Togel Online Terlengkap dan Terpercaya 2022 online togel terlengkap kami menyediakan permainan online togel terbaik dan terpercaya di Indonesia.

Rekomendasi memilih situs online togel tebaik tahun 2021, menerima deposit menggunakan pulsa

AKULTURASI BUDAYA:

Studi Kasus Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah

 

CULTURE ACULTURATION:

Case Study Samin Community In Kudus Central Java

 

Moh Rosyid

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus

Jl Conge Ngembalrejo No.51 Kudus Jawa Tengah

mrosyid72@yahoo.co.id

 

Reception date : 08/04/2020

Last Revision: 07/11/2020

Acceptation date: 09/11/2020

Published: 26/11/2020

To Cite this article : Rosyid, Moh. 2020. “AKULTURASI BUDAYA: Studi Kasus Komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 23(2). Medan, Indonesia, 93-106. https://doi.org/10.24832/bas.v23i1.428.

©2020 Berkala Arkeologi Sangkhakala –This is an open access article under the CC BY-NC-SA license

 

Abstracts

The purpose of writing this article is to describe the form of cultural acculturation carried out by the Samin community in Kudus, Central Java against the Muslim tradition of Nahdliyin is traditions to response local wisdom and don’t contradicting by syariah.Data obtained by interview, literature review, and observation. Data collection was analyzed using a qualitative descriptive approach. The culture that Samin responded to took the form of a life cycle slogan and circumcision of a boy. Acculturation creates a symbiotic mutualism because people Nahdlatul Ulama is also responsive to local Javanese traditions. The specificity that is still maintained by the Samin community is wearing tokong pants, headbands, all in black for men, and for women wearing a jarit. When attending a marriage and dying. When at home or in the fields, wear other people's usual clothes. There is also a nahdliyin culture that Samin does not respond to because it avoids the similarity of tradition, such as a cap. As for sarong, it is a Samin tradition that is only used when a man marries. The basic principles of nahdliyin in tradition are tawasuth (moderate), tawazun (balance between faith and reality), al i’tidal (upright, not easily provoked), at tasamuh (tolerant). It's just that, the impact of urbanization Samin residents, the culture of the city is also a tradition like polished hair. Senior Samin was powerless to deal with it. If this is not controlled, the culture of the city changes the uniqueness of Samin.

 

Keywords: acculturation; responses; tradition

 

Abstrak

Tujuan penulisan artikel ini untuk mendeskripsikan bentuk akulturasi budaya yang dilakukan komunitas Samin di Kudus, Jawa Tengah terhadap tradisi muslim Nahdliyinyakni tradisi yang merespon kearifan lokal dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.Data diperoleh dengan wawancara, kajian literatur, dan observasi. Terkumpulnya data dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Budaya yang direspon Samin berupa slametan daur kehidupan dan khitan anak lelaki. Akulturasi tercipta simbiosis mutualisme karena Nahdliyin juga responsif terhadap tradisi lokal Jawa. Kekhasan yang masih dipertahankan komunitas Samin adalah memakai celana tokong, ikat kepala, berwarna serba hitam bagi lelaki, dan bagi perempuan memakai jarit. Bila menghadiri perkawinan dan melayat kematian. Bila di rumah atau di sawah memakai pakaian lazimnya warga lain. Ada pula budaya nahdliyin yang tidak direspon Samin karena menghindari keserupaan tradisi, seperti berpeci. Adapun bersarung menjadi tradisi Samin yang hanya digunakan ketika lelaki menikah. Prinsip dasar nahdliyin dalam tradisi adalah tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan antara akidah dengan realita), al I’tidal (tegak lurus, tak mudah terprovokasi), at tasamuh (toleran). Hanya saja, imbas urbanisasi warga Samin, budaya kota menjadi tradisinya pula seperti rambut disemir. Senior Samin pun tidak berdaya menghadapinya. Bila hal ini tidak dikendalikan maka budaya kota mengubah kekhasan Samin.

 

Kata kunci: akulturasi; tradisi; responsif

 

PENDAHULUAN

Manusia dalam hidup memerlukan kebutuhan bersifat dlohir dan batin. Kebutuhan dlohir identik dengan ragam konsumsi untuk tubuhnya, sedangkan kebutuhan batin adalah konsumsi yang dibutuhkan oleh batin, tidak (selalu) kasat mata, tetapi bagian dari penggerak roda jiwa. Contoh konkrit kebutuhan batin di antaranya beragama dan berbudaya. Hal ini dipahami dalam bentuk perilaku pemeluk agama atau pelaku budaya. Perilaku orang yang berbudaya akan diterima lingkungan budaya meskipun memiliki perbedaan agama dan budaya bila saling menguntungkan. Dengan demikian, kebudayaan sebagai katup pengaman sosial meskipun antarwarga memiliki perbedaan bidang sosial, agama, dan lainnya.

Esensi berbudaya adalah ketenteraman jiwa yang berimbas kenyamanan bermasyarakat bagi diri dan lingkungan pemilik budaya. Budaya merupakan potensi manusia sepanjang kehidupan, dengan berbudaya diharapkan tercipta interaksi yang interaktif antarpemilik/ pelaku budaya. Untuk mewujudkannya, konsep yang diusung oleh pemilik budaya, budayawan, dan ilmuwan adalah mewujudkan konsistensi berbudaya dengan dinamikanya. Dasar terciptanya eksistensi budaya jika antarpemilik budaya menyadari dan mendasari diri bahwa kebudayaan bagi individu dan komunitas pemilik budaya merupakan kebutuhan asasi. Hal tersebut terwujud bila diperkuat dengan akulturasi budaya oleh minoritas pada mayoritas. Sebaliknya, pihak mayoritas menerima akulturasi yang dilakukan minoritas. Proses akulturasi sesuai dengan kondisi kebutuhan pelaku budaya, sebagaimana dilakukan komunitas Samin dengan cara memanfaatkan budaya dominan yang dilaksanakan oleh muslim nahdliyin (Nahdlatul Ulama/NU) menjadi bagian dari budayanya. Contoh budaya warga NU adalah slametan daur kehidupan dan khitan anak lelaki Muslim nahdliyin merupakan komunitas Islam Nusantara yang akomodatif terhadap budaya lokal, pijakan hukumnya bersumber tidak hanya al-Quran dan hadis, juga ijmakyakni kesepakatan ulama memahami ajaran Islam yang tidak dijelaskan dalam al-Quran dan hadis, misal hukum mengonsumsi narkoba adalah haram meskipun narkoba belum ada pada masa Nabi SAW, qiyasyakni pendapat ulama atas hukum Islam yang tidak dilakukan Nabi SAW, misalnya hukum menzakati kepemilikan 40 kerbau, diqiyaskan/disamakan dengan zakat 40 sapi karena masa Nabi tidak ada kerbau), dan istihsan yakni metode memutuskan hukum dalam Islam berdasarkan kemaslahatan, misalnya pekerja memproduksi barang, tetapi dalam proses produksi mengalami gagal produksi/rusak maka buruh tidak memberi ganti rugi pada majikan. (Auda 2015, 124).

