MAKNA ARTEFAK MASA HINDU-BUDDHA
DI KERATON KASEPUHAN CIREBON:
TINJAUAN SEMIOTIKA PEIRCE
THE MEANING OF HINDU-BUDDHIST ARTIFACT
IN KASEPUHAN CIREBON PALACE:
AN PEIRCEIAN SEMIOTICS STUDIES
Muhamad Alnoza
Program Pascasarjana Antropologi, Universitas
Gadjah Mada
Jl. Sosio-Humaniora No.1, Bulaksumur, Sleman,
Yogyakarta
muhamadalnoza@gmail.com
Reception date : 08/12/201 |
Last Revision: 10/11/2021 |
Acceptation date: 12/11/2021 |
Published: 25/11/2021 |
To Cite this article : Alnoza, Muhamad. 2021. “MAKNA ARTEFAK MASA
HINDU-BUDDHA DI KRATON KASEPUHAN CIREBON: TINJAUAN SEMIOTIKA
PEIRCE”. Berkala Arkeologi Sangkhakala 24 (2). Medan, Indonesia,
107-20. https://doi.org/10.24832/bas.v24i2.457. |
©2021 Berkala Arkeologi Sangkhakala –This is an open access article under the CC BY-NC-SA license |
Abstract
The research
conducted in this paper focuses on answering the problem of the meaning of the
artifacts of the Classical period found in the Kasepuhan Cirebon palace. The
goal to be achieved in this research is to obtain an explanation of the
position of the artifacts of the Classical period for the Keraton Kasepuhan
Cirebon. In order to answer this research problem, three research steps were
applied in the archaeological method, namely data collection, data analysis,
and interpretation. Based on the entire research process that has been carried
out, it can be seen that the artifacts of the Classical period that are stored
in the Kasepuhan Cirebon palace are meaningful as symbols of the status of the
king who occupies the highest power. Artifacts of the Classical period were
used to strengthen the legitimacy of the King of Cirebon who had the status of
"pandita ratu".
Keywords:
Kasepuhan
Cirebon Palace, Linga, Nandi Statue, Semiotics, Yoni
Abstrak
Penelitian yang
dilakukan dalam tulisan ini berfokus dalam menjawab permasalahan makna dari
artefak masa Klasik yang terdapat di Keraton Kasepuhan Cirebon. Tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah didapatkannya penjelasan mengenai
kedudukan artefak-artefak masa Klasik bagi Kerato Kasepuhan Cirebon. Dalam
rangka menjawab permasalahan penelitian ini, diterapkan tiga langkah penelitian
dalam metode arkeologi, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan
interpretasi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan dan kepustakaan
terhadap deskripsi tinggalan-tinggalan masa Klasik di Keraton Kasepuhan
Cirebon. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
analisis semiotika Charles Sanders Peirce. Setelah melalui proses analisis,
didapatkan gejala-gejala yang kemudian diinterpretasikan melalui metode analogi
kesejarahan. Berdasarkan seluruh proses penelitian yang telah dilakukan, dapat
diketahui bahwa artefak-artefak masa
Klasik yang disimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon bermakna sebagai simbol status raja yang menduduki
kekuasaan tertinggi. Artefak masa Klasik digunakan sebagai penguat legitimasi
Raja Cirebon yang berstatus “pandita ratu”.
Kata kunci: Keraton Kasepuhan Cirebon; Lingga; Arca Nandi;
Semiotika; Yoni.
PENDAHULUAN
Masa Hindu-Buddha di Indonesia berlangsung sejak abad
ke-4 hingga abad ke-15 masehi. Berkembangnya kebudayaan Hindu-Buddha di
Indonesia memperkenalkan beberapa pengetahuan baru bagi masyarakat lokal yang
sebelumnya hidup dalam kebudayaan prasejarah, Pengetahuan baru yang
diperkenalkan kebudayaan Hindu-Buddha bagi masyarakat Indonesia, antara lain
sistem penulisan aksara Pallawa, Agama Hindu-Buddha, sistem pemerintahan
berbentuk monarki, dan penanggalan saka. Budaya Hindu-Buddha subur berkembang
melalui munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, seperti Kutai,
Tarumanagara, Kalingga, Mataram Kuno, Sriwijaya, Kediri, Singhasari, Majapahit
dan Sunda. Kebudayaan Hindu-Buddha lebih lanjut disebut pula sebagai budaya
“klasik” Indonesia, mengingat eksistensinya yang terus berkesinambungan pada
masa perkembangan kebudayaan selanjutnya, dari Masa Islam hingga Pasca-Kemerdekaan
(Munandar 2014, 171-178).
Tinggalan budaya dari masa Klasik di Indonesia masih
dapat dijumpai hingga masa sekarang, baik yang berupa artefak maupun
fitur-fitur. Tinggalan masa Klasik ini tersebar di pelbagai daerah di hampir
seluruh wilayah Nusantara, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali
dan Nusa Tenggara (Poesponegoro & Notosusanto 2010a). Tinggalan budaya masa Klasik yang tersisa
hingga saat ini salah satunya tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Cirebon di masa pra-Islam pernah dikuasai oleh salah
satu kerajaan bercorak budaya Klasik, yaitu Kerajaan Sunda. Kerajaan ini
berdiri di Jawa Barat sekitar abad ke-8 masehi. Kemunculan Kerajaan Sunda dalam
panggung sejarah kebudayaan Indonesia, dibuktikan dengan sumber tertulis berupa
prasasti-prasasti dan naskah kuna. Nama “Sunda” muncul dari rekaman sejarah paling
tua terdapat pada Prasasti Kebon Kopi II (932 M) dan kemudian Prasasti Sang
Hyang Tapak (1030 M), yang menyebut nama Raja Sri Jayabupati Jayamanahen (Djafar 2014, 124). Kerajaan Sunda
dalam hal ini juga tercatat dalam manuskrip
Carita Parahyangan, yang di dalamnya terdapat
keterangan akan pusat kekuasaan Kerajaan Sunda, yaitu Galuh Kawali (Ciamis) dan
Pakwan Pajajaran (Bogor). Seorang penjelajah Portugis yang datang ke Nusantara
pada abad ke-16 bernama Tome Pires, menyebutkan dalam catatan perjalanannya bahwa
ibukota Kerajaan Sunda pada masa akhir terletak di daerah bernama Dayo (mungkin sekali Pakwan Pajajaran)
dan wilayahnya membentang dari Sungai Cimanuk ke arah barat (Danasasmita 2015,
15-33). Keterangan ini memperjelas indikasi bahwa kemungkinan tinggalan masa klasik
di Keraton Kasepuhan Cirebon diduga berasal dari masa Sunda atau paling tidak
mendapat pengaruh kebudayaan kerajaan tersebut.
