-16 M. hingga abad ke-17 M. (Othman 1998). Tema hiasan untuk panil – motif pola dua huruf ‘S’ yang saling berhadapan pada bagian hiasan panil kadang tetap dimunculkan. Begitu pula dengan motif bunga teratai pada bagian panil utama berbentuk bingkai persegi empat ganda dengan empat kelopak bunga besar.


 

Table 1. Skema struktur pola rancangan model motif tipe motif batu nisan tipe Lamuri – ‘Plangpleng’ dalam kronologis

 

Susunan Vertikal

Periode Awal (Awal Hingga

Pertengahan Awal Abad Ke-15 M.)

 

Periode Akhir (Akhir Abad Ke-15 M.)

Tipe Motif

Pola rancangan

tipe motif I

 

Pola rancangan

tipe motif II

Pola rancangan

tipe motif III

Pola rancangan

tipe motif IV

Mahkota

Payung – ‘amalaka

Payung – ‘amalaka

Payung – ‘amalaka

Payung – ‘amalaka

 

Badan

 

Motif bunga teratai – arabesque; pola anyaman berkambang

 

Pola pengulang secara vertikal dari tema-tema motif yang sama

 

Motif bunga teratai – arabesque; pola anyaman

atau

Pola pengulang secara vertikal dari tema-tema motif yang sama

 

 

Motif serupa ‘lentera’ atau ‘vas bunga’

Hiasan Panil

 

Pola huruf ‘S’; figur

Pola huruf ‘S’; figur

Tidak ada

Dengan atau tanpa pola huruf ‘S’; figur

Panil

Persegi empat dengan atau tanpa panil ganda berupa kelopak teratai, motif dan inskripsi

Persegi empat dengan atau tanpa panil ganda berupa kelopak teratai, motif dan inskripsi

Persegi empat dengan atau tanpa panil ganda berupa kelopak teratai, motif dan inskripsi

Persegi empat dengan atau tanpa panil ganda berupa kelopak teratai, motif dan inskripsi

 

Kaki

Motif kelopak bunga teratai, – profil sisi genta (ojief)

Motif kelopak bunga teratai, – profil sisi genta (ojief)

Motif kelopak bunga teratai, – profil sisi genta (ojief)

Motif kelopak bunga teratai, – profil sisi genta (ojief)

 

Ukuran; Tinggi

70 cm hingga 100 cm

70 cm hingga 100 cm

50 cm hingga 60 cm

50 cm hingga 100 cm

 

Table 2. Skema struktur rancangan motif tipe motif batu nisan tipe Lamuri – ‘Plangpleng’di Makam ‘Seri Mankuta Muzzafar Syah’ Gano

 

‘Plangpleng’

Batu Nisan No. 01

Batu Nisan No. 02

Batu Nisan No. 03

Batu Nisan No. 06

Mahkota

Payung – amalaka (patah-hilang)

Patah hilang (korosi)

Patah hilang (korosi)

Payung – amalaka

Badan

Motif bunga teratai – arabesque; pola anyaman berkembang

Pola bunga berkelopak empat (patah hilang)

Pola bunga berkelopak empat dengan pengulangan

Patah hilang (korosi)

Pola bunga berkelopak empat

Hiasan Panil

Pola huruf ‘S’; figur

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Panil

Persegi empat dengan kelopak teratai, motif dan inskripsi

Persegi empat, motif dan inskripsi

Persegi empat, motif

Persegi empat, motif dan inskripsi

Kaki

Kelopak bunga teratai, – profil sisi genta (ojief)

Polos – profil sisi genta (ojief)

Kelopak bunga teratai, – profil sisi genta (ojief), inskripsi

Polos – profil sisi genta (ojief)

 


Makam nomor 01 (Gambar 3), batu nisan ini berdasarkan rancangannya termasuk dalam kelompok pola rancangan bentuk motif – tipe motif I. Batu nisannya mengandung teks inskripsi sangat pendek dalam bahasa Arab yang dapat dibaca: ‘Nuqila sanah tsamaanumi atin, ‘Berpulang tahun 800 Hijrah – 1398 M.’ Angka tahun dipahat dengan ukuran huruf yang kecil namun cukup jelas.

Bentuk motif utama pada bagian sudut-badan batu nisan menjadi satu masalah yang sangat menarik dan perlu mendapat perhatian khusus. Nampaknya rancangan bentuk motif ini menjadi tema atau gagasan utama untuk bentuk motif dasar pada batu nisan tipe Lamuri – ‘Plangpleng’ ini. Bagian kaki, badan dan kepala dengan puncak batu nisan menjadi kesatuan yang dipisahkan/ dihubungkan dengan panil dan/ atau dengan bagian-bagian motif hias dari tema yang berbeda-beda. Sementara motif hias yang dipahatkan memenuhi seluruh permukaan batu nisan menjadikan batu nisannya terbungkus karya seni pahat yang terkesan rumit dan mempunyai efek visual yang mengagumkan. Motif bunga teratai menjadi tema utama yang dipahatkan pada batu nisan tipe ini. Bunga teratai dengan kelopak-kelopak yang lebar dipahatkan pada bagian dasar kaki (di bawah panil utama). Tema motif ini dipadukan dengan garis-garis dari motif arabesque berupa anyaman berkembang. Tema motif bunga teratai berkelopak empat berlapis dua juga dipahatkan mengisi panil-panil utama persegi empat. Kelopak bunga teratai bahkan menjadi kolom tempat teks inskripsi.


Gambar 3. Batu nisan makam nomor 01

(Dokumentasi: Deddy Satria, 2015)


Pada bagian atas panil, walaupun kadang tidak dipahatkan, ditemukan tema motif serupa dua huruf ‘S’ yang saling berhadapan atau berlawanan arah. Rancangan bentuk motif ini memberikan efek visual sebagai figur wajah mahkluk yang menakutkan dengan mata besar, hidung besar, dan mulut dengan dua gigi taring yang seakan sedang memakan panil persegi empat di bawahnya. Motif ini nampaknya sebagai adaptasi dari bentuk figur makhluk mitologi dalam sistem kepercayaan masyarakat Asia Selatan yang dikenal sebagai ‘Kala’ atau ‘Kirtthimukha’ atau figur wajah dengan senyuman kemenangan (tema motif serupa juga ditemukan pada batu nisan di Aceh Utara,  (lihat Guillot and Kalus 2008; Perret, Surachman, and Kalus 2015, 483). Motif digambarkan sebagai singa ajaib dengan mata besar. Dalam istilah sastra dan bahasa Melayu dikenal sebagai ‘merah biji saga’ seperti untuk menggambarkan kemurkaan. Mulut mengaga menunjukkan geligi taring bahkan dengan semburan nyala api. Motif ini dalam tradisi India berifat melindungi dan mengandung kekuatan gaib (bertuah).