Gerakan Samin dimotori Ki Samin Surosentiko. Awalnya gerakannya melawan pada kolonial Belanda di Kampung Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora Jawa Tengah (Rosyid 2008, 19). Ajarannya berkembang hingga di wilayah Kabupaten Pati dan Kudus Jawa Tengah hingga kini. Warga Samin, etnis Jawa, selain mengikuti alur gerakan Ki Samin, tradisinya ada yang serupa dengan muslim tradisional (muslim Nahdliyin. Hanya saja, dari segi tataperibadatan, keduanya berbeda. Aspek penerimaan lingkungan sosial dapat terwujud di antaranya dengan pendekatan budaya. Hal ini disadari oleh warga Samin yang memiliki perbedaan dengan muslim setempat. Sikap warga Samin memahami perbedaan budaya dengan warga NU di lingkungannya maka warga Samin melakukan upaya akulturasi budaya terhadap budaya muslim bercorak Nahdlatul Ulama (NU). 

Ajaran Samin terwariskan secara tutur (tuturan lisan, tak tertulis) antargenerasi. Hal ini awalnya disebabkan leluhur Samin tidak mengenal baca tulis, sebagaimana warga non-Samin masa kolonial yang tidak tersentuh oleh program pendidikan formal. Akan tetapi, warga Samin ada yang menyadari bahwa dengan mengandalkan tradisi lisan, ajaran yang terwariskan berpeluang disalahpahami oleh warga Samin sendiri karena perbedaan kurun waktu dan penafsiran penerus ajaran. Imbas berikutnya, para peneliti yang mempublikasikan ajaran Samin terimbas salah memahami ajaran Samin. Hal tersebut disikapi warga Samin yang melek huruf dan mampu membukukan sejak Orde Baru membuat ‘karya’ stensilan agar dapat dijadikan standar pemahaman terhadap ajaran Samin oleh warga Samin dan non-Samin,sebagaimana pembuatan buku stensilan dilakukan Kardi (1996, 7). Kehidupan sehari-harinya warga Samin di Kudus berinteraksi positif dengan warga non-Samin dibuktikan membaur, bekerja sama, dan tidak terjadinya konflik. Warga Samin mengakulturasi budaya muslim Nahdliyin setempat. Hal ini perlu didalami setelah penulis mengkaji Samin Kudus sejak tahun 2004 hingga kini menekankan aspek geneologi, kiprah perempuannya, pendidikan formalnya, perkawinannya, kodifikasi ajarannya, perlawanannya sebagai petani, dan konversi agamanya. Penelitian diharapkan mudah mendapat data yang dikaji dalam hal akulturasi budaya. Pentingnya kajian akulturasi budaya nahdliyin oleh warga Samin di Kudus diharapkan mengilhami komunitas lain bahwa akulturasi dapat memberi manfaat positif dalam kelangsungan kehidupan minoritas yang memiliki konsekuensi berupa menyatukan diri dalam tradisi tertentu yang tidak bertentangan dengan ajaran Samin. Permasalahan dalam naskah ini meliputi (1) seperti apa bentuk budaya warga Nahdliyin yang diakulturasi Komunitas Samin di Kudus? dan (2)Apa makna di balik akulturasi budaya Nahdliyin bagi Komunitas Samin?. Tujuan ditulisnya naskah ini untuk mengetahui jatidiri komunitas Samin, memahami bentuk budaya NU yang diakulturasi komunitas Samin di Kudus dan mendalami makna di balik akulturasi.

 

METODE

            Riset ini data didapatkan penulis dengan wawancara, observasi, kajian literatur. Wawancara dilakukan dengan sesepuh dan warga Samin di Kudus tahun 2019. Adapun observasi dilakukan di lokasi di mana warga Samin bermukim di Kudus. Data dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Riset ini menggunakan tahapan (1) studi pendahuluan yakni kajian literatur agar mendapat fakta tentang budaya nahdliyin (Islam tradisional), (2) survei pendahuluan mengetahui kondisi umum warga Samin di Kudus, (3) survei lapangan dan pengumpulan data dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi, (4) menyusun sistematika penulisan dengan menentukan aspek bahasan obyek studi yang diuraikan dalam bab pembahasan, dan (5) menarik kesimpulan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep Budaya

Sejumlah ilmuwan asing meyakini Indonesia sebagai awal peradaban dunia yang dimulai dari paparan Sunda dalam buku Eden in The East (Surga di Timur, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara) karya Prof. Stephen Oppenheimer, dokter ahli genetik dari Universitas Oxford Inggris. Menurut Stephen, nenek moyang embrio peradaban manusia modern (Mesir, Mediterania, dan Mesopotamia) dari  Melayu (Sunda Land). Hasil risetnya selama sepuluh tahun dengan pendekatan dasar multidisiplin keilmuan yakni kedokteran, geologi, linguistik, antropologi, arkeologi, dan folklor. Begitu pula buku Atlantis, The Lost Found Continent Finally Found (Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia) karya Prof. Arysio Santos. Hal ini berdasarkan hasil diskusi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta 28 Oktober 2010. Bila hal itu valid, dapat diberi makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia kaya dengan karya budaya.

Budayawan menafsirkan bahwa adat mencakup pranata yang mengatur tingkah laku manusia hubungannya dengan sesama. Pranata dapat membentuk kelaziman, kebiasaan atau kesusilaan yang benar-benar hidup di tengah masyarakat atau pranata lain yang diturunkan pemuka adat atau penegak hukum. Adat adalah sifat patuh hubungannya dengan perilaku atau segala aturan dan hukum yang tidak tertulis, tak dibukukan, yang mencakup segala aspek kehidupan yang memuat larangan dan perintah yang tak boleh dilanggar. Jika terjadi pelanggaran diberi sanksi celaan atau dikucilkan dari tata cara adat masyarakatnya. Tradisi diterjemahkan pewarisan atau penerusan unsur-unsur, adat-istiadat, kaidah-kaidah, dan pewarisan harta kekayaan. Pada prinsipnya adat dan tradisi merupakan kesadaran kolektif masyarakat sifatnya luas meliputi kehidupan yang kompleks sehingga keduanya sulit dipilah (Bastomi 1995, 10).

Aspek formal kebudayaan terletak dalam karya manusia ditransformasikan berupa fakta, data, kondisi, dan peristiwa alam yang dihadapi menjadi nilai  tersembunyi dalam keyakinan dan pengetahuan. Martabat kebudayaan ditentukan oleh nilainya, karena tanpa nilai dimungkinkan terjadi penyelewengan dalam kebudayaan (Bakker 1984, 18). Nilai yang lahir dari kebudayaan menurut Sutan Takdir Alisyahbana (1966) terdapat enam hal (1) konsep/teori/ilmu yang terumus dalam identitas tiap benda atau kejadian dalam kehidupan, (2) nilai ekonomi; kegunaan dari sesuatu, (3) nilai agama; dijelmakan dalam kehidupan suci, (4) nilai seni; ekspresi indah pada produk budaya, (5) nilai kekuasaan; organisasi sosial berhubungan dengan politik, dan (6) nilai solidaritas; poros horisontal lembaga sosial dan berbentuk cinta, kasih sayang, pertemanan, kegotongroyongan. Struktur kebudayaan meliputi (a) kesatuan kebudayaan bahwa subjek kebudayaan adalah kelompok, golongan, masyarakat, dan bangsa, sedangkan objek kebudayaan adalah lingkungan alam dan sosial yang menyatu dan menciptakan struktur kebudayaan, (b) kesatuan struktur yang bercorak dinamis, (c) harmoni dan integrasi kebudayaan, (d) integrasi struktural teoretis, (e) rekonstruksi struktur kebudayaan asli Indonesia, (f) peningkatan struktur asli oleh spesifikasi, (g) peningkatan struktur asli oleh diferensiasi, (h) sintesis struktural horisontal, dan (i) integrasi struktural vertikal.