Tentu keberadaan tinggalan masa klasik di Keraton
Kasepuhan Cirebon menjadi gejala yang menarik untuk dikaji. Hal ini dikarenakan
Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan
kerajaan Islam yang dianggap sebagai salah satu penerus Kesultanan Cirebon. Kesultanan
Cirebon dalam hal ini merupakan entitas politik Islam paling awal di Jawa
barat, sekaligus juga pusat penyebaran ajaran Islam di daerah tersebut
(Poesponegoro & Notosusanto 2010b, 59-64).
Kajian mengenai eksistensi unsur kebudayaan Klasik di
tengah-tengah perkembangan peradaban kebudayaan Islam pernah dilakukan oleh
Agus Aris Munandar dan Rita Fitriati Nurlambang (1995) dalam laporan
penelitiannya yang berjudul “Ragam Hias Praislam pada Bangunan Islam di Jawa”.
Penelitian ini membahas perihal pengaruh unsur-unsur bangunan Hindu-Buddha yang
menyatu dengan unsur-unsur bangunan Islam di Jawa, terutama pada bagian ragam
hias. Ragam hias bangunan masa Islam sebagaimana disebutkan dalam laporan ini
memang melanjutkan tradisi ragam hias yang diterapkan pada bangunan Klasik,
baik pada masa Klasik Tua (8-10 M) maupun Klasik Muda (13-15). Penerapan ragam
hias Klasik pada bangunan Islam dilakukan sejauh tidak melanggar aturan Agama
Islam yang melarang penggambaran figure mahluk hidup (seperti hewan atau
manusia) secara gamblang.
Pengaruh budaya Hindu-Buddha pada Keraton Kasepuhan
Cirebon juga pernah dibahas secara implisit oleh Uka Tjandrasasmita (2009)
dalam tulisannya yang berjudul “Kesultanan Cirebon: Tinjauan Historis dan
Kultural” dan Dina Rosmalia (2018) pada tulisannya yang berjudul “Pola Ruang
Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon”. Tjandrasasmita dalam artikelnya lebih
berfokus pada memaparkan unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha di Keraton
Kasepuhan Cirebon yang tercermin dalam bentuk bangunan Keraton serta ragam hias
yang ada di dalamnya. Rosmalia secara lebih mendetail menyebutkan bahwa
penataan pola ruang di Keraton Kasepuhan Cirebon mengikuti konsep kosmologis
yang berkembang pada kebudayaan Hindu-Buddha.
Kedua penelitian sebelumnya yang dipaparkan di atas
pada dasarnya memberikan gambaran bahwa keberadaan unsur budaya Klasik di
tengah kebudayaan budaya Islam, khususnya di Keraton Kasepuhan Cirebon, memang fenomena yang lazim walaupun dalam
bentuk yang samar-samar. Keberadaan artefak masa Klasik yang masih disimpan di Keraton
Kasepuhan Cirebon dengan demikian dapat disebut sebagai anomali, karena
keberadaannya terkesan tidak samar-samar.
Kajian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan
mengenai makna keberadaan artefak masa Hindu-Buddha di Keraton Kasepuhan
Cirebon. Rumusan masalah dibuat untuk mengetahui kedudukan tinggalan kebudayaan
Klasik dalam kesinambungan budaya Klasik di Cirebon secara umum atau Keraton
Kasepuhan Cirebon secara khusus.
Dasar dari
pemaknaan terhadap tinggalan Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon dalam
kajian ini adalah Teori Semiotika. Ferdinand de Saussure sebagai pencetus
Semiotika dalam ranah linguistik, berpendapat bahwa setiap objek yang dianggap
sebagai tanda (sign) oleh manusia tentu memiliki petanda (signifie/significant)
(Hoed 2003, 3). Charles Sanders Pierce lebih lanjut lagi menyebutkan bahwa
setiap tanda (sign) merupakan proses kognitif yang dimiliki oleh manusia
(Lantowa et al 2017, 1).
Tanda ini memiliki asosiasi dengan representan (representanment/ referent) yang bisa
berbentuk konstrak atau konsep. Asosiasi di antara keduanya bisa bersifat natural (menghasilkan petanda index), formal (menghasilkan petanda icon),
dan arbitrary (menghasilkan petanda symbol). Lebih lanjut lagi
representanment ini lah yang ditafsirkan (interpretant).
Kaitan ketiganya kemudian dikenal dengan Semiotika Triadik. Interpretant pada
suatu triadik dapat menjadi sign baru apabila tersedia data penunjang yang
mampu mengantarkan sign baru ini pada referent yang lain. Perkembangan dari
satu triadik ini disebut sebagai semiosis (lihat gambar 1 dan 2) (Hoed 2003,
3-6; Munandar 2019, 77-78).
Gambar 1. Semiotika Triadik Peirce
(Sumber: Alnoza
2020)
Gambar 2. Semiosis
(Sumber: Alnoza
2020)
METODE
Penelitian ini dilakukan melalui tiga
tahapan, yaitu pengumpulan data, analisis dan interpretasi (Gibbon 2013, 7).
Pengumpulan data dalam hal ini meliputi tiga artefak masa Klasik di Keraton
Kasepuhan Cirebon, antara lain Arca Nandi, Lingga dan Yoni. Proses pengumpulan
data dilakukan melalui perekaman data verbal dan piktorial. Analisis pada data
yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis melalui analisis Semiotika
Triadik Peirce. Hasil pemaknaan dari analisis tersebut kemudian
diinterpretasikan melalui satu triadik semiotika tersendiri yang disesuaikan
dengan data pendukung berupa data sejarah dari Keraton Kasepuhan Cirebon,
sehingga pada akhirnya dapat ditentukan satu postulat yang menjawab
permasalahan serta tujuan penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Artefak
Masa Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon
Menurut kepercayaan penghuni Keraton Kasepuhan Cirebon, artefak-artefak
yang dijadikan data dalam penelitian ini (Arca Nandi, Yoni, dan Lingga dengan
penggarapan sederhana) telah ada sejak lama (in situ). Berdasarkan bahan
dasar pembentuknya, artefak-artefak tersebut terbuat dari bahan batu andesit.