Dalam kebudayaan Asia Selatan motif figur singa, anggota keluarga kucing besar, dikenal sebagaiSimhamukha’, sebagai salah satu avatara Dewa Visnu ‘Simha avatar. Sosok ini dalam tradisi Dravidian dianggap sebagai penyelamat dunia dan juga pelindung ajaran Buddha  (Lee 2009, 271–91).

Motif hias ini sangat unik karena tidak pernah ditemukan sebelumnya sejauh observasi yang telah dilakukan terhadap batu nisan sejenis. Motif ini mungkin sekali sebagai motif khusus yang terikat dalam satu atau beberapa tradisi yang sangat kuat. Dalam tradisi Hindu Asia Selatan, terutama bagian India Selatan, untuk menghormati seorang pahlawan, virakkal atau dapat disamakan dengan pendekar, yang mati dalam menjalankan tugasnya membela agama dan negara (Kamat Potpourri. "Hero-stone Memorials of India". Retrieved 2007-03-15. www.kamat.com ).

Dalam tradisi Islam ‘singa’ dikenal dalam beberapa ungkapan dalam memberi gelar kepahlawanan sosok sahabat nabi dan salah satu dari empat Khalifat al Rasul ‘Ali bin Abi Muthalib radiallahu’anhu (Safadi 1978, 86). Seorang sahabat nabi yang lain digelar sebagai ‘singa padang pasir’ sang penahluk Persia – Sassanid, Sa’ad bin Abi Waqqas, pada masa Amirul Mu’minin Umar bin Khatab. Namun tokoh Ali bin Abi Muthalib terkenal karena keberaniannya menumpas para pembangkang agama Allah sepeninggal Nabi Muhammad saw. Beliau pun akhir riwayatnya syahid saat menjabat sebagai khalifatul rasul yang keempat juga dikenal sebagai ‘singa padang pasir’ dan terkenal dengan pedangnya ‘zulfakhar’.

Dalam ajaran Islam dikenal sebagai ‘syuhada’ atau orang yang mati syahid, dalam menegakkan agama Allah, - fi sabilillah. Untuk mengenang tokoh pemberani itu didirikan tugu peringatan mirip dengan yang dikenal di Asia Selatan sebagai Natukal, ‘hero stone’. Peran tokoh ini biasanya dipahatkan pada monumen batu dan teks inskripsi pendek sebagai puji-pujian yang layak. Tokoh pahlawan atau pendekar pemberani ini dalam istilah Melayu dikenal sebagai ‘Penghulu pendekar’ dalam Hikayat Aceh (Iskandar 1978). Dalam perkembangannya dikenal sebagai hulubalang atau Uleebalang di Aceh sebagai pemimpin angkatan perang.

Efek visual itu terbentuk bukan sebagai suatu yang tidak disengaja. Agaknya pemahat batu nisan ini sangat memperhitungkan garis-garis yang dipahatkan pada setiap sisi batu nisan. Sehingga pertemuan garis-garis itu menghasilkan bentuk-bentuk lain yang telah diperhitungkan hasilnya pada bagian sudut sisi-sisi batu nisan.

Efek visual pertemuan garis-garis pada tiap sudut batu nisan tidak sama, ada yang menjelmakan figur topeng atau wajah (dengan penggayaan, stiler) yang tidak dapat dipahami dengan mudah dan termasuk yang paling jarang ditemukan. Gaya seni pahat yang sama dengan tema bentuk motif serupa namun dengan figure yang berbeda juga sempat kami amati dipahatkan pada batu nisa sejenis di Kampung Pande dan Lamteh. Nampaknya gagasan motif ini telah dikenal sebagai satu gaya seni pahat batu nisan yang istimewa dalam kelompok-kelompok masyarakat Muslim awal di pantai bagian utara pulau Sumatera sejak awal hingga pertengahan abad ke-15 M.


A close-up of a rock

Description automatically generated with low confidence A picture containing square

Description automatically generated Icon

Description automatically generated

   

A picture containing text

Description automatically generated    A picture containing text

Description automatically generated

Gambar 4. Elemen motif dan teks inskripsi angka tahun.

(Dokumentasi: Deddy Satria, 2015)

 


Alam sebagai lingkungan tempat hidup manusia telah banyak mengajarkan kearifan yang jejaknya terekam menjadi alam pikir ‘orang Melayu’ pada seni motif. Ia menghias benda-benda yang dianggap istimewa karena kedudukan para pemakainya. Termasuk karakter khas dari jenis hewan tertentu khususnya seperti gajah, kerbau, dan harimau. Harimau Sumatera jenis kucing besar ‘Panthera Tingris Sumatera’ lebih dikenal dan dipahami dengan baik oleh masyarakat Melayu dari pada singa dalam kebudayaan Asia Selatan dan Arab-Persia. Harimau merupakan hewan liar yang mendapat kedudukan istimewa dalam masyarakat Melayu-Aceh sebagai hewan gaib yang dihormati layaknya sebagai sosok yang disapa dengan sebutan ‘orang tua’ atau ‘nenek’ di daratan Sumatera bagian tengah. Di wilayah Aceh ia dikenal sebagai ‘rimung aulia’, ini dapat dibandingkan dengan gelar penghormatan untuk gajah dalam masyarakat Aceh sebagai ‘Po Meurah’ atau ‘Tuan Raja’.

Dalam legenda masyarakat Melayu dikenal kisah-kisah legenda Sumatera tengah ‘tujuh manusia harimau’ dan di Aceh sendiri dikenal sebagai ‘tujoh rimung aulia’ sebagai ‘tujuh ulama’, istilah yang sama untuk para ulama dalam Perang Padri di Sumatera Barat. Harimau dalam masyarakat Melayu di Sumatera sering dihubungkan sebagai lambang dan simbol dari suatu perilaku keberanian dan kepahlawanan, serta cerdik. Hewan ini dianggap sebagai lambang seorang petarung atau pendekar (Hikayat Aceh: ‘penghulu pendekar’) dalam legenda ‘dunia Melayu’ khususnya. Karakter harimau juga menjadi salah satu gerakan atau gaya bertarung yang khas dalam seni bela diri silat. Secara visual motif figur pada batu nisan tipe Lamuri – Plangpleng Gano nomor 01 ini lebih dekat penggambarannya sebagai wajah harimau daripada wajah singa. Ketika legenda dan makna kearifannya pudar terlupakan.