Menurut Koentjaraningrat, penahapan budaya meliputi (a) internalisasi; penghayatan pribadi, perasaan, keinginan, nafsu, emosi, (b) sosialisasi; hubungan budaya dengan sistem sosial, (c) enkulturasi; penyesuaian, (d) kultur evolusi; perkembangan budaya dari sederhana ke kompleks, (e) difusi; sebaran budaya. Difusi berwujud simbolik yakni pertemuan budaya yang tidak saling mengubah antar-budaya, (f) akulturasi; kombinasi budaya. Akulturasi budaya ada lima kelompok yakni metode untuk observasi, mencatat, dan menggambarkan proses akulturasi, unsur budaya yang mudah atau sulit diterima/diubah, unsur individu yang cepat/lamban menerima, ketegangan dan krisis sosial akibat akulturasi, (g) inovasi; pembaruan budaya dengan penemuan baru (discovery) dan penemuan yang diakui publik (invention), dan (h) asimilasi (Koentjaraningrat 1990, 227).

Kebudayaan berkembang akibat  tiga asumsi, (1) bersifat superorganik, yakni mengandung ragam fakta sosial dan gambaran umum mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang, (2) sebagai konstruksi, penjelas perilaku, (3) bersifat abstrak, konstruk bukan entitas yang dapat diperhatikan secara menyeluruh (Poerwanto 2000, 46). Unsur kebudayaan terdiri tujuh hal bahasa dan sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, religi, dan kesenian (Koentjaraningrat 1990, 203).

 

Pewarisan Kebudayaan

Manusia dan kebudayaan sebagai satu kesatuan yang tak terpisah. Manusia sebagai pendukung kebudayaan, meskipun manusia mati, kebudayaan diwariskan (Culture of Inherit) pada keturunannya secara vertikal dan horizontal pada generasi di luar kerabat. Mewariskan budaya dengan tiga tahap (1) internalisasi, proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak proses kelahiran hingga kematian berupa pengembangan perasaan, hasrat, emosi, dan pembentukan kepribadian, (2) sosialisasi, pengembangan hubungan individu di lingkungannya, (3) pembudayaan (enculturation), mengkaji dengan penyesuaian sikap dan pemikiran dengan norma hidup budaya (Poerwanto 2000, 88).

Faktor terjadinya perubahan kebudayaan (a) penemuan baru (invention), biasanya berupa faktor teknologi-industri, misalnya penemuan alat pembajak lahan pertanian dengan mesin. Penemuan merupakan proses sosial dengan dua tahapan, discovery dan invention. Penemuan unsur budaya baru berupa alat dan ide oleh individu atau kelompok) discovery menjadi invention bila masyarakat mengakui, menerima, dan menerapkannya. Faktor pendorong penemuan baru berupa kesadaran kurangnya kebudayaan, meningkatkan mutu dan keahlian kebudayaan, dan daya rangsang masyarakat untuk maju (Koentjaraningrat 1990, 257) (b) difusi (proses penyebaran manusia berupa migrasi dan sebagainya.), (c) memadukan dua budaya (culture borrowing, culture contact) atau akulturasi, dalam pelaksanaannya memerlukan syarat antara lain adanya proses persenyawaan (affinity) yakni penemuan baru diterima tanpa terkejut (shock); adanya keseragaman (uniformitas, homogenitas) yakni nilai baru diolah dan dicerna; adanya fungsi (function) danseleksi (selection) sesuai kebutuhan jasmani dan rohani (Bakker 1984, 116). Hal yang perlu dicatat dalam proses akulturasi adalah kondisi budaya lama setelah menerima budaya baru, kondisi budaya baru yang bergabung dengan budaya lama, saluran/media yang dilalui oleh budaya lama ketika bergabung dengan budaya baru, reaksi masyarakat setelah menerima budaya baru, dan (d) asimilasi (pembauran) karena kebudayaan mengalami pergerakan hingga menemukan sosok baru. Perubahan kebudayaan dimungkinkan dari dalam dan luar lingkungan budaya (Poerwanto 2000, 46).

 

Pembawa Ajaran Samin

Awal gerakan Samin muncul karena perjuangan Ki Samin Surosentiko yang ‘turba’ karena perilaku kolonial pada warga yang merampas tanah dan hasil bumi. Awal kiprahnya di Desa Plosokediren, Blora meluas ke sebagian daerah di Blora, Pati, Purwodadi, dan Kudus, Jawa Tengah (Keempat bertetangga). Di Blora ada di Dukuh Klopoduwur Desa Banjarejo, Dukuh Sumber Desa Kradenan, Dukuh Tanduran Desa Kemantren, Dukuh Kedungtuban Desa Klaten, Dukuh Blimbingsawur Desa Sambong, Dukuh Jurangrejo Desa Bogorejo, dan Dukuh Randublatung Desa Plosokediren, di Pati di beberapa di desa di Kecamatan Sukolilo, di Purwodadi di Dukuh Karangdosari, Desa Dumpil Krajan, Kecamatan Ngaringan.

Sejarah munculnya embrio komunitas Samin diawali pada masa pendudukan Belanda di Jawa, seorang anak Bupati Tulungagung Jawa Timur (Raden Mas Suryo Brotodiningrat Kusumaningrum) yakni Raden Surowijoyo, ingin bergabung dengan masyarakat, meninggalkan kadipaten (lelono/ayam alas) ke Desa Klopoduwur, Blora, untuk melawan Belanda karena kedzalimannya terhadap bangsa Indonesia. Gerakan yang dilakukan antara lain merampok warga Indonesia yang kaya dan mengikuti Belanda untuk dibagikan pada masyarakat miskin. Perjuangannya diteruskan oleh putranya, R.Kohar atau Samin Anom atau Ki Surosentiko. Perjuangan Ki Surosentiko agar tidak terdeteksi oleh masyarakat bahwa dirinya adalah trah ningrat, Ki Surosentiko menamakan dirinya ’Samin’ yang bermakna sami-sami tiyange (sesama manusia) atau jika sesama manusia berarti bersaudara dan akhirnya dijuluki Ki Samin yang membuka desa baru di Desa Plosodiren, Kecamatan Randublatung, Blora awalnya di tengah hutan.