Bahan tersebut tidaklah umum digunakan di Keraton tersebut, karena kebanyakan
bahan yang digunakan adalah bata dan batu karang. Hal ini mengindikasikan bahwa
harusnya benda-benda ini bukan dibuat atau bahkan berasal dari Cirebon. Artefak-artefak
yang serupa dengan yang ditemukan Keraton Kasepuhan Cirebon namun demikian
dapat pula ditemukan pada beberapa situs bangunan suci Kerajaan Sunda. Arca
Nandi dan Yoni di Keraton Kasepuhan Cirebon dapat ditemui bentuk sederhananya
di Situs Candi Ronggeng (Pamarican, Ciamis), sedangkan lingga dengan bentuk
sederhana atau menyerupai menhir dapat dijumpai di Situs Astana Gede (Kawali,
Ciamis) (Munandar et al. 2011, 60; 66). Oleh karena itu artefak-artefak yang ditempatkan
di Keraton Kasepuhan harusnya bukan berasal dari tempat yang jauh dari Cirebon,
karena tinggalan jenis tersebut lazim pula ditemukan di Jawa Barat.
Arca Nandi
Arca Nandi di Keraton
Kasepuhan Cirebon ditempatkan di pelataran Taman Bunderan Dewandaru. Arca
Nandi terbuat dari batu andesit hitam keabuan, yang saat ini telah dicat
berwarna putih oleh pengelola. Kondisi arca secara umum dalam keadaan utuh,
walaupun terdapat aus di bagian tanduk sebelah kanan. Arca ini
digambarkan dalam bentuk sapi jantan yang sedang duduk di atas asana berbentuk
oval. Kepala arca dilengkapi dengan
sepasang tanduk serta diposisikan menengadah ke arah kanan. Kedua kaki depan
arca melipat ke arah dalam, sedangkan kaki belakang dibentuk dengan arah
keluar. Ekor serta penis dari arca digambarkan dalam keadaan terjepit di antara
perut dan kaki kanan belakang arca. Arca
ini secara umum memiliki panjang 42 cm, lebar 19.5 cm dan tinggi 26.5 cm. Asana
dari arca memiliki diameter 41 cm dan tinggi 8 cm.
Gambar 3 dan 4. Arca Nandi dari arah depan dan samping
(Sumber: Alnoza
2020)
Lingga
Lingga di Keraton Kasepuhan Cirebon ditempatkan di
bagian belakang siti inggil Keraton. Lingga terbuat dari batu andesit berwarna
hitam keabuan dan diposisikan berdiri. Bagian bawah Lingga diperkeras dengan
semen oleh pengelola, Secara umum Lingga berbentuk silindris menyerupai sebuah
pilar. Bagian kemuncak dari Lingga dibuat datar. Lingga ini secara keseluruhan
berukuran diameter 22.5 cm dan tinggi 122.2 cm.
Gambar 5. Lingga dipandang dari salah satu sisi
(Sumber: Alnoza
2020)
Yoni
Yoni di Keraton Kasepuhan Cirebon disimpan di bagian
belakang siti inggil Keraton, bersandingan dengan Lingga. Yoni terbuat
dari jenis batu andesit yang sama dengan Arca Nandi dan Lingga. Yoni secara
umum dapat dideskripsikan melalui tiga bagian, yaitu badan, cerat dan dudukan
Lingga. Badan Yoni berbentuk persegi dengan hiasan berupa undak-undakan di
seluruh bagian tubuh, kendati dalam keadaan yang aus di beberapa bagian. Badan
Yoni dibuat meramping pada bagian tengah. Cerat Yoni secara umum berbentuk
segiempat, dengan sebuah saluran air yang mengalir dari tempat dudukan Lingga
ke arah ujung cerat. Cerat ini diposisikan di salah satu sisi badan Yoni. Cerat
Yoni dibentuk dengan tanpa ragam hias. Bagian dudukan Lingga berbentuk ceruk
berbentuk silinder dan teletak di bagian tengah tubuh Yoni.
Gambar 6, 7, dan 8. Yoni dari sudut atas, depan dan samping
(Sumber: Alnoza
2020)
Badan Yoni secara keseluruhan berukuran panjang 49.5
cm, lebar 49.5 cm dan tinggi 38 cm. Dudukan Lingga berukuran diameter 20 cm dan
tinggi 19 cm, Cerat Yoni berukuran panjang 29 cm, lebar 16.5 cm dan tebal 15
cm. Ukuran ini menjelaskan bahwa Lingga yang disandingkan dengan Yoni ini
bukanlah sepasang, mengingat dudukan Lingga dari Yoni ini terlalu kecil.
Gambaran Singkat Keraton
Kasepuhan Cirebon
Sejarah
berdirinya Keraton Kasepuhan Cirebon tidak dapat dilepaskan dari berdirinya
Kesultanan Cirebon pada abad ke-15. Kesultanan Cirebon didirikan oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati dapat dianggap sebagai
tokoh yang berusaha untuk memerdekakan Kadipaten Caruban Girang dari tangan
Sunda. Kerajaan ini menjadi institusi politik Islam pertama yang berdiri di
Jawa Barat dan dipimpin oleh seseorang yang secara genealogis masih cucu
kandung dari Raja Sri Baduga Maharaja (Raja Sunda masa itu). Sunan Gunung Jati
menjadikan kerajaannya menjadi pusat penyebaran Agama Islam di Jawa Barat, yang
dampaknya secara tidak langsung mengancam kedaulatan Kerajaan Sunda serta
budaya Hindu-Buddha di Tatar Sunda. Puncak dari konflik dari dua kerajaan yang
bersaudara tersebut terjadi ketika Sunan Gunung Jati memutuskan untuk membantu
Demak dalam menaklukan Sunda Kelapa (pelabuhan terakhir yang dimiliki Kerajaan
Sunda) yang saat itu diduduki Portugis (sekutu Kerajaan Sunda) (Tjandrasasmita
2009, 161-163; Poesponegoro & Notosusanto 2010b, 60).