Motif lain yang cukup terkenal dan dipinjam dari tradisi gaya seni pahat Dravidian Asia Selatan (India) yaitu motif bunga teratai atau motif kelopak bunga teratai. Motif bunga teratai atau lotus berkelopak delapan biasanya dipahatkan pada bagian panil utama dan bagian badan batu nisan batu nisan, sementara motif kelopak bunga teratai (lotus petal) hanya ditemukan pada bagian kaki atau di bawah puncak atau mahkota batu nisan. Bunga teratai merupakan bunga yang sangat istimewa dalam peradaban manusia. Sebagai satu motif, ia dipahatkan atau dilukiskan dalam bentuk ornamen pada benda-benda yang dianggap suci atau istimewa dan juga pada bangunan-bangunan suci. Bunga teratai dalam tradisi Hindu dan Buddha India bersifat suatu yang suci penuh keagungan dan lambang dari kesempurnaan.

Bentuk dan makna bunga teratai sebagai motif untuk seni pahat batu nisan tipe Lamuri- Plangpleng tidak hanya untuk menghadirkan nilai keindahan. Motif itu dipinjam lebih sebagai suatu ungkapan bahwa bahwa tokoh yang dimakamkan ini telah mencapai kesempurnaan dalam pencapaian hidupnya. Dalam ajaran Islam dikenal kesempurnaan sebagai manusia yang taat menjalankan ajaran Islam (berdasarkan Al Qur’an dan al Hikmah – al Hadist). Kesempurnaan dalam melaksanakan amanah dari Allah sebagai wakil Allah di muka bumi –Khalifatullah fil ardy. Gagasan ini berdasarkan satu pemahaman terhadap makna manusia yang sempurna,insan al kamil’.

Selain motif yang telah disebut, batu nisan tipe Lamuri Plangpleng sebenarnya juga meminjam gaya seni pahat dari tradisi Islam, sehingga menghasilkan suatu gaya baru yang terdiri dari gaya campuran. Gaya seni pahat campuran dapat diamati dengan elemen motif dari tradisi Islam, kaligrafi Arab dengan gaya yang khas dan motif geometrik arabesque dalam pola anyaman yang dipadukan dengan bunga-bunga atau tangkai-tangkai daun, pola huruf Arab ‘H’;  ه dengan gaya penulisan khat kufik ornamental pola anyaman (al Faruqi et al. 2003, 411–40).

Gaya seni pahat batu campuran dari dua tradisi yang berbeda ini menjadi satu pembuktian khusus tentang suatu masyarakat tidak homogen. Ini memberikan satu gambaran suatu masyarakat pembuat dan pengguna seni pahat batu nisannya. Gaya motif geometrik arabesque pola anyam nampaknya salah satu gaya motif istimewa yang sering dipahatkan pada batu nisan tipe Lamuri – Plangpleng. Motif serupa juga ditemukan di Kampung Pande, di Makam Tuan di Kandang dan Makam Raja-Raja Kampung Pande, dengan pertanggalan dari pertengahan awal abad ke-15 M.

Makam nomor 02. Saat ditemukan seluruh bagian badan puncak batu nisan telah hilang karena pelapukan pada bahan batuannya. Sementara batu nisan penanda bagian kaki makam telah hilang. Batu nisan mengandung teks epitap menyebut nama tokoh ‘Luhan’. Isi teks epitap sangat menarik dan cukup jarang ditemukan dengan inskripsi dalam dua bahasa atau biligual yaitu bahasa Melayu dan huruf Arab – Jawi dengan gaya penulisan huruf khat naskhi ornamental ‘gaya Lamuri’ yang khas.

Isi teks inskripsi dipahatkan pada panil sisi timur; ﺘﻟﻪ ﻤﺎﺘﻲ ﻟﻪ ﻥ, ‘Telah mati Luhan’ dipahatkan pada panil sisi timur. Sementara teks inskripsi pada panil sisi barat; ﻻﺍﻟﻪﺍﻻﺍﻟﻟﻪ, (kalimah syahada) ;Laa ilaha illa Allah’, Tiada tuhan selain Allah. Teks ini biasa digunakan sebagai pembuka atau mukhaddimah dalam teks Islam sebelum menyampaikan isi berita. Sementara panil sisi utara dan selatan berisikan tema motif bunga teratai.


 

Gambar 5. Epitap bilingual Arab-Melayu “ Laa ilaha illa Allah, Telah mati Luhan”

pada Batu Nisan Makam Nomor 02

(Dokumentasi: Deddy Satria, 2015)

 


Makam nomor 03; ‘Seri Mankuta Muzzafar Syah. Saat ditemukan seluruh bagian badan puncak batu nisan telah hilang karena pelapukan pada bahan batuannya, sementara batu nisan penanda bagian kaki makam telah hilang. Teks inskripsi tidak dipahatkan pada bagian panil utama, melainkan pada bagian profil kaki batu nisan yang biasanya dihias dengan kelopak bunga teratai.

Isi teks menyebut nama tokoh bergelar ‘Seri Mankuta (Sri Mangkuta) Muzzafar Syah’ dalam gaya tulisan khat naskhi - ornamental. Inskripsi, epitap sisi utara batu nisan bagian kepala makam; ’ Seri Mankuta Muzzafar Syah’;  ﺴﺭﻯ ﻣﺎﻨﻛﺕ ﻣﺫﻓﺭﺴﺎﻩ . Teks pada sisi timur dalam keadaan sangat aus, namun masih dapat dibaca; ﻨﻗﻝ ..., ‘nuqila’, kata Arab yang berarti ‘telah berpindah’. Sementara pada sisi selatan juga mengandung teks namun keadaannya sangat aus sehingga sulit untuk dikenal, biasanya kalimat ‘nuqila’ diikuti dengan keterangan waktu meninggal almarhum, dan sisi timur pada bagian yang sama dipahatkan motif kelopak bunga teratai.

Nama tokoh ini sangat terkenal dalam historiografi Aceh. Ia mengingatkan kita pada nama salah seorang dari keluarga raja yang memerintah di Lembah Sungai Aceh pada akhir abad ke-15 M. ‘Makuta Alam’ yang bersaing dengan keluarga raja yang lain ‘Darul Kamal’, seperti yang dikisahkan dalam Hikayat Aceh (Iskandar 1978, 31–35).