Akibat perlawanannya, ia disiksa Belanda dengan cara ditumbuk (dideplok) di lesung, tetapi khalayak melihat dalam waktu yang sama bahwa Ki Samin berada di rumahnya, maknanya masih hidup karena keampuhannya. Ada juga yang berkeyakinan bahwa Ki Samin dapat berjalan di atas air, sehingga ketika dimasukkan dalam drum dan dibuang ke laut pun masih hidup. Pada suatu ketika, pesan Ki Samin pada familinya, Yongnyah, ia akan menerima perlakuan kejam. Dugaan terwujud, ia diasingkan Belanda di Digul, Irian Barat kemudian di Sawahlunto, Padang, Sumatra Barat dan wafat pada 1602 Saka/1676 M/1599 Jawa.

Dibuangnya Samin beserta kerabat dan pengikutnya yakni Karjani, Singotirto, Brawok, dan Engkrek.Tetapi semua kembali ke Jawa (Blora) kecuali Ki Samin Surosentiko yang berpesan kepada Engkrek dan Brawok agar mempertahankan agama Adam yang diyakininya, sekaligus (akan) pulang, maksudnya pulang tidak secara fisik (raga), tapi secara nonfisik, untuk menjumpai Ki Surokidin (menantu Ki Samin Surosentiko) di Desa Tanduran, Blora. Ki Samin pun berwasiat, meskipun tertinggal di pengasingan, dirinya pun akan pulang  ke Jawa dengan sesorah sesok aja samar, keno pangkling rupaku, aja pangling suaraku (masa mendatang  jangan lupa aku, meski lupa wajah, tidak lupa suara).

Belanda berusaha membuat pertambangan batubara yang  peralatan dan pekerjanya dari penjara Batavia, Makassar, Bali, Madura, yag sebagiannya dari Jawa (tatkala Jawa berupa hutan). Masa ini pada tahun 1892-1938 M memanfaatkan angkutan kapal penumpang Belanda dan Eropa. Perjalanannya tiga sampai lima hari. Tawanan, kaki dan tangannya terantai besi (orang rantai). Penumpang menempati dek yang pengap pada lambung kapal, berdesakan. Rutenya ke pelabuhan Kecil Teluk Bayur di Padang. Tawanan yang melawan dicambuk atau dilempar ke laut. Setibanya tawanan, dipekerjakan membuat pelabuhan besar bernama Emma Haven, pekerjaannya membuat jalur rel kereta api dari Teluk Bayur ke Sawahlunto, menambang batubara di Ombilin, Sawahlunto dalam posisi dirantai besi tangan dan kaki. Belanda beranggapan, tawanan ada yang sakti. Rantai dilepas bila di terowongan tambang. Pekerja lainnya dikirim ke Sumatera untuk bekerja di kapal perang Belanda untuk melawan Aceh. Generasi orang rantai, kini ada di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang dan di Air Dingin (Indriasari 2013, 28). Cerita tutur ini adakah berhubungan dengan Ki Samin? Memerlukan pengkajian.

Ajaran Samin

Warga Samin adalah komunitas etnis Jawa memiliki karakter khas dan berbeda dengan warga non-Samin di lingkungan Samin. Kekhasan orang Samin (1) beragama Adam, negara mengategorikan penghayat kepercayaan, (2) sebagian masih mempertahankan perlawanan Ki Samin era kolonial (a) tidak sekolah formal (sekolah sebagai aktivitas penjajah Belanda), (b) perkawinan tidak dicatatkan pada petugas di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dampaknya, tidak memiliki akta kawin, (3) mempertahankan prinsip hidup dengan ‘bahasa’ Samin, (a) etika hidup, berpantang drengki (memfitnah), srei (serakah), panasten (mudah tersinggung atau membenci sesama), dahwen (mendakwa tanpa bukti), kemeren/iri hati, ingin memiliki barang orang lain), nyiya Marang Sepada (menista alam).

Selain itu, dalam ajaran Samin, warga Samin harus meninggalkan lima pamali dalam berinteraksi berupa bedok; menuduh, colong; mencuri, pethil; mengambil barang (yang  menyatu dengan alam, misalnya sayur-mayur di ladang, jumput; mengambil barang di pasar, dan nemu Wae Ora Kena; pantangan menemukan barang, (b) ajaran dasarnya dengan karakter:Kudu Weruh te-e dewe; harus memahami barang miliknya, tak memanfaatkan hak orang lain, Lugu; bila berjanji, transaksi, atau kesediaan dengan pihak lain bila sanggup mengatakan ya, bila tidak sanggup/ragu menyatakan tidak. Bila ragu menjawab ya atau tidak, dengan ujaran: cubimangkeh kinten-kinten pripun, kulo dereng saget janji kecuali saat menepati janji menghadiri tapi menghadapi kendala tak terduga, seperti sakit, Mligi; taat aturan Samin, dipegang erat sebagai bukti ketaatan memegang ajaran. Hal yang dilarang berupa judi, pemicu menurunnya semangat kerja dan hubungan seks bebas karena bukan haknya, Rukun dengan istri, anak, orang tua, tetangga, dan siapa saja. Mewujudkannya dilarang poligami (Rosyid 2008, 117).

Hanya saja, warga Samin lazimnya manusia, menaati atau melanggar prinsip Samin ditentukan kualitas dan kesadaran dirinya. Faktanya, warga Samin ada yang menaati prinsip ada yang melanggar prinsip dalam ajaran Samin.

 

Asal-Usul Kata Samin

Untuk mengetahui asal-usul Samin perlu memahami istilah kata Samin.Istilah Samin muncul,  pertama, simplifikasi kata kebersamaan melawan Belanda, makna lainnya sami-sami amin maksudnya bila setuju dianggap sah, bentuk dukungan warga (Kardi 1996, 2). Kedua, diilhami nama Samin Surosentiko (Raden Surowidjojo, nama ketika tua), Raden Surontiko atau Raden Suratmoko (nama kecil), putra Bupati Tulungagung. Ketiga, bermakna Sesami wong (sesama manusia) bahwa persaudaraan atas dasar  bersesama. Keempat, Suku di Jawa Tengah yakni Jawa, Karimun, Kangean, dan Samin (Sigar 1998, 1). Kelima, anggapan orang Jawa bagian pesisir yang kehidupannya di wilayah pinggir (Endraswara 2003, 17) Keenam, dalam cerita rakyat, Samin merupakan kata yang ada pra Ki Samin Surontiko hidup, ketika orang di Lembah Bengawan Solo dari Suku Kalang (eks Brahmana, pendeta, dan sarjana Majapahit) masa Brawijaya V mengasingkan (Sastroatmodjo 2003, 78). Keenam, pernyataan lain, eksistensi Samin ada di Bengawan Solo merupakan upaya R. Surowidjojo meluaskan daerah  pergerakan pada Belanda pada 1840 M (Winarno 2003, 56).