Setelah
beberapa abad berdiri, Kesultanan Cirebon kemudian dipecah menjadi dua Keraton
pada tahun 1677 M, yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Keraton Kasepuhan Cirebon
didirikan oleh Pangeran Samsudin Martawijaya yang saat itu berselisih dengan
adiknya Pangeran Badrudin Kertawijaya, pasca konflik pemberontakkan Trunojoyo
di Mataram yang melibatkan ayah keduanya, yaitu Panembahan Girilaya,
(Tjandrasasmita 2009, 163).
Dinamika
sejarah politik yang melatarbelakangi berdirinya Keraton Kasepuhan merupakan
konsekuensi dari strategisnya wilayah Cirebon secara geografis. Cirebon pada
masa Keraton Kasepuhan merupakan kota pelabuhan pesisir utara Jawa yang ramai disinggahi para pedagang dari seluruh Asia dan Eropa.
Masyarakat di sana memanfaatkan bentang alam berupa sungai yang mengalir dari
Gunung Ciremai, untuk menjalankan
kegiatan perdagangan dari pedalaman ke arah Laut Jawa. Bangunan Keraton juga
dibentuk memanfaatkan bentang alam ini. Keraton dibangun di antara dua sungai,
yaitu Sungai Sipadu dan Sungai Kriyan. Sususan penataan ruang Keraton terdiri
dari tiga halaman utama dan empat pembagian inti. Bangunan pengisi Keraton
seperti pendopo srimanganti, siti inggil, prabayasa dan lain sebagainya merupakan yang paling awal dibuat di
Pulau Jawa pada masa Islam (Purnama 2015, 23-28). Pola penataan ruang tersebut
mengikuti konsep mikrokosmos masyarakat
Klasik, yaitu konsep triloka atau
pembagian tiga dunia secara horizontal (nista-madya-utama)
serta catur gatra tunggal (Rosmalia
2018, B079-B080).
Cirebon
secara kosmologis dalam hal ini dipandang nagari
gede (kadang disingkat grage).
Masyarakat kauman atau pengikut para wali sanga berpandangan bahwa kata Cirebon atau “Carbon” dapat diartikan
sebagai puser jagat atau pusat dunia.
Para raja di Cirebon dalam hal ini mendaku diri sebagai pandita ratu atau “raja ulama” yang bertakhta di atas singgasana.
Konsep ini dikaitkan dengan perpaduan konsep umara dan ulama dalam
ajaran Islam, sehingga menandakan kesempurnaan seorang raja sebagai seorang
penguasa sekaligus juga orang suci yang dekat dengan agama (Sucipto 2010, 478;
Tjandrasasmita 2009, 162)
Analisis
Semiotika pada Artefak Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon
Makna
Arca Nandi
Arca
Nandi yang disimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon dapat dimaknai melalui bagan
semiosis sebagai berikut (lihat gambar 9),
Gambar 9. Semiosis Makna Arca Nandi
(Sumber: Alnoza
2020)
Objek Arca Nandi (sign 1) yang disimpan di Keraton
Kasepuhan Cirebon berasosiasi secara formal (membentuk tanda ikon) dengan sosok
Nandi sebagai ikon dalam Agama Hindu (referent
1). Sosok Nandi dalam Agama Hindu digambarkan dalam bentuk sapi jantan.
Cerita mengenai Nandi dapat ditemukan pada Kitab Mahabharata, tepatnya ketika Bhisma menceritakan pada Yudhistira
mengenai asal usul Nandi. Nandi dalam mitologi ini disebutkan merupakan hadiah
Dewa Brahma kepada Dewa Siwa, sehingga Nandi di kemudian hari dijadikan wahana oleh Dewa Siwa (Interpretant 1/Sign 2) (Maulana 1997, 21). Nandi sebagai wahana Dewa Siwa memiliki asosiasi secara natural dengan (membentuk
tanda indeks) dengan Nandi sebagai wahana
dewa tertinggi dalam Agama Hindu (Referent
2), sebagaimana diketahui bahwa Dewa Siwa yang merupakan dewa penghancur
juga merupakan dewa tertinggi (Mahadeva)
dalam ajaran Hindu (Nicholson 2014, 9). Nandi sebagai wahana dari dewa tertinggi dapat ditafsirkan bahwa Nandi merupakan wahana kekuatan tertinggi di dunia (interpretant 2). Konsep Nandi sebagai wahana kekuatan tertinggi tidak memiliki
asosiasi dengan referent baru,
sehingga semiosis berhenti pada tataran kedua. Semiosis ini menunjukkan bahwa
Arca Nandi yang disimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon bermakna indeks dari wahana kekuatan tertinggi.
Makna Lingga
Lingga
yang disimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon dapat dimaknai melalui bagan
semiosis sebagai berikut (lihat gambar 10),
Gambar 10. Semiosis Makna Lingga
(Sumber: Alnoza 2020)
Objek
Lingga (sign 1) yang disimpan di Keraton
Kasepuhan Cirebon berasosiasi secara formal (membentuk tanda ikon) terhadap
Lingga sebagai ikon dalam Agama Hindu (referent
1). Lingga dalam Agama Hindu dapat diketahui asal usulnya melalui mitologi
yang berasal dari Liṅga Purana, Vayu
Purana, Brahmanda Purana, Kurma Purana, Siva Purana dan lain sebagainya.
Cerita mengenai Lingga ini disebut Linggobhava.
Lingga dikisahkan merupakan “api” dari Dewa Siwa yang dicari ujung dan
pangkalnya oleh Dewa Wisnu dan Brahma yang sedang mengadu kesaktian. Lingga
pada praktiknya kadang dianggap sebagai phallus
perwujudan Dewa Siwa yang dipuja oleh umat Saiva (Maulana 1997, 76-77; Doniger 2001, 486). Lingga dalam Agama
Hindu dengan demikian dapat dimaknai sebagai perwujudan Dewa Siwa sendiri (Interpretant 1/ Sign 2). Lingga sebagai
perwujudan Dewa Siwa berkaitan secara arbitrer (membentuk tanda simbol) dengan
Dewa Siwa sebagai Dewa Siwa sebagai dewa tertinggi dalam Agama Hindu Saiwa
(Nicholson 2014, 9). Dewa Siwa sebagai dewa tertinggi dalam Agama Hindu Saiwa
dapat diinterpretasikan sebagai representasi kekuatan tertinggi (Interpretant 2). Lingga yang disimpan di Keraton Kasepuhan
dengan demikian bermakna sebagai simbol kekuatan tertinggi.