Wilayah kekuasaan masing-masing keluarga tersebut dibatasi oleh Krueng Aceh, sisi utara sungai diperintah oleh ‘Makuta Alam’ dan sisi selatan sungai diperintah oleh ‘Darul Kamal’. Namun demikian belum dapat dipastikan peranan tokoh ini dalam persaingan tersebut, mengingat pemakaman ini berasal dari periode awal abad ke-15 M. Kecuali bila peristiwa persaingan antara dua keluarga raja tersebut telah ada sejak masa ini, masalah ini juga belum banyak diketahui.

 


Gambar 6. Seri Mankuta Muzzafar Syah pada Batu Nisan Makam Nomor 03

(Dokumentasi: Deddy Satria, 2015)

 


Tema rancangan bentuk motif (tipe motif) untuk bagian badan berupa bunga kecil berkelopak empat, dan mungkin sekali terangkai dengan tema motif pola anyaman kecil di atasnya. Tipe motif dengan bunga kecil (dan pola anyaman keci) ini sangat menarik kerena sebenarnya sangat jarang ditemukan. Namun sayangnya sebagian besar bagian badan hingga puncak batu nisan ini telah hilang karena bahan batuannya telah lapuk-aus. Dengan demikian tidak diketahui bentuk rancangannya secara utuh. Namun demikian tipe motif dengan bunga kecil yang terhubung dengan pola anyaman kecil dan dengan pengulangan hingga tiga kali secara vertikal ditemukan pada batu nisan sejenis dari kawasan Bukit Lamreh. Keempat bagian sudutnya terdapat bentuk motif tiga sosok manusia yang disusun secara vertikal, seperti stamba. Secara kronologis tipologi batu nisannya berasal dari awal atau pertengahan abad ke-15 M. (Satria 2019). Tema rancangan bentuk motif pada batu nisan ini nampaknya sama. Bila ini benar, maka gejala ini cukup menarik karena tokoh ini mungkin sekali dapat dihubungkan secara historis dengan tokoh-tokoh yang batu nisannya ditemukan di kawasan Bukit Lamreh.


Gambar 7. Batu Nisan Makam Nomor 06

(Dokumentasi: Deddy Satria, 2015)

 


Batu nisan nomor 06. Batu nisan ini saat ditemukan kembali tidak lagi pada posisi awalnya lokasi ditemukan berjarak 50 m di timur kelompok makam ‘Seri Mankuta Muzzafar’ Syah Gano. Namun demikian nampaknya batu nisan ini berasal dari kelompok makam ini. Batu nisannya mengandung inskripsi dengan gaya penulisan khat naskhi – ornamental dengan tangkai daun atau bunga.

Teks epitap sangat pendek pada panil sisi selatan (panil A); ﻨﻗﻝ ﻤﺣﻥ, ‘Nuqila Muhan’,yang berarti ‘Telah berpulang Muhan’ atau pembacaan lain ‘Muhan wafat’. Sementara bagian panil sisi barat (panil B), utara (panil C), dan timur (panil D) dipahatkan motif bunga berkelopak empat berukuran besar. Isi teks ini agaknya senada dengan teks singkat berbahasa Melayu pada makam nomor 02. Teks inskripsi kedua batu nisan itu juga memiliki kesamaan dalam gaya penulisan menggunakan khat naskhi ornamental dengan unsur-unsur tetumbuhan sebagai ornamen huruf. Setidaknya kedua teks tersebut memiliki makna yang sama walau dalam bahasa yang berbeda.

Nama tokoh yang dimakamkan juga sangat mirip, yaitu nama khas ‘orang Melayu’. Nama tokoh yang dimakamkan di makam ini mungkin sekali berasal dari orang lokal yang telah memeluk ajaran Islam. Nama-nama itu tidak ditemukan lagi di Aceh, namun di tempat lain di Nusantara nama ini menjadi nama yang sangat khas. Nama tokoh Muhan dan Luhan sebenarnya juga dikenal di Asia Selatan. Bila demikian maka tokoh-tokoh ini mungkin nama-nama asing dari India. Namun penggunaan teks berbahasa Melayu pada batu nisan Luhan menjadi petunjuk lain bahwa nama-nama asing tersebut mungkin sekali juga telah digunakan untuk nama tokoh-tokoh lokal.

Gaya seni pahat kedua makam tokoh ini serupa, hanya saja batu nisan tokoh Muhan berukuran lebih besar. Sementara berdasarkan isi teks epitapnya kedua batu nisan ini secara kronologis juga berasal dari waktu yang sama. Ini menjadi dukungan yang kuat untuk anggapan bahwa lokasi awal batu nisan ini berasal dari kelompok Makam ‘Seri Mankuta Muzzafar Syah’ Gano.

Selain batu nisan tipe ‘plangpleng’ di atas, di tempat yang berdekatan juga ditemukan batu nisan sejenis. Batu nisan lain dari periode yang sama baik dari jenis batu nisan tipe Lamuri- Plangplengatau batu nisan tipe ‘Batu Aceh’ – ‘Pasai orisinil’ yang ditemukan kembali dalam observasi dan pengembangan survei tahun 2015. Kedua jenis batu nisan tersebut ditemukan di lokasi pengamatan Jurong Biduen – Lampulo, Simpang Gano – Lamdingin, dan Diway Makam – Lambaro Skep, serta Tibang. Kelompok makam di lokasi Diway Makam – Lambaro Skep mengandung teks inskripsi dan diidentifikasi berdasarkan teks inskripsinya sebagai nama tokoh bergelar ‘Malik Ahmad – Syaikh Kuala’ atau sebagai ‘Raja Kuala’.

Batu nisan nomor 07. Batu nisan tipe Lamuri Plangpleng dari Simpang Gano – Lamdingin, lokasi seratus meter di barat Makam ‘Seri Mankuta Muzzafar Syah’.

 

 

Gambar 8. Batu Nisan Makam Nomor 07

(Dokumentasi: Deddy Satria, 2015)

Temuan ini sebagai hasil pengembangan survey tahun 2015. Motif utama bunga besar berkelopak empat pada panil-panil utama dan motif stylasi berbentuk ‘lentera’ atau ‘vas’ (?). Sementara gaya penulisan untuk kaligrafi Arab serupa dengan gaya penulisan jenis sangat berbeda, khat naskhi (?) dengan garis-garis tebal seluruhnya dan dipahat dalam dua kolom. Teks pendek ini (sisi A ?) berisikan inskripsi kalimah syahadah. Batu nisan dengan gaya seni pahat serupa juga ditemukan di pemakaman Tuan di Kandang dengan kode TK I/05 berangka tahun 888 H. atau 1483-1484 M (Guillot and Kalus 2008, 326–36).

