Togel Online Terlengkap dan Terpercaya 2022 online togel terlengkap kami menyediakan permainan online togel terbaik dan terpercaya di Indonesia.

Rekomendasi memilih situs online togel tebaik tahun 2021, menerima deposit menggunakan pulsa

FOLKLOR PENINGGALAN-PENINGGALAN PUTRI HIJAU

DI DESA SEBERAYA, KARO

 

THE FOLKLORE OF PUTRI HIJAU’S RELICTS

IN SEBERAYA VILLAGE, KARO

 

Elwyn Bastian Sinaga1 dan Hariati Sembiring2

Universitas Sumatera Utara

Jalan Abdul Hakim No.1 Kampus USU, Medan

1elwynbastiansinaga@gmail.com

2sembiringhariati22@gmail.com

 

Reception date : 06/02/2020

Last Revision: 30/10/2020

Acceptation date: 04/11/2020

Published: 25/11/2020

To Cite this article : Sinaga, Elwyn Bastian dan Hariati Sembiring. 2020. “FOLKLOR PENINGGALAN-PENINGGALAN PUTRI HIJAU DI DESA SEBERAYA, KARO.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 23(2). Medan, Indonesia, 73-82. https://doi.org/10.24832/bas.v23i1.421.

©2020 Berkala Arkeologi Sangkhakala –This is an open access article under the CC BY-NC-SA license

 

Abstract

Putri Hijau Cave in Seberaya, Tiga Panah sub-district, Karo District is the birthplace of Putri Hijau. Putri Hijau has two siblings, namely Nini Naga and Nini Cannon. The legacy of the Putri Hijau or Green Princess in Seberaya Village as historical evidence is believed by the community, contain historical value. This value is related to the life of the people of Seberaya. This study aims to identify and describe the remnants of the Green Princess that still exist today in the Village of Seberaya, Karo District and to know the views of the Seberaya people towards these remnants. The method used in this research is descriptive qualitative method. This method is used to describe the state of the inheritance object based on the available facts. The research data was obtained from observations and interviews with three informants. Observation is done by visiting the location of the object. Interviews were conducted with informants who knew the Putri Hijau story. Based on the research results, there are three relics that still exist, namely the Green Princess Bath, Green Princess Cave, and the Green Princess Playing Site.

 

Keywords: Putri Hijau; Putri Hijau cave; Jabi-jabi

 

Abstrak

Gua Putri Hijau di Seberaya, kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo adalah tempat kelahiran Putri Hijau. Putri Hijau memiliki dua orang saudara, yaitu Nini Naga dan Nini Meriam. Peninggalan Putri Hijau yang ada di Desa Seberaya sebagai bukti sejarah yang diyakini masyarakat mengandung nilai sejarah. Nilai tersebut sangat berhubungan dengan kehidupan masayarakat Seberaya. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mendeskrpsikan peningalan-peningalan Putri Hijau yang masih ada saat ini di sana serta mengetahui pandangan masyarakat Seberaya terhadap peingalan-peniggalan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode ini diguakan untuk melukiskan keadaan objek peninggalan berdasarkan fakta-fakta yang ada. Data penelitian ini diperoleh dari hasil observasi dan wawancara kepada tiga informan. Observasi dilakukan dengan mengunjungi lokasi keberadaan objek. Wawancara dilakukan kepada informan-informan yang mengetahui cerita Putri Hijau. Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada tiga peninggalan yang masih ada, yakni Permandian Putri Hijau, Gua Putri Hijau, dan tempat Permainan Putri Hijau.

 

Kata kunci: Putri Hijau; Gua Putri Hijau; jabi-jabi

 

PENDAHULUAN

Sekitar penghujung abad ke-15 M ada dua orang bersaudara laki-laki bermarga sembiring meliala, berkampung di Ibu Kota Kerajaan Haru Sicapah, yakni Desa Seberaya yang menjadi tempat kelahiran Putri Hijau dan kedua saudaranya. Kata Aru atau Haru berasal dari bahasa Karo Tua, yang sampai sekarang masih hidup dalam bahasa Karo yang artinya khawatir atau merasa sangsi karena ketakutan. Sebagai sebuah kerajaan yang besar, Kerajaan Aru memiliki banyak situs peninggalan sejarah salah satunya  ialah situs sejarah Benteng Putri Hijau. Benteng