Makna Yoni
Yoni
yang disimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon dapat dimaknai melalui bagan
semiosis sebagai berikut (lihat gambar 11),
Gambar 11. Semiosis Makna Yoni
(Sumber: Alnoza 2020)
Objek
Yoni (sign 1) yang disimpan di Keraton
Kasepuhan Cirebon berasosiasi secara formal (membentuk tanda ikon) dengan Yoni
sebagai ikon dalam Agama Hindu (referent 1).
Yoni dalam Agama Hindu digambarkan dalam bentuk yang mirip dengan lumpang padi.
Yoni secara harfiah dianggap sebagai rahim atau vagina dari perempuan, sehingga
biasanya Yoni dibuat untuk melengkapi Lingga yang kemudian dipuja bersamaan.
Keterkaitan antara keduanya, dapat dijelaskan dengan adanya kepercayaan
mengenai Yoni sebagai perwujudan Dewi Parvati (Interpretant 1/Sign 2)
(Kramrisch 1988, 243). Yoni sebagai perwujudan Dewi Parvati memiliki
asosiasi bersifat arbitrer (membentuk tanda simbol) dengan Dewi Parvati sebagai
sakti Dewa tertinggi dalam Agama
Hindu (referent 2). Dewi Parvati
sebagaimana dipercayai dalam Agama Hindu, merupakan sakti (pancaran kekuatan/istri) dari Dewa Siwa. Dewi Parvati dengan
demikian dapat diinterpretasikan sebagai wujud kekuataan tertinggi itu
sendiri (Maulana 1997, 29).
Diskusi
Hasil analisis semiotika pada
artefak masa Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon dapat disimpulkan makna
keseluruhannya melalui semiosis sebagai berikut,
Gambar 12. Semiosis Artefak Masa Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon
(Sumber: Alnoza
2020)
Artefak
masa Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon (Sign
1) memiliki asosiasi secara arbitrer dengan Keraton sebagai tempat
persemayaman kekuatan tertinggi (Referent
1). Artefak masa Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon pada dasarnya memiliki
makna yang erat kaitannya dengan kekuatan atau kekuasaan tertinggi, sebagaimana
yang telah disebutkan pada beberapa bagan semiosis sebelumnya. Keraton sebagai
persemayaman kekuatan tertinggi dapat diartikan bahwa tempat tinggal raja
merupakan tempat persemayaman kekuatan tertinggi (Interpretant 1/ Sign 2),
mengingat fungsi Keraton sebagai kediaman serta tempat raja memerintah
(Woodward 2017, 302). Tempat tinggal raja sebagai persemayaman kekuatan
tertinggi berkaitan secara natural dengan sifat raja sebagai dewaraja (Referent 2). Raja bagi masyarakat Jawa pada umumnya adalah seseorang yang mempunyai ciri kedewataan,
sehingga kehadirannya adalah kehadiran sang Dewa dalam wujud manusia (Mabbet
1969, 202-204). Konsep ini dapat diinterpretasikan sebagai
bentuk konsep raja sebagai wakil dewa yang memerintah di dunia, yang dalam hal ini kuasa
raja adalah kuasa sang dewa sendiri (Kulke 1978, 1-40). Raja sebagai Dewaraja dapat diinterpretasikan bahwa
raja merupakan sosok yang memiliki kekuatan atau kekuasaan tertinggi.
Pemaknaan
semiosis dua tataran sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan
bahwa artefak masa Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan simbol dari
raja sebagai pemegang kekuatan tertinggi kerajaan. Postulat ini lebih jauh lagi
telah memberikan informasi mendalam mengenai bagaimana raja di Cirebon telah
menggunakan artefak pada masa Klasik dalam memperkuat legitimasi serta
mengglorifikasi dirinya sendiri.
Argumen
tentang hal ini diperkuat melalui beberapa aspek. Aspek pertama adalah bahwa
pada dasarnya Konsep Dewaraja yang
berkembang pada Klasik memang dilanjutkan pada masa Islam di Nusantara. Konsep Dewaraja yang sebelumnya bernafaskan
Hindu kemudian disesuaikan dengan kepercayaan dalam Agama Islam bahwa raja atau
khalifah merupakan perwakilan Tuhan
di dunia (Khalifatullah fil Ardh).
Kepercayaan yang pertama kali berkembang di Persia ini mulanya berasal dari
pengetahuan Majusi Persia yang memandang “raja adalah bayangan Tuhan di Bumi”.
Rakyat kemudian perlahan-lahan diwajibkan untuk melakukan sembah sujud kepada
raja, di mana sebelumnya perilaku ini hanya diperbolehkan dilakukan pada Tuhan.
Konsep semacam ini dilengkapi lagi dengan adanya trend pemikiran “manusia sempurna” seperti Al-Ghazali dalam Nasihat
Al-Mulk, Al-Arabi dengan tulisannya yang berjudul Wahdat al-Wujud dan secara pamungkas oleh Al-Jili dalam Insan Kamil atau manusia sempurna. Kedua
konsep tersebut berelaborasi satu sama lain dan membentuk status baru bagi
raja-raja Muslim di dunia. Status ini memungkinkan raja untuk digambarkan
sebagai sosok yang sempurna secara lahir dan batin, dalam hal ini dalam bentuk
akhlak yang mulia serta kepiawaian mengurus tatanan suatu negara. Di dunia
Islam, raja-raja Islam umumnya menggunakan klaim semacam ini untuk berkuasa
lebih lama serta menginvasi wilayah-wilayah rantau kerajaannya. Contoh terbaik
dapat ditemukan pada Sultan Ottoman yang melegitimasi dirinya dengan gelar
“bayangan Tuhan di bumi” dalam melakukan invasi ke daerah-daerah di Eropa serta
Asia. Gelar ini pula yang nantinya meluluskan Sultan Selim I dalam mengangkat
diri menjadi “Khalifah” setelah menggeser Bani Abbasiyah yang berpusat di
Mamluk Mesir (Suwirta 2007, 76).