 

Sistem Kronologis.

Perlu dijelaskan di sini sebagai perbandingan jenis batu nisan Lamuri - Plakpleng yang pernah diamati dalam observasi dan survei di Banda Aceh – Aceh Besar tahun 2010 – 2015. Batu nisan Lamuri - Plakpleng dari Kampung Pande sebagai contoh berasal dari pertengahan hingga akhir abad ke-15 M, yaitu antara tahun 1446 hingga 1483 – 1484 M. Guillot & Kalus yang telah membaca teks epitap berhasil membaca beberapa batu nisan jenis ini di Kampung Pande, terutama lima batu nisan yang berada di pemakaman Tuan di Kandang dengan kode TK (Guillot and Kalus 2008, 326–36). Batu nisan tersebut yaitu, (1) TK I/03, tahun 849 H atau 1446 M; (2) TK I/04, tahun 865 H atau 1460 M, (3) TK I/05, tahun 888 H atau 1483-1484 M; (4) TK I/07, tahun 862 H atau 1458 M; (5) TK I/19, tahun 865 H atau 1461 M.

Batu nisan tipe Lamuri – Plangpleng dengan kode TK I/03, berangka tahun 849 H atau 1446 M merupakan salah satu yang menarik untuk dijelaskan di sini. Batu nisan ini penanda untuk makam seorang tokoh bergelar ‘Raja’ atau ‘Seri Raja’. Batu nisan ini berlokasi di pemakaman ‘Raja-Raja Kampung Pande’ – di selatan pemakaman ‘Tuan di Kandang’.

Gaya seni pahat batu nisan dari Kampung Pande ini juga sangat mirip dengan batu nisan dari Makam ‘Raja Plak Plieng’ Lamteh (teks inskripsi menyebut tokoh ‘Raja Firman Syah’ dan ‘al Malik al Adil’), Lhok Kuta – Teluk Ujong Pancu (teks inskripsi menyebut tokoh ‘Merah Yusuf yang diampuni dan dikasihi’ dan tokoh ‘Haluban’), dan khususnya di Makam Simpang Gano Lamdingin. Tema rancangan bentuk motif pola anyaman berkembang, bunga teratai, kelopak bunga pada panil utama – panil ganda dengan empat kelopak teratai besar, teratai untuk bagian profil kaki batu nisan, gaya penulisan kaligrafi Arab dengan khat naskhi ornamental untuk teks inskripsi. Tema rancangan bentuk motif – tipe motif pola anyaman pada keempat sisi batu nisan terhubung dengan tema motif antropomorfik di keempat sudutnya dengan figure seorang raja (?) dengan pengembala dan (kepala) kerbau. Rancangan motif – tipe motif seperti ini agaknya hanya dibuat untuk batu nisan pada makam tokoh-tokoh tertentu saja. Terutama sebagai penanda untuk makam tokoh penguasa seperti ‘merah’ atau raja-raja kecil pada pertengahan awal abad ke-15 M.

Berdasarkan teks inskripsi berangka tahun pada batu nisan nomor 01. bertahun 800 Hijrah – 1398 M dapat menjadi acuan kelompok makam Simpang Gano-Lamdingin ini berasal dari akhir abad ke-14 M dan awal abad ke-15 M. Pertanggalan kelompok batu nisan ini mendahului atau paling tidak satu masa dengan kelompok batu nisan sejenis yang ditemukan di Kampung Pande dan Lamteh. Pertanggalan ini sejalan dengan gaya seni pahat jenis batu nisan tipe Batu Aceh - ‘Pasai’ tidak berangka tahun di kelompok makam Gano-Lamdingin. Tipe batu nisan ini secara relatif berasal dari awal abad ke-15 M. dengan pertanggalan antara tahun 1410 – 1430 M (Lambourn 2004, 211–48).

 

Rekonstruksi Masyarakat Muslim awal di Kawasan Pesisir Pantai utara Aceh.

Seni pahat batu nisan dari bagian utara Sumatera telah muncul sebagai salah satu hasil benda budaya masyarakat Melayu Islam pesisir yang bersifat monumental. Hasil kebudayaan itu diwariskan sebagai suatu kecemerlangan dari gagasan-gagasan alam pikiran masyarakat pendukungnya. Masyarakat muslim Melayu tersebut telah berevolusi menjadi masyarakat Muslim yang memiliki identitas kebudayaannya masing-masing.

Sejauh penelitian-penelitian yang telah dilakukan, masyarakat Muslim awal ini terbagi dalam tiga kelompok besar pendukung batu nisan berpahat di sumatera bagian utara. Pertama, masyarakat Muslim Melayu di Barus, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Kedua, masyarakat Muslim Melayu di Lamuri, Aceh Besar, dan terakhir, masyarakat muslim Melayu Samudera Pasai, Aceh Utara – Lhok Seumawe. Fakta ini sejalan dengan kisah pelayaran Nahkoda Syaikh Ahmad dari Jeddah dan Fakih Muhammad dari Ma’abary (Pantai Malabar) atas perintah Sarif Makkah untuk mencari pelabuhan Samudera – Pasai dan menobatkan penguasanya sebagai penguasa Islam. Kisah ini diceritakan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan terutama Sejarah Melayu atau Sulalah as Salatin (Ahmad 2003). Pada pelayaran itu ketiga lokasi kota-pelabuhan atau kerajaan tersebut telah dikunjungi dan di tempat-tempat itu mereka telah bertemu dengan masyarakat Muslim.

Masyarakat pelabuhan atau kota pelabuhan pada masa itu berasal dari masyarakat berbagai bangsa yang ikut dalam jaringan pelayaran dan perdagangan dunia, baik dari Arab, Persia, dan India, serta Cina. Terutama kelompok pedagang yang terhimpun dalam perkumpulan pedagang dan pelaut Tamil dari India Selatan yang meninggalkan teks inskripsi berbahasa Tamil Nadu. Inskripsi berbahasa Tamil ditemukan di Sumatera bagian utara, inskripsi Tamil Labu Tuo, Barus bertahun 1010 Saka atau 1088 M. dan inskripsi Tamil Neusu Aceh dari akhir abad ke-13 M. (Subbarayalu 2009, 158–68). Kedua inskripsi tersebut berhubungan langsung dengan kelompok perkumpulan pelaut dan pedagang dari India Selatan. Perkumpulan yang menyebut kelompoknya sebagai ayyavole Ainuruvar dengan kedudukan utamanya di pantai barat India, dan pantai timur, pantai Coromandel.