Kata Samin dipolitisasi publik menjadi nyamen identik menyalahi adat. Hal ini diubah warga Samin karena bertendensi negatif dengan istilah sedulur Sikep.Pertimbangannya, Pertama, mendapat tekanan Belanda, dipimpin seorang petani, Ki Samin Surosentiko pujangga Pesisir Jawa setelah era Ronggowarsito membaur dengan petani membuat kekuatan melakukan perlawanan pada kolonial. Setelah jumlah pengikutnya banyak, tahun 1890 ajaran Samin dikembangkan di Klopoduwur Blora. Tahun 1907 Ki Samin bersama delapan pengikutnya diasingkan di Rembang lalu diasingkan di Sawahlunto, Padang, Sumbar dan menimggalkan dalam tawanan tahun 1914 M (Dhewanty 2004, 124). Pengasingannya karena Samin dikelompokkan kaum pembangkang, anggapan meluas pada masyarakat non-Samin agar image negatif tidak terlekat pada generasinya, dilakukan penggantian nama. Kedua, julukan dari perangkat desa di Blora wilayah selatan dan Bojonegoro tahun 1903-1905 M akibat melawan perangkat desa, tidak mau membayar pajak, dan menyendiri dengan warga lain (Faturrohman 2003, 20). Akibat perlawanannya maka timbul istilah  nyamin. Ketiga, simbol nama bahwa manusia ahir/hidup berasal dari proses sikep (berdekapan) atau prosesi memasak nasi ala tradisional yang prosesnya nyikep untuk bekal pertahanan hidup. Keempat, kata sikep merupakan upaya menghindari sebutan samin akibat makna negatif, terutama wacana saminisme dijauhkan dari semangat melawannya petani. Konteks sejarah, kata saminisme sebagai dampak policy politik kebudayaan yang meniadakan eksistensi warga lokal dan minoritas. Hal ini imbas respon Presiden Soekarno, Samin dianggap saudara. Tahun 1947-an Soekarno pernah singgah di wilayah Pati, mengajak komunitas Samin bergabung dengan Republik Indonesia dan diterimanya (Norkhoiron 2002, 12).

 

Eksistensi Samin di Kudus

Tebaran ajaran Samin di Kudus ada ragam pandangan. Pertama, dari Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora. Tatkala Sosar (dari Desa Kutuk, Undaan), Radiwongso (Dukuh Kaliyoso, Undaan), dan Proyongaden (Desa Larekrejo, Undaan) tahun 1890 berinteraksi dengan Suronggono dan Surondiko/Surosentiko/ Suratmoko/Raden Kohar/Raden Aryo, cucu Raden Mas Adipati Brotodiningrat sang Wedono (Faturrohman 2003, 17). Info tersebut penyebaran pasca Suparto tidak ada peninggalan berupa dokumen, benda sejarah dan lainnya untuk data. Kedua, dari Desa Randublatung, Blora,  dipimpin Surokidin berinteraksi dengan Sosar (warga Kutuk), Radiwongso (Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Undaan), dan Proyongaden (Desa Larekrejo) dan muncul interaksi di antara mereka. Ketiga, ajaran Samin di Desa Kutuk prakarsa Ki Samin Surowijoyo dari Randublatung, Blora, menyebarkan kitab “Serat Jamus Kalimasada” berbahasa Jawa kuno berbentuk puisi tradisional (sekar macapat) dan prosa (gancaran) (Sastroatmodjo 2003, 19). Data tidak terdapat pembawa kitab. Keempat, upaya Raden Kohar (lahir di Desa Ploso, Blora, diasingkan Belanda di Digul, Irian Jaya, wafat 1914) mengembangkan pusat perjuangan (Winarno 2003, 57). Kelima, tahun 1916 gerakan Ki Samin gagal mengembangkan di Tuban sehingga ke Desa Kutuk (Faturrohman 2003, 19). Kata Kutuk mengilhami penulis menulis Samin sejak tahun 2008 hingga kini dengan ragam topik.

 

Tebaran Samin di Kudus

Munculnya Samin di Kudus karena (1) berdekatan dengan Kabupaten Pati, yang telah ada komunitas Samin wilayah Kecamatan Sukolilo yakni Baturejo, Galiran, Bombong, dan Ngawen hingga kini, (2) keberadaan desa di mana orang Samin ada kala itu terpencil dan kini  mudah dijangkau karena aspalisasi jalan antardesa. Ketiga, fasilitas bidang keislaman kurang optimal di Desa ‘Samin’, dibanding wilayah Kudus lainnya masa itu. Ajaran Samin berkembang ke wilayah Kudus direspon Sosar (warga Desa Kutuk), Radiwongso (warga Dukuh Kaliyoso), dan Proyongaden (warga Desa Larekrejo), ketiganya di wilayah Kecamatan Undaan, sedangkan di Dukuh Mijen, Desa Bulung Cangkring Kecamatan Jekulo. Catatan penulis tahun 2019, Samin di Desa Kutuk dengan tokoh Sukari (putra Suparto, pengikut Samin pertama di Desa Kutuk). Generasi Suparto (a) Sukari beristri Paijah, anaknya: Rubiah (awalnya Samin kawin dengan orang Samin. Setelah bercerai, kawin dengan orang Buddha dari Boyolali menjadi Buddha), Sumini, dan Sumaji, (b) Sariyo beristri Rumisih, mamiliki anak Sarji, Salin, Tahan, Patonah, dan Tugi, (c) Kemadi beristri Utami, memiliki anak: Bambang, Tarmi, dan Jumadi, (d) Sunoto beristri Ngatini memiliki anak: Biati dan Supri, dan Ngabi (alm). Samin di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo sesepuhnya Maskat (putra tokoh Samin Dukuh Kaliyoso, mendiang Sumarsono), dan di Desa Larekrejo dengan sesepuh Sakam wafat (salin) tahun 2006 diteruskan Budi Santoso bin Sumarsono. Budi lahir 25 Desember 1964, lulus SD tahun 1970, Kejar Paket B tahun 2012.

 Ragam pendapat sumber Samin di Kudus (1) dari Klopoduwur, Blora tahun 1890 tatkala Sosar, Radiwongso, dan Proyongaden berinteraksi dengan Suronggono dan Surondiko, cucu R.M. Adipati Brotodiningrat (Faturrohman 2003, 17). Versi ini, menurut Budi Santoso (tokoh Samin Kudus) ada kekeliruan bahwa Sosar, Radiwongso, dan Proyongaden tidak berinteraksi dengan Suronggono, tapi dengan Surokidin (menantu Ki Surondiko/ Surosentiko/Raden Kohar). Urutan trah, Ki Surosentiko memiliki anak Yongnyah dan Surokemis. Yongnyah dikawin Ki Surokidin, memiliki anak bernama Panijan. Surowijoyo memiliki anak Ki Surosentiko, Ki Surosentiko yang memiliki menantu Ki Surokidin, (2) dari Randublatung, Blora, dipimpin Surokidin berinteraksi dengan Sosar, Radiwongso, dan Proyongaden.