Penerapan
Konsep Dewaraja pada masa Klasik
melalui simbolitas-simbolitas pada benda-benda tertentu memang telah terjadi
beberapa kali. Sriwijaya merupakan salah satu entitas politik pertama yang
mewujudkan simbolitas Konsep Dewaraja yang
dianut dalam sistem politik mereka melalui perwujudan simbol pada prasasti
mereka, dalam hal ini figur ular pada Prasasti Telaga Batu (Alnoza 2020,
282-283). Simbolitas Dewaraja pada
benda-benda tertentu pada masa Klasik
mulai terlihat jelas pada abad ke-13 sampai dengan ke-14, utamanya pada masa
Singhasari dan Majapahit. Konsep Dewaraja
diwujudkan dalam bentuk pengarcaan raja-raja yang telah wafat sebagai dewa
yang mereka sembah selama hidup (Istadewata)
(Sedyawati et al. 2013, 362). Konsep Dewaraja
bagi masyarakat Sunda juga bukanlah hal yang asing, bahkan dapat dikatakan
bahwa konsep ini telah berkembang sejak lama. Contoh pendakuan diri sebagai Dewaraja paling awal dalam sejarah Sunda
dapat ditemui pada Raja Purnawarman yang berkuasa di Tarumanagara sekitar abad
ke-5 masehi. Purnawarman dalam Prasasti Kebon Kopi I digambarkan menunggangi
seekor gajah bernama Airawatha (gajah
tunggangan Dewa Indra), sedangkan dalam Prasasti Ciaruteun Purnawarman
digambarkan memiliki tiga langkah suci Dewa Wisnu (Trivikrama). Kedua aspek ini menunjukkan pendakuan diri Purnawarman
sebagai seorang penjelmaan Dewa Wisnu dan Indra (Santiko 2001, 431). Berlainan
dengan masa Klasik, penerapan konsep Dewaraja pada masa Islam secara umum,
lebih banyak terlihat melalui penamaan gelar-gelar raja-raja Islam di Nusantara
yang berunsur kedewataan atau kesempurnaannya sebagai manusia, misalnya
raja-raja Mataram (dilanjutkan Keraton Yogyakarta) yang menyandang gelar khalifahtullah ing Tanah Jawi (Wahid
2010, 78).
Penerapan
konsep “wakil tuhan” ini di Cirebon lebih mengarah pada benda-benda simbolis
yang menyiratkan makna yang serupa, dalam hal ini melalui simbol Arca Nandi,
Lingga dan Yoni. Fenomena yang terjadi di Cirebon ini dapat memberikan gambaran
mengenai besarnya pengaruh budaya Klasik di dalam persepsi masyarakat terhadap
raja serta cara-cara yang digunakan dalam menerapkan konsep Dewaraja itu sendiri. Keraton Kasepuhan
Cirebon seakan melanjutkan beberapa aspek yang dilakukan oleh masyarakat
Klasik, seperti halnya Raja Purnawarman dalam menghayati konsep Dewaraja. Konsep dewaraja di Keraton Kasepuhan bukan lagi berada di tataran yang ide
atau perilaku (sebagaimana dijumpai pada penggunaan gelar raja Keraton
Yogyakarta), melainkan sudah pada tataran perwujudan simbol yang bendawi
(artfeak).
Penerapan
konsep Dewaraja atau “wakil tuhan”
pada benda-benda yang telah disebutkan di atas juga tidak bisa dilepaskan dari
bagaimana Cirebon mengupayakan narasi pandita
ratu dan nagari gede. Sunan
Gunung Jati raja pertama di Cirebon tentu punya andil besar dalam menyuarakan
konsep tersebut. Sunan Gunung Jati sebagaimana diketahui merupakan raja yang
diangkat di Cirebon bukan karena meneruskan garis genealogis yang semestinya.
Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon setelah meneruskan takhta dari pamannya.
Adapun dalam mengklaim garis keturunan yang sah sebagai penguasa di Tatar
Pasundan, Sunan Gunung Jati mengandalkan garis keturunan ibunya (Nyai Rara
Santang) yang merupakan anak dari Sri Baduga Maharaja. Menurut B,J.O. Schrieke
(2016, 19), klaim genealogis Sunan Gunung Jati yang lemah ini mengakibatkan
dirinya perlu memperkuat trah kekuasaannya melalui pernikahan politis dengan
beberapa pihak, misalnya dengan putri Majapahit. Walaupun pernyataan Schriek belum bisa dibuktikan
melalui perbandingan sumber lain, temuan-temuan artefak masa klasik bisa jadi
penguat dari pendapat ini. Argumentasi yang muncul adalah artefak-artefak
tersebut digunakan sebagai pengisi celah-celah legitimasi kekuasaan dari Sunan
Gunung Jati. Bukti yang menguatkan akan hal ini dapat diketahui melalui
bagaimana Keraton menempatkan artefak-artefak tersebut di tempat raja tampil di
depan rakyat serta pejabat kerajaan (siti
inggil dan taman bunderan dewandaru).
Peletakkan
artefak-artefak tersebut di tempat ini turut pula memberikan informasi baru,
bahwa telah terjadi pergeseran makna pada artefak-artefak tersebut. Pergeseran
makna yang dimaksud adalah berubahnya makna artefak-artefak masa Klasik
tersebut dari yang tadinya bersifat sakral (menjadi objek penyembahan) menjadi
bersifat profan bahkan cenderung politis. Perubahan makna ini secara implisit
menunjukkan bahwa adanya perubahan kepercayaan pula di dalam kebudayaan
Cirebon, dalam hal ini dari Hindu ke Islam.
Aspek
lain yang memperkuat postulat di atas adalah kenyataan bahwa Cirebon pada masa
awal perkembangannya memang mengupayakan untuk menyaingi legitimasi Kerajaan
Sunda atas Tatar Pasundan. Artefak-artefak Klasik ini bisa diintepretasikan
sebagai contoh dari beberapa upaya yang dilakukan Cirebon dalam membentuk
identitasnya sebagai entitas politik yang tidak asing bagi masyarakat Sunda.