Namun kelompok ini tidak bekerja sendiri dalam melakukan kegiatan perdagangannya. Mereka memiliki jaringan yang luas dengan pedagang muslim Timur Tengah, Arab-Persia. Pantai Malabar yang lebih dikenal sebagai pantai Ma’abary oleh para pelaut dan pedagang dari Arab-Persia. Pantai ini pernah berperan sebagai pelabuhan yang paling penting untuk masa itu. Para pedagang muslim terus bertahan dan bahkan sempat mengembangkan ajaran Islam di tempat ini. Perkumpulan pelaut dan pedagang dari pantai Ma’abary merupakan perkumpulan campuran Arab, Persia, dan India yang dalam prasasti dikenal sebagai perkumpulan Anjuvanam (Subbarayalu 2009, 529–32).

Ketika Ibnu Bathuthah ditugaskan oleh Sultan Delhi, Sultan ‘Alaiddin Muhammad Tughlug untuk menyampaikan balasan surat permintaan Khan Agung di Cina tahun 1346 M, beliau sempat singgah di pelabuhan-pelabuhan pantai Malabar. Di sini beliau melihat banyak orang-orang dari kelompok masyarakat Muslim yang tinggal dalam kawasan penguasa-penguasa Hindu India. Mereka memiliki kedudukan terhormat sebagai syahbandar di pelabuhan, sebagai pemilik kapal kaya raya, serta ulama-ulama sebagai penasehat dan ahli hukum Islam (Fikih) (Ibn Bathutah and Abdullah 2009, 342).

Hal serupa juga ia temukan pula di Balad al Jawah atau Samudera – Pasai. Peran orang-orang Islam pendatang itu mendapatkan kedudukan dan peran yang istimewa dalam lingkungan istana. Umumnya para pelaut dan sekaligus pedagang tersebut selain berasal dari India Hindu sendiri, juga berasal dari Oman, Yaman, atau dari kawasan teluk Arab dan/atau Teluk Persia dengan berbagai latar belakang kepercayaan baik Islam, Kristen, bahkan Yahudi. Mereka menjadi pedagang perantara dengan membangun permukiman untuk koloni-koloni pedagang mulai kota Zaitun – Quanzhou, Fujian di Cina selatan, lalu India, hingga kawasan Timur Tengah. Hal ini untuk memahami cara ajaran Islam dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang pada masa awalnya di Nusantara. Yaitu melalui jaringan ulama yang telah dirintis oleh para pelaut dan pedagang melalui jaringan pelayaran dunia atau perdagangan rempah-rampah dunia.

Dalam survey juga ditemukan nama-nama tempat yang berhubungan dengan nama etnik asing, seperti (khususnya) etnik Keling, ‘orang Keling’ (bahasa Aceh: urung Kleng’). Sebagai contoh Jurong Kleng (Lorong Keling) dan Alue Kleng (alur-parit Keling). Etnik ini mendapat perhatian khusus dalam tradisi penulisan dunia Melayu dan juga di Aceh. Kelompok ini mengacu pada satu etnik dari negeri di atas angin’ atau ‘Benua Keling’. Istilah ini kemudian dihubungkan dengan ‘Negeri Vijayanagara’ (atau Karnataka) sejak abad ke-14 M hingga abad ke-16 M (Ahmad 2003). Di lokasi ini ditemukan banyak pecahan belanga tanah dengan gaya atau tradisi tembikar dari Asia Selatan.

Ini dapat dipahami kemudian untuk menyebut masyarakat dari Asia Selatan, India bagian selatan. Sebagai contoh, salah satu tempat di Lambaro Skep, di barat Gano, yang dikenal masyarakat sebagai ‘Jurong Kleng’ atau Lorong Keling, terletak di utara Jurong Diway Makam – Lambaro Skep. Jenis batu nisan tipe Lamuri – Plangpleng sangat meyakinkan sebagai petunjuk dan bukti adanya masyarakat campuran ini. Hal ini tidak hanya terjadi percampuran masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal yang mendiami pantai-pantai, tetapi juga percampuran gagasan-gagasan kebudayaan dengan latar belakang kepercayaan yang berbeda.

Ini menjadi karakter yang khas kota-kota pelabuhan di awal perkembangan Islam di sumatera bagian utara (terutama di Aceh), yaitu sebagai masyarakat campuran’. Mereka berasal dari berbagai bangsa dari sepanjang jaringan pelayaran dunia dari Timur Tengah, Persia, hingga Asia Selatan, lalu membaur dengan masyarakat lokal, Melayu. Keadaan ini terus berlanjut pada masa kebangkitan Kesultanan Aceh.

Terakhir, sebagai bukti penghubung yang lain, penggunaan tiga bahasa campuran, Sanskerta, Melayu, dan Arab-Persia untuk menyebut gelar seorang penguasa ‘Seri Mankuta Muzzafar Syah’. Ini fakta yang sangat penting karena berasal dari masyarakat lokal sendiri dari masanya. Bahwa ketiga bahasa tersebut sudah umum dikenal dalam masyarakat, paling awal pada akhir abad ke-14 M. dan awal abad ke-15 M. Dengan demikian, Istilah dalam bahasa Sanskrit sering digunakan saat masyarakatnya telah beralih menjadi penganut ajaran Islam dan bukan pada saat masyarakatnya penganut ajaran Hindu atau Buddhisme. Keadaan yang sama agaknya juga terjadi untuk gagasan seni pahat batu nisan. Gagasan rancangan bentuk dan gaya seni pahat batu nisan tipe Lamuri – Plangpleng mungkin sekali dipinjam (atau sebagai hasil transformasi) dari rancangan kuil Hindu Dravidian.

Gelar penguasa ‘Seri Mankutajuga suatu tanda bahwa penguasa ini memerintah secara mutlak dan berdaulat dalam kawasan yang relatif cukup luas. Satu kawasan yang meliputi Kuala – Sungai (Krueng) Bhrok atau Kuala Alue Cut. Dalam tradisi kawasan ini dikenal dengan ’Kuala’, dekat atau bahkan bersatu dengan Kuala Aceh di bagian sisi timur. Syaikh Abd ar Rauf as Singkili yang kemudian dimakamkan di tempat ini mendapatkan gelar kehormatan setelah kematiannya (gelar anumerta) sebagai Syiah Kuala atau ‘Syaikh di Kuala’. Belum dapat dijelaskan di sini kawasan kuala ini pernah menjadi nama salah satu negeri untuk merah atau raja-raja kecil pada masa Lamuri. Setidaknya empat hingga lima kampung yang berdekatan di sini pernah menjadi satu wilayah dan juga pernah dikuasai oleh seorang penguasa.