Keberadaan warga Samin di Kudus sebagai gerakan, didukung berbagai hal. Pertama, menurut Soerjanto merosotnya kewibawaan penguasa pribumi karena dominasi Belanda, sehingga merespon dengan gerakan berupa ritual, mistis, dan isolasi diri (Sastroatmodjo 2003, 51). Kedua, menolak membayar pajak karena kepentingan penjajah, bukan untuk pribumi. Gerakannya disebut sirep, tanpa bersenjata karena tidak ingin pertumpahan nyawa, perseteruan fisik, dan prinsip sabar (Kardi 1996, 1). Ketiga, perlawanan ekspresif berupa gerombolan, merampok warga pribumi kaya yang mengikuti penjajah, menamakan diri tiyang sami amin tahun 1840, harta rampasan dibagikan pribumi miskin. Keempat, gerakan mempersiapkan diri dengan pertempuran fisik mengumpulkan pemuda dengan ilmu kanuragan, kekebalan, dan olahbudi untuk mengusir penjajah (Kardi 1996, 2). Kelima, faktor tergesernya status sosial pribumi akibat penerapan pajak dan penyerahan hasil pertanian pada penjajah Belanda, sehingga muncul reaksi emosional melawan (Faturrohman 2003, 20). Keenam, tahun 1870 melawan Belanda karena mematok tanah warga untuk perluasan hutan jati, berdampak terkuranginya tanah warga Samin. Keberadaan petani sering diakomodasi oleh penguasa untuk bergerak mengadakan perlawanan. Pada era partai komunis di Indonesia, PKI, petani dilibatkan dalam wadah Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan provokasi pembagian dan kepemilikan tanah. Pada tanggal 2 Juli 1951 dibentuk Front Persatuan Tani dan 14 s.d 20 September 1953 diadakan kongres bersama, BTI yang semula gabungan dari tiga organisasi petani yakni Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia (RTI), dan Serikat Tani Indonesia (SAKTI). Dalam persiapan Pemilu 1955, anggota BTI tercatat 3.315.820 orang, berasal dari 42 cabang dan berkat dukungan petani dan buruh dalam Pemilu, PKI mendapat suara sebanyak 16,4 persen (Ensiklopedi Nasional Indonesia 2004, 173). Hal tersebut dalam laporan Jeanne S. Mintz disebutkan bahwa pemberontakan Samin merupakan pemberontakan reaksioner petani kolot dipicu kemiskinan dan frustasi elit, didukung pemimpin partai komunis yang tidak puas keputusan partai (gerakan komunisme relijius). Anggapan Mintz (gerakan petani kolot) dikritik Lance Castle dan Harry J.Benda dalam The Samin Movement bahwa gerakan petani mengedepankan ikatan solidaritas komunal akibat kebijakan kapitalis. Simpulan Castle ditolak Victor King, pemberontakan petani karena ketidaksesuaian antara keputusan negara yang tidak pernah diantisipasi dampaknya hingga timbul deprivasi status, harga diri, perilaku, kepemilikan, dsb. Tjipto Mangunkusumo terinspirasi laporan J.E Jaspers tahun 1917 tentang gerakan petani dalam bukunya Het Saminisme, Rapport uitgebracht aan de Vereeniging Insulinde mendedahkan, saminisme mirip dengan sekte agama pembangkang di zaman Tsar Rusia prarevolusi Boltsewik 1914-1917 yang tidak memercayai Tuhan, malaikat, dan surga, lebih mempercayai yang fakta (Norkhoiron 2002:21). Menurut Hutomo, era politik bagi Samin telah berlalu, Saminisme tidak harus dipahami sebagai ideologi perlawanan kaum tani, tapi ajaran kebatinan (Hutomo 1996).

Budaya Nahdliyin

yang Diakulturasi Samin

Untuk mewujudkan eksistensinya sebagai komunitas minoritas di lingkungan muslim yang mayoritas di Kudus, strategi yang dilakukan Samin adalah mengakulturasi atau mengadopsi budaya mayoritas menjadi bagian dari tradisi Samin. Akulturasinya dengan mewarisi kebudayaan secara internal dan eksternal. Secara internal proses memberi pelajaran (norma-budaya) sejak lahir oleh orangtua dan tokoh Samin pada generasinya hingga mati dengan membentuk pribadi, hidup dalam satu lingkungan di desa, menikah dengan sesama Samin, dan mentradisikan ajaran pada anak sejak kecil melalui tauladan orangtua dan tokoh (botoh) Samin yang juga berperan sebagai guru kehidupan (Rosyid 2012:17). Adapun pewarisan secara eksternal dengan mengadopsi tradisi muslim NU di Kudus berupa (1) pola pemakaman (dikuburkan posisi kepala mayat di utara dan tubuh dimiringkan), diberi batu nisan, (2)  kafan jenazah dengan kain mori/warna putih, (3) mengkhitan anak lelakinya saja, (4) slametan dalam hal pascamelahirkan, mengkhitankan anak lelaki, dan pascapemakaman pada hari yang sama, bila memanen padi dilakukan tradisi tingkepan, sepasaran (setelah perkawinan), tidak melakukan slametan tedak siten (anak akan berjalan), midodareni (menjelang perkawinan). Hanya saja, warga Samin tidak slametan pascapemakaman yang disebut pitung dina (7 hari pascakematian), matang puluh dinan (40 hari pascakematian), nyatus (100 hari pascakematian), nyewu (1000 hari pascakematian), mendak (setahun setelah kematian), mendak sepisan (dua tahun setelah kematian), mendak pindo (tiga tahun setelah kematian).

Slametan berkaitan dengan prinsip ajaran Samin berupa ngedonke woh-wohan, ngilikke banyu, maksudnya bagi warga Samin yang hasil panennya ekstra baik diajarkan mendistribusikan rizkinya untuk lingkungannya (Samin dan non-Samin) dengan menyembelih hewan berkaki empat, seperti kambing. Bila panennya baik menyembelih hewan berkaki dua, seperti itik, ayam atau entok. Sembelihan didistribusikan (weweh) juga untuk slametan. Hanya saja, ajaran ini sudah tidak lagi menjadi tradisi. Slametan merupakan tradisi masyarakat Jawa pada umumnya sebagai bentuk ekspresi syukur hamba pada Tuhannya yang diaplikasikan pada lingkungannya. Slametan dari kata dasar slamet, memohon keselamatan, kesehatan, dan kesuksesan pada Tuhan atas apa yang sedang dan akan dilakukan oleh pelaku tradisi. Warga Samin menyebut slametan dengan sebutan brokohan. Slametan merupakan wujud peduli terhadap sesama dan mengeratkan jalinan interaksi sosial.

Terdapat perbedaan slametan oleh Samin dengan NU di lingkungan Samin Kudus yakni dalam hal doa. Doa ala Samin: ”mugo-mugo ketekan sejo, lan kekarepane. Asale wong, bali wong, seng becek kelakuane. Pak-pak bo, pak-pak bo. Ojo dadi kebo, dadio wong neh. Ojo mangan suket, mangano sego liwet. Ojo ngumbe banyu kali ngombeo banyu kendi”. (Semoga terwujud harapan dan maksud. Semula orang kembali menjadi orang yang bijak perilakunya, tidak menjadi kerbau, jadilah orang lagi. Jangan makan rumput, makanlah nasi, jangan minum air sungai, minumlah air minum). Bila menyembelih dengan doa ”Yang bumi, aji aku jaman. Jamanku….(menyebut nama yang menyembelih) sandang-pangan tukule bumi. Cara berdoa ngenengno cipta, rasa, lan karsa kang supaya bisa kasembadan sejo lan karep kanti neng, nheng (kanti  meneng), lan nep (ngenepno roso) bilih onone siro/ingsun, wujud iro/ingsun) kalayan rungu tan rinungu, ono roso tan rinoso, ono gondo tan ginondo.

Tradisi slametan Nahdliyin diakulturasi oleh Samin adalah slametan perkawinan, kehamilan, kelahiran, khitan, dan kematian, meskipun untuk slametan kematian bagi Samin hanya pada hari H kematian (dino geblak). Proses akulturasi tersebut dilakukan terhadap unsur kebudayaan yang mudah diterima karena tidak bertentangan dengan ajaran ’dalam’ Samin, seperti slametan pada event tertentu seperti hari kelahiran (weton), melahirkan anak, pasca-pemakamkan (pada hari H), slametan perkawinan, slametan kehamilan, warga Samin melaksanakan brokohan (slametan kehamilan) ketika kandungan seorang ibu berusia tujuh bulan, slametan kelahiran, slametan khitanan anak lelaki, warga Samin tidak mentradisikan khitan anak perempuan.

Selain mengakulturasi slametan juga dalam hal pemulasaraan jenazah, khususnya memandikan. Adapun menyalati tidak dilakukan warga Samin karena perbedaan ajaran. Pemulasaraan jenazah; mati (salin sandangan) bagi Samin merupakan rotasi kehidupan setelah manusia melewati masa kandungan dan alam dunia. Esensi kematian merupakan masa memetik hasil kebajikan atau keburukan perbuatan setiap orang. Bila orang Samin mati dan ketika di dunia beramal baik yang diukur dengan ketaatannya melaksanakan ajaran Samin dan meninggalkan pantangan Samin maka reward yang dipetik berupa ruhnya menitis (reinkarnasi) pada salah satu keturunannya yakni menjadi orang yang taat beragama. Akan tetapi, bila orang Samin mati ketika di dunia tak taat beragama maka ruhnya menyatu dengan hewan atau tumbuh-tumbuhan sebagai bentuk sanksi dari Yai (Tuhan). 

Untuk menunjukkan kekhasannya, warga Samin memiliki pakaian khas tatkala menghadiri acara formal seperti menghadiri perkawinan, melayat kematian bagi lelaki memakai iket kepala, celana tokong (panjang di bawah lutut, di tengah kaki). Bagi perempuan berkebaya, berjarik. Dengan kekhasan tersebut, mereka tidak mengenakan peci (sebagai pakaian khas muslim). Adapun tradisi Samin yang sudah langka dilakukan/berkurang karena keserupaan dengan Islam yakni bersarung. Kini, hanya dipakai bagi lelaki Samin yang melakukan tahapan perkawinan Samin.

 

Makna Akulturasi Budaya Bagi Samin

Dominasi budaya mayoritas terhadap budaya minoritas bila pelaku budaya minoritas tidak ‘mengamankan diri’ mengadopsi budaya mayoritas dikhawatirkan terjadi penggerusan budaya minoritas. Karakter budaya selalu mengekspansi pada budaya lain karena mewujudkan dominasi dengan kekuatan yang dimilikinya berupa mayoritas dan kekuatan lain (rekayasa budaya). Solusi bijak yang dilakukan oleh pelaku budaya minoritas adalah mengakulturasi budaya mayoritas, tetapi jati diri budaya minoritas dipertahankan. Kejatidiriannya warga Samin dalam acara resmi (menghadiri perkawinan, kematian, atau menerima rombongan tamu) memakai iket kepala.

 

A group of people standing in front of a crowd posing for the camera

Description automatically generated

Gambar 1. Masyarakat Samin menggunakan pakaian adat

(Sumber: Dokumentasi Rosyid, 2018)

Bila budaya minoritas tergerus oleh budaya mayoritas, maka pelaku atau budaya minoritas tidak memiliki pertahanan budaya. Terjadinya kegagalan pertahanan budaya minoritas atas budaya mayoritas merupakan bentuk kegagalan pemilik budaya. Menurut Kleden, watak dasar kebudayaan adalah antisipasi dan sikap reaktif. Mengantisipasi budaya muncul akibat pengandaian (eksplisit atau laten) bahwa tiap keadaan, rencana, dan program selalu muncul kesulitan, hambatan, dan masalah seputarnya dihadapi dengan persiapan. Munculnya masalah dari pelaksanaan program yang dampaknya tak terduga/di luar rencana (unintended results), adanya penyelewengan dalam pelaksanaan, dan adanya perkembangan baru yang mengubah rencana awal (Kleden 2013, 6).

Komunitas Samin mengadopsi budaya di lingkungannya dengan dasar pesan leluhurnya bahwa pascamerdekaan komunitas Samin harus menaati pemerintah dan lingkungannya yakni Banyu suket nggeni brambut, mapah gedang, gerakan tidak kasat mata, tidak frontal dan mendukung pimpinan anak negeri, Bung Karno. Wong Samin kudu biso ngelakoni ngalah, gunem sekecap tutuke pangan secokotan. Barang kang apik kudu iso ora kanggo awak dewe. Gunemem iki, sak iki di dol sewu ora payu. Mbesoke, di dol seketi ora ngedoli. Kuwe mbesoke diluru sedulur (Wong Samin perilakunya mengalah. Bila berbicara seperlunya. Berbuat baik tak hanya untuk dirinya. Prinsip tersebut masa kini (masa disampaikan petuah) dianggap hal biasa. Tetapi masa mendatang (masa kini) warga Samin menjadi sumber inspirasi publik). Prinsip dasar pesan leluhur warga Samin bahwa pascakemerdekaan untuk menaati program pembangunan. Dengan demikian, mengadopsi budaya sebatas tidak mengubah prinsip ajaran Samin tak bertentangan dengan ajaran Samin. 

Konteks NU, diadopsinya budaya NU oleh warga Samin bukan persoalan karena budaya slametan tak hanya dominasi tradisi NU, tetapi juga tradisi masyarakat Jawa pada umumnya. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi dakwah didirikan pada 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H berhaluan ahli sunah wal jamaah (Aswaja). Aswaja mengacu kelompok suni, sehingga Syiah, Muktazilah, dan Murji’ah dianggap non-Suni oleh sebagian pihak karena terdapat pemahamannya yang tak sesuai dengan aturan main yang disyariatkan Nabi SAW, seperti anggapan sebagian sekte dalam Syiah yang hanya mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Istilah Aswaja dipopulerkan Abu Sirin, makin populer istilah ini pascaterbunuhnya Ali bin Abi Thalib akibat muslim tertradisi bid’ah (ibadah yang aturannya tidak termaktub dalam hadis Nabi Muhammad). Bagi pelaku yang dianggap bid’ah berargumen bahwa aktivitas keagamaan sangat dipengaruhi oleh budaya yang bersifat lokal sehingga dikenal bid’ah syayyiah dan hasanah dan dibedakan antara ahli bid’ah dengan ahli sunah. Imbas berikutnya muncul gerakan Islam yang dikenal tiga kelompok: Aswaja, Syiah, dan Khawarij (Rosyid 2013).