Pembentukan identitas baru wilayah
Pasundan sebagai wilayah peradaban Islam, dibutuhkan Cirebon untuk memperkuat legitimasinya pada
masa transisi kekuasaan pasca memerdekakan diri dari Kerajaan Sunda. Cirebon dalam
hal ini telah memindahkan pusat kekuasaan Tatar Sunda dari yang sebelumnya
berpusat di Pakwan Pajajaran ke Caruban Girang. Proses perpindahan kekuasan ini
menjadi vital dalam menggalang dukungan dari daerah-daerah bawahan Kerajaan
Sunda yang hendak bergabung dengan Cirebon. Daerah yang berhasil digalang oleh
Cirebon ini lah yang nantinya membantu Cirebon dalam menggempur kekuatan Sunda
di Sunda Kalapa pada tahun 1527. Uka Tjandrasasmita (2009, 164) bahkan
menyebutkan bahwa tergalangnya dukungan politis juga membantu penyebaran ajaran
Islam ke beberapa daerah Sunda seperti Babadan, Kuningan, Indramayu, Karawang
dan bahkan Banten Girang.
Aspek
yang tak kalah penting lagi adalah bahwa Keraton Kasepuhan Cirebon berusaha
untuk melakukan penyesesuaian atau beradaptasi dengan kebudayaan lama yang
dalam hal ini merupakan budaya Klasik. Proses adaptasi diperlukan agar Cirebon
dapat dengan mudah melakukan syiar ajaran Islam terhadap masa Hindu-Buddha yang
saat itu menetap di Tatar Pasundan. Penggunaan benda-benda budaya Klasik
dilakukan agar narasi-narasi yang hendak dimunculkan Keraton Kasepuhan Cirebon
pada masyarakat Klasik dapat lebih dipahami secara mendalam. Raja Cirebon turut
pula menunjukkan keabsahannya sebagai keturunan penguasa Klasik yang menjadi
pendahulunya, sehingga masyarakat masa itu tidak begitu asing ketika raja-raja
Cirebon muncul ke permukaan sebagai seorang penguasa. Melalui cara ini dapat
pula disampaikan Cirebon tetap memegang teguh peran kepercayaan Islam, kendati
menggunakan cara-cara politis yang bernafaskan Hindu-Buddha.
Apabila
diperbandingkan dengan beberapa tinjauan sebelumnya, kebaruan yang paling jelas
terlihat dari fenomena yang diangkat dalam tulisan ini adalah pewujudan konsep Dewaraja secara konkrit di Cirebon. Agus
Aris Munandar dan R.F. Nurlambang yang mengambil kasus contoh di Jawa secara
umum, menyebutkan bahwa trend yang
berkembang di Jawa adalah penghiasan bangunan-bangunan monumental seperti
masjid, Keraton dan makam dengan ragam hias yang digunakan pada candi-candi
masa Klasik.
Perlu
diingat bahwa penggunaan ragam hias semacam ini sifatnya tidak murni dari
kreatifitas dari sang seniman atau arsitek dari bangunan, melainkan mengikuti
tuntunan dari Kitab Manasara Silpasastra
(Iswahyudi 2009, 13). Penerapan kesenian berdasarkan referensi Manasara Silpasastra kendati demikian
tidak pernah terbukti terjadi pada masa Islam, sehingga bisa dikatakan ragam
hias Klasik yang berkembang pada masa Islam sifatnya hanya sekedar tradisi atau
kebiasaan yang dilanjutkan.
Artefak-artefak
masa Klasik yang berada di Cirebon dapat dianggap sebagai kasus yang berbeda.
Artefak-artefak ini agaknya bukan sekedar tradisi yang diturunkan pada masa
Islam. Bukti yang menguatkan premis ini adalah data sejarah yang disampaikan Uka
Tjandrasasmita (2009, 171). Tjandrasasmita
menyebutkan perihal eksistensi orang berkebudayaan Hindu-Buddha yang
membantu Cirebon dalam membentuk kerajaan ini pada masa awal. Orang yang
dimaksud adalah Raden Sepet, seorang berkebangsaan Majapahit yang membantu
membangun bangunan di Demak dan Cirebon. Keterangan ini pada dasarnya
memberikan gambaran bahwa ada kontribusi langsung masyarakat kebudayaan
Hindu-Buddha dalam membentuk Keraton Kasepuhan Cirebon. Raden Sepet mungkin
hanya salah satu dari banyak orang berkebudayaan Hindu-Buddha yang membantu
Cirebon dalam membangun Keraton. Menjadi tidak aneh apabila Lingga, Yoni dan
Arca Nandi ditempatkan di dalam Keraton, mengingat keberadaan orang-orang yang
memang “paham” konsep-konsep yang melatarbelakangi benda-benda tersebut.
KESIMPULAN
Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai
salah satu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa memberikan suatu gambaran
mengenai gejala kebudayaan yang
terjadi pada masa peralihan Hindu-Buddha
ke Islam. Gejala tersebut dalam hal ini adalah penyampaian pesan-pesan
kekuasaan bernafaskan Islam melalui simbol-simbol kepercayaan masyarakat
Klasik. Keraton ini secara tidak langsung memposisikan artefak-artefak masa
Klasik tersebut sebagai media proses pelanjutan konsep Dewaraja pada masa Islam. Keraton Kasepuhan Cirebon dengan demikian
menerapkan konsep Dewaraja secara
eksplisit dalam pemerintahannya, terutama melalui benda-benda tersebut.
Fenomena ini tentunya bukanlah hal yang dianggap aneh, mengingat islamisasi di
Cirebon memang amat dekat periodenya atau bahkan bersinggungan langsung masa
akhir budaya Klasik di Jawa Barat.
Artefak-artefak
Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon juga secara tidak langsung menjelaskan
perihal salah satu bentuk kelanjutan Dewaraja
pada masa Islam yang berbentuk konkrit di Nusantara. Konsep Dewaraja yang dulunya telah berkembang
sejak masa Klasik, dielaborasikan dengan konsep “Wakil Tuhan” yang berkembang
di dunia Islam. Kedudukan artefak-artefak ini menjadi vital dalam studi
kebudayaan Cirebon, khususnya dalam hal informasi mengenai kuatnya kesan
Cirebon sebagai salah satu tempat di Nusantara yang berhasil menggunakan narasi
masa Klasik dalam proses penyebaran ide politik masa Islam. Cara semacam ini
sampai sekarang belum dianggap sebagai cara yang lazim, karena biasanya
raja-raja dari kerajaan lain hanya menunjukkan sisi Dewaraja-nya melalui penyandangan gelar. Kasus semacam ini lebih
jauh lagi bisa disamakan dengan kasus Islamisasi yang dilakukan Sunan Kalijaga
(menyebarkan ajaran Islam melalui pendekatan kultural yang bernafaskan budaya
Hindu-Buddha). Artefak ini juga diharapkan memberi suatu pengetahuan baru bahwa
proses Islamisasi di Jawa bukan hanya sebatas proses penyebaran ajaran agama
serta penguatan keimanan semata, tetapi juga termasuk di dalamnya kepentingan
legitimasi.