Kampung-kampung terdekat itu meliputi Kampung Biduen-Lampulo, Lamdingin-Simpang Gano, dan Lambaro Skip di Kecamatan Kuta Alam, dan Kampung Tibang serta Deyah Raya di Kecamatan Darussalam. Selain itu, agak sedikit di pedalaman ke arah selatan terdapat Kampung Pinueng, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh dan Meunasah Papeun, Kecamatan Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Dalam pengembangan pengamatan di tempat ini juga ditemukan makam dengan penanda batu nisan tipe Lamuri-‘plangpleng’. Jumlah temuannya terbatas dan tidak memuat teks sepenting batu nisan dari Simpang Gano. Teks inskripsi yang dipahatkan biasanya berupa dua kalimah syahadah, ‘laa ilaha illa Allah, Muhammad rasul Allah’, tiada tuhan selain Allah, Muhammad rasul Allah.

Dari bukti itu agaknya pada satu masa, paling awal akhir abad ke-14 M, dan abad ke-15 M., kampung-kampung terdekat itu sudah didiami oleh masyarakat muslim lokal yang beralih ke dalam ajaran Islam secara bertahap. Masyarakatnya mungkin sekali pernah menjadi bagian dari satu ‘negeri Kuala’ atau ‘Kuta Kuala’ dengan Gano Lamdingin sebagai pusat pemerintahannya, serta menjadi salah satu pelabuhan utama dalam jaringan jarak jauh pada masa Lamuri.

 


Gambar 9. Peta Lokasi Gano-Lamdingin dan wilayah persebaran batu nisan

tipe Lamuri Plangpleng di Kota Banda Aceh

(Dokumentasi: Deddy Satria, 2015)

 


Tokoh ‘Muzzafar Syahsebagai nama dari salah satu raja dari keluarga raja (Hikayat Aceh: wangsa indera) yang memerintah di Lembah Sungai Aceh pada akhir abad ke-15 M. ‘Makuta Alam’ yang bersaing dengan keluarga raja yang lain ‘Darul Kamal’, seperti yang dikisahkan dalam Hikayat Aceh (Iskandar 1978, 31–35). Wilayah kekuasaan masing-masing keluarga tersebut dibatasi oleh Sungai (Krueng) Aceh, sisi utara sungai diperintah oleh ‘Makuta Alam’ dan sisi selatan sungai diperintah oleh ‘Darul Kamal’. Sebagai nama atau gelar untuk penguasa, ‘Muzzafar Syah sering digunakan untuk nama atau gelar raja-raja yang memerintah di dalam kedua keluarga raja tersebut.

Sementara di sisi barat Krueng Aceh di Kampung Pande, Kecamatan Kuta Raja ditemukan Makam Tuan di Kandang dan Makam Raja-Raja Kampung Pande  dengan temuan batu nisan sejenis. Salah satu batu nisannya mengandung teks inskripsi menyebut gelar ‘Raja’ wafat tahun 849 H. atau 1446 M. Sementara di pemakaman Tuan di Kandang (kedua lokasi makam saling berdekatan) ditemukan batu nisan (kode TK I/03) menyebut tokoh lain bergelar ‘Seri Raja’ wafat tahun 862 H atau 1458 M (Guillot and Kalus 2008, 326–36).

Saat ini belum dapat diketahui hubungan kedua penguasa dari kedua tempat ini. Sebagai bagian satu kawasan dari suatu negeri atau sebagai kelanjutan dari pemerintahan ‘Sri Mankuta Muzzafar Syah’ belum dapat dipastikan. Dugaan lainnya, kedua tempat ini adalah dua negeri atau wilayah dari masing-masing merah (raja) Lamuri yang letaknya saling berdekatan di Kuala Aceh. ‘Sri Mankuta Muzzafar Syah’ Gano sebagai penguasa tertinggi di kawasan Kuala Aceh dan raja-raja dari Kampung Pande berkedudukan sebagai raja bawahannya. Sementara sedikit di pedalaman dekat Lamteh, Kecamatan Ulee Kareung, Kota Banda Aceh ditemukan Makam ‘Raja Plak Plieng’ dengan kumpulan batu nisan sejenis. Namun juga belum dapat diketahui kedudukannya dan hubungannya dengan penguasa dari lembah dan Kuala Aceh.

Sejauh ini belum dapat dijelaskan hubungan ketiga raja tersebut pernah memerintah secara bersama-sama di lembah sungai Aceh. Masalah ini akan berkembang lebih menarik lagi bila dihubungkan dengan sekumpulan peninggalan batu nisan sejenis dari kawasan timur lembah Aceh, yaitu di perbukitan dekat Teluk Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.

Keterangan angka tahun pada salah satu batu nisan sangat berarti untuk memahami hubungan dengan babak penting dalam sejarah dunia dari pelayaran-pelayaran armada Cheng Ho. Hal ini diberitakan sehubungan dengan kedatangan utusan-utusan dari satu kawasan yang saling berdekatan, yaitu Lan wu li -dari lembah sungai Aceh dan Lan po li -dari kaki Gunung Seulawah. Kedua penguasa negeri itu telah mengirim utusannya secara bersamaan menghadap Ming Agung Yung Lo (1403-1424) dalam tahun 1416 dan berlanjut hingga tahun 1421 pada saat ‘Kota Terlarang’ diresmikan. Kedua raja itu agaknya saling bersaing dan menghendaki agar Ming Agung mengakui kedaulatannya (Kévonian 2014, 48–49).

Berita-berita dalam kitab geografer Arab dan Persia dari abad ke-9 M. hingga abad ke- 10 M. tentang ‘balad al Ramni, negeri Lamuri. Mereka memahami dan menjelaskan bahwa kawasan Lamuri yang dikenal dengan Ramni atau Ramin sebagai ‘daerah yang luas dan diperintah secara bersama oleh banyak pemerintahan (banyak raja)’ (Wolters 2011, 226; lihat juga informasi dari Al Mas’udi dalam Sprenger 2019, 325). Bila pernyataan itu benar, maka di kemudian hari batu nisan tipe ‘plangpleng’ akan menjadi bukti dan bahan penting untuk memahaminya.

 

KESIMPULAN

Batu nisan tipe plangpleng dengan berbagai rancangan bentuk motif – tipe motif dan gaya seni pahatnya itu menjadi salah satu pencerminan identitas muslim masyarakat kuno di Aceh Besar dan khususnya Banda Aceh. Secara kronologis berdasarkan batu nisan berasal dari periode sebelum kebangkitan kesultanan Aceh pada awal abad ke-16 M Yaitu satu periode yang dikenal dan dipahami sebagai masyarakat yang dikenal dalam teks lama sebagai Lamuri.

Secara geografis ada banyak kuala di wilayah sepanjang pantai Aceh Besar – Banda Aceh. Setidaknya ada tiga kuala dari sepanjang pantai dan dua teluk. Kuala yang dimaksud yaitu Kuala Gigieng, Kuala Aceh, dan Kuala Cangkoi. Selain itu juga ada dua teluk, yaitu Teluk Lamreh-Lamuri (sekarang menjadi Teluk Kroung Raya), Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar hingga Teluk (Ujung) Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Salah satu kuala yang paling penting kemudian adalah Kuala Aceh.

Agaknya Kuala Aceh serta dua kuala yang lainnya dan juga kedua teluknya pernah menjadi pelabuhan-pelabuhan pada masa Lamuri. Setiap pelabuhan berkembang menjadi negeri-negeri dengan penguasanya sendiri-sendiri. Hal ini mungkin dapat disamakan dengan sistem ‘kemerahan’ (merah: raja-raja kecil) yang berdaulat atas wilayahnya sendiri. Pada abad ke-13 M dan khususnya pada akhir abad ke-14 M hingga abad ke-15 M atau bahkan hingga awal abad ke-16 M perkembangan masyarakat muslim awal di pesisir Aceh Besar – Banda Aceh di masa lampau nampaknya cukup pesat.

Masyarakat yang berkembang sangat cepat melalui penguasa-penguasa kualanya telah membangun dasar-dasar pemerintahan Islam yang kukuh dan berkesinambungan. Negeri-negeri yang bersandar pada kegiatan pelayaran dan perdagangan dalam jaringan pelayaran dunia dan perdagangan rempah-rempah menjadikannya makmur dan berkembang pesat kebudayaannya. Keadaan itu seperti ungkapan dalam bahasa Melayu, ‘lain padang, lain ilalang; lain lubuk, lain ikannya. Ungkapan ini bila dihubungkan dengan bukti arkeologis tersebut di atas akan memiliki makna sebagai, ‘lain kuala, lain rajanya’.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abu Bakar, Budiman Sulaiman, M.Adnan Hanafiah, Zainal Abidin Ibrahim, and Syarifah. 2001. Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka.

 

Ahmad, Abdus Samad. 2003. Sulalatus Salatin, Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

 

Faruqi, Ismail.R al, Lois Lamnya al faruqi, Ismail R. Al-Faruqi, and Lois Lamnya Al-Faruqi. 2003. Atlas Budaya Islam Manjelajah Khasanah Peradaban Gemilang, Ornamen Dalam Seni Islam. Bandung: Mizan.

 

Guillot, Claude, and Ludvik Kalus. 2008. Les Monuments Foneraires et l’Histoire Du Sultananate de Pase a Sumatera. Cahierd’Archipel. Paris: Association Archipel.

 

Ibn Bathutah, and Muhammad bin Abdullah Abdullah. 2009. Rihlah Ibnu Bathuthah, Memoar Perjalanan Keliling Dunia Di Abad Pertengahan. I. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.

 

Iskandar, Teuku. 1978. Hikayat Aceh (Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandar Muda). Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh.

 

Kévonian, Kéram. 2014. “Suatu Catatan Perjalanan Di Laut Cina Dalam Bahasa Armenia.” In Lobu Tua Sejawah Awal Barus, edited by Claude Guillot, 1st ed., 37–126. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

 

Lambourn, Elizabeth. 2004. “The Formation of the Batu Aceh Tradition in Fifteenth-Century Samudera-Pasai.” In Indonesia and The Malay World, 211–48. Leicester: University of Leicester.

 

Lee, Risha. 2009. “Rethinking Community: The Indic Carvings of Quanzhou.” In Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflection on the Naval Expedition to Southeast Asia, edited by Hermann Kulke, Kesavapany K., and Vijay Sahkuja, 271–91. Singapore: Institute of Southeast Asia Studies (ISEAS).

 

Montana, Suwedi. 1997. “Nouvelles Données Sur Les Royaumes de Lamuri et Barat.” Archipel 53 (1): 85–95. https://doi.org/10.3406/arch.1997.3393.

 

Perret, Daniel, Heddy Surachman, and Ludvik Kalus. 2015. “Enam Abad Seni Makam Islam Di Barus.” In Barus Nageri Kamper, Sejarah Abad Ke-12 Hingga Pertengahan Abad Ke-17, edited by Heddy Surachman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

 

Safadi, Yasin Hamid. 1978. Kaligrafi Islam. London: Thames and Hudson Limited.

Satria, Dedy. 2014. “Jenis Batu Nisan Tipe ‘Batu Pasai’ Dan Plangpleng (Kelompok Pemakaman Kuno Dari Pango Bagian Selatan, Ulee Kareng, Banda Aceh.” Arabesk 14 (1): 1–27.

 

———. 2016. “Batu Nisan Tipe ‘Batu Pasai’ Dan Batu Nisan Tipe ‘Plangpleng’ Dari Neusu,.” Arabesk XIV (1).

 

———. 2019. “Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng.’” Berkala Arkeologi Sangkhakala 22 (2): 65–80. https://doi.org/10.24832/bas.v22i2.407.

 

Sprenger, Aloys. 2019. “Meadows of Gold and Mines of Gems.” In Historical Encyclopedia, I:65–80. the Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland.

 

Subbarayalu, Y. 2009. “A Trade Guild Tamil Inscription at Neusu, Aceh.” In Histoire De Barus Sumatra III, Regards Sur Une Place Marchande De L’Ocean Indien (XIIe-Milieu Du XVIIe S.), edited by Daniel Perret and Heidy Surachman, 38:529–32. Paris: Cahier d’Archipel .

 

Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya Dan Perdagangan Dunia Abad III-Abad VII. Jakarta: Komunitas Bambu.

 

Yatim, Othman M. 1988. Batu Aceh, Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: Kuala Lumpur: Museum Association of Malaysia c/o Muzium Negara.

 

Yatim, Othman M, and Abdul Halin Nasir. 1990. Epigrafi Islam Terawal Di Nusantara. Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.