Esensi ke-NU-an menurut Ja’far bahwa ahli sunah wal jamaah (Aswaja) yang dianut Nahdlatul Ulama mengusung konsep Islam yang mengedepankan nilai kedamaian, selaras (harmoni), dan kasih sayang. Sikap moderasi dan toleransi bila berinteraksi dengan aliran, paham, dan agama lain. Pemikiran ini menggunakan jalan tengah yakni antara ekstrim ‘aqli (rasional) dengan ekstrim naqli(skriptural). Maka sumber pola pikir NU dari al-Quran, hadis, kemampuan akal yang ditambah realitas empirik. Dalam berpolitik, aswaja berprinsip pertama, al-tawassuth (moderat), tak ekstrim liberalis-kiri atau fundamentalis-kanan; meskipun aswaja tak memiliki konsep negara. Negara  berdasar teokrasi (ketuhanan), aristokrasi (kerajaan), demokrasi (kerakyatan) atau yang lain asal terpenuhi kriteria negara yakni unsur musyawarah (syura), keadilan (al-’adl), kesetaraan derajat (al-musawah), dan kebebasan (al-hurriyyah). Kebebasan dalam melindungi lima prinsip dasar kemanusiaan (al-ushulul khamsah) meliputi melindungi jiwa (hifzu an-nafs), menjaga agama (hifzu ad-din), menjaga harta kekayaan (hifzu al-mal), menjaga  asal-usul nasab (hifzu an-nasl), dan menjaga kehormatan (hifzu al-‘irdh). Kedua, at-tawazzun yakni keseimbangan dalam menerapkan aturan, nash, rasio, dalam hidup. Ketiga, al-i’tidal (konsisten) atau tidak latah terprovokasi, dan keempat at-tasamuh (toleran) (Ja’far 2013).

Aswaja berpola pikir (1) ahlur ra’yi (menggunakan akal dalam berijtihad) seperti Imam Abu Hanifah mendasarkan ajaran Quran, hadis, ijmak, qiyas, dan istihsan. Pemikirannya disosialisasikan oleh muridnya dalam kitab. Kelompok ini berkembang di Turki, Afghanistan, Mesir, Asia Tengah, Pakistan, India, Irak, Brazil, Amerika Latin, (2) ahlul hadis menggunakan hadis dalam penetapan syariah daripada nalar, sebagaimana merujuk pada Imam Madzhab (Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi). Dengan demikian, Aswaja tidak hanya mengikuti pemikiran satu orang mazhab, tapi satu di antara empat mazhab (Rosyid 2013). Hal ini menjadi pendorong akomodatifnya budaya NU bila direspon oleh lingkungannya, meskipun tradisi slametan bukan ’hak milik NU’.

Melalui konsep tersebut, warga Nahdliyin menyatu dengan tradisi setempat yang diikuti oleh komunitas non-nahdliyin yakni Samin. Akan tetapi, gerakan Samin mengadopsi budaya NU dapat dikategorikan ajaran kebatinan yang responsif terhadap eksistensi budayanya dalam realitas kekinian. Karena budaya yang diadopsi merupakan bagian dari ajaran agama Adam yang dipeluk warga Samin.

 

KESIMPULAN

Eksisnya kebudayaan bila antarpemilik budaya menyadari bahwa kebudayaan bagi individu dan kelompok  merupakan kebutuhan asasi. Hal ini terwujud bila diperkuat dengan akulturasi budaya oleh pihak minoritas pada mayoritas hingga tercipta akulturasi. Proses akulturasi sesuai kondisi pelaku budaya.  Komunitas Samin memanfaatkan budaya dominan yang dilakukan oleh muslim nahdliyin (NU) menjadi bagian dari budayanya. Nahdliyin pun merespon dengan baik karena kebudayaan sebagai media pembauran alami. Karakter NU adalah responsif budaya lokal sehingga akulturasi menimbulkan simbiosis mutualisme. Hanya saja, bila warga Samin tidak waspada, akibat urbanisasi yang dilakukannya, imbas kehidupannya yang prasejahtera (dampak kegagalan pertanian), budaya Samin makin pudar akibat menerima tradisi dari luar yang masif dan terkesan tidak terkontrol, seperti mamakai anteng-anteng bagi perempuan yang menggunakan asesoris ’ekstra’, ada pula rambut pemudanya yang disemir, dan seterusnya. Hal yang lebih memprihatinkan, generasi Samin yang senior sudah tidak berdaya menghadapi budaya yang dilakukan yuniornya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada warga Samin di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo dan Desa Larekrejo, keduanya di Kecamatan Undaan, Kudus. Komunitas ini dijadikan sumber utama riset ini dari keturunan Sumarsono, tokoh Samin.

 

DAFTAR PUSTAKA

Auda, Jasser. 2015.  Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah. Bandung: Mizan

 

Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

 

Bastomi, Suwaji. 1995. Seni Dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP Press.

 

Dhewanty, Dhanik. 2004. “Solidaritas Sosial Masyarakat Samin Di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.” Jurnal Forum Ilmu Sosial. Fakultas Ilmu Sosial Unnes 31 (2).

 

Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

 

Ensiklopedi Nasional Indonesia. 2004. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta.

 

Faturrohman, Deden. 2003. Hubungan Pemerintah Dengan Komunitas Samin Dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin Dan Tengger. Yogyakarta: LKiS.

 

Hutomo, Suripan Sadi. 1996. Tradisi Dari Blora. Semarang: Citra Almamater.

 

Indriasari, Lusiana. 2013. “‘Rantai’ Itu Masih Membelenggu Keturunan Mereka.” Kompas, December 13, 2013.

 

Ja’far, Marwan. 2013. “Islam Dan Nilai Kebangsaan.” Republika, August 23, 2013.

 

Kardi, Hardjo. 1996. Riwayat Perjuangan Ki Samin Surosentiko.

 

Kleden, Ignas. 2013. “Kebudayaan Dan Antisipasi.” Kompas, November 28, 2013.

 

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Bandung: Rineka Cipta.

 

Norkhoiron. 2002. “Dari Buku Ke Buku Sambung Menyambung Menjadi ‘Samin.’” Majalah Kebudayaan. Desantara, 2002.

 

Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan Dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Rosyid, Moh. 2008. Samin Kudus Bersahaja Di Tengah Asketisme Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

———. 2012. Kodifikasi Ajaran Samin. Yogyakarta: Kepel Press.

 

———. 2013. “Sarjana NU Penjaga Gawang Aswaja Dalam NU Dalam Tantangan Lokal Dan Global. Refleksi Konferensi Cabang NU Kabupaten Kudus 2013.” In . Kudus.

 

Sastroatmodjo, R.P.A Soerjanto. 2003. Masyarakat Samin Siapakah Mereka? Yogyakarta: Nuansa.

 

Sigar, Edi. 1998. Provinsi Jawa Tengah. Jakarta: Pustaka Delapratasa.

 

Winarno, Sugeng. 2003. SAMIN :Ajaran Kebenaran Yang Nyeleneh Dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin Dan Tengger. Yogyakarta: LKiS.