Pergeseran
makna artefak-artefak masa Klasik di Keraton Kasepuhan Cirebon, dari yang
sebelumnya sakral menjadi profan, dapat dipandang sebagai wujud peneguhan
kepercayaan Islam Keraton Kasepuhan Cirebon. Raja-raja Cirebon seakan
menunjukkan ciri keislamannya dengan tidak mengambil makna sakral yang
terkandung pada objek-objek perwujudan Dewa Siwa yang ia simpan di Keraton,
melainkan tetap membatasi diri melalui pengambilan narasi kekuasaan dari makna
benda-benda tersebut.
Kedudukan
artefak-artefak masa Klasik di Keraton Kasepuhan juga penting sebagai batu
pijakan penelitian lanjutan. Adapun penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk
melacak bagaimana penerapan konsep Dewaraja
pada masa Islam melalui simbolisasi-simbolisasi tertentu di
kerajaan-kerajaan Islam lain di Nusantara. Penelitian ini baiknya dilakukan
pada kerajaan-kerajaan Islam lain yang waktu berdirinya tidak jauh dari masa
perkembangan kebudayaan Klasik. Aspek lain yang tentu perlu diperhatikan adalah
ketersediaan data berupa artefak masa Klasik yang masih disimpan oleh
kerajaan-kerajaan Islam masa awal tersebut.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih penulis ucapkan kepada pihak Keraton Kasepuhan Cirebon yang
telah memberikan izin untuk melakukan perekaman data artefak masa Klasik di Keraton
Kasepuhan Cirebon.
DAFTAR PUSTAKA
Alnoza, Muhamad.
2020. “Serpent Sculpture on Telaga Batu Inscription: an Interpretation Based on
Peirce’s Semiotic Approach”, Berkala
Arkeologi Vol.40 (2): 267-286
Danasasmita, Saleh.
2015. Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran
dan Prabu Siliwangi. Bandung: Penerbit Kiblat Utama
Doniger, Wendy.
2001. On Hinduism. London: Oxford
University Press
Gibbon, Guy. 2013. Critically Reading the Theory and Methods of
Arcahaeology: An Introductory Guide. Maryland: Rowman & Littlefield
Publishers.
Hoed, Benny. 2003.
Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Laporan
Penelitian. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Iswahyudi. 2009. “Perkembangan
Makna Simbolik Motif Hias Medalion pada Bangunan-Bangunan Sakral di Jawa Pada
Abad IX – XVI”, Jurnal Imaji Vol. 7
(1): 1-28.
Kramrisch, Stella.
1998. The Presence of Siva. New
Delhi: Motilal Banarsidass Ltd.
Kulke, Hermann.
1978. Devaraja Cult. New York:
Department of Asian Studies Cornell University.
Lantowa, J., et al.
2017. Semiotika: Teori, Metode dan
Penerapannya dalam Penelitian Sastra. Jakarta: Deepublish.
Mabbett, I. W.
1969. “Devarāja”. Journal of Southeast
Asian History, Vol. 10, No. 2 (Sep., 1969):
202-223.
Maulana, Ratnaesih.
1997. Ikonografi Hindu. Depok:
Universitas Indonesia
Munandar, A.A.
(2019). Kalpalata: Data dan Interpretasi
Arkeologi. Jakarta: Wedatama Widyasastra
_____________.
(2014). Mitra Satata: Kajian Asia
Tenggara Kuna. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Munandar, A, A. dan
R. F. Nurlambang. 1995. Ragam Hias Praislam pada Bangunan Islam di Jawa. Laporan Penelitian. Depok: Universitas
Indonesia
Nicholson, A. J.
2014. Lord Siva Songs: The Isvara Gita.
New York: State University of New York Press
Poesponegoro, Marwati
Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2010a. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna.
Jakarta: Balai Pustaka.
_________________________________.
2010b. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Purnama, Iwan. 2015.
“Konsep Tata Ruang dan Bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon”, Seminar Nasional “Finding The Fifth Elemen
After Water, Earth, Wind, and Fire” Local Wisdom and Cultural Sustainability:
22-29.
Rosmalia, Dini.
2018. “Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon”, Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 2:
B074-082.
Santiko, Hariani.
2001. “The Religion of King Purnawarman of Tarumanagara”. Dalam Klokke, M. J.
et al. Fruit of Inspiration: Studies in
Honour of Prof. J.G. de Casparis. Groningen: Egbert Forsten
Schrieke, B.J.O.
2016. Kajian Historis Sosiologis
Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sedyawati, E., et al. 2013. Candi Indonesia: Seri Jawa. Jakarta: Direktorat PCBM.
Sucipto, Toto. 2010.
Eksistensi Keraton di Cirebon: Kajian Persepsi Masyarakat terhadap
Keraton-keraton di Cirebon, Patanjala
Vol.2 (3), 472-489.
Suwirta, Andi. 2007.
“Raja, Wakil Allah, dan Manusia Sempurna: Wacana Pemikiran Politik Islam di
Indonesia”. Dalam Suwirta, A. Sejarah dan
Pendidikan Sejarah: Perspektif Malaysia dan Indonesia. Kuala Lumpur:
Historia Utama Press.
Tjandrasasmita, Uka.
2009. “Kesultanan Cirebon: Tinjauan Historis dan Kultural”. Dalam Uka Tjandrasasmita.
Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Wahid, Abdurrahman.
2010. Membaca Sejarah Nusantara: 25
Koloni Sejarah Gusdur. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara
Woodward, Mark R.
2017. Islam Jawa: Kesalehan Normatif
versus Kebatinan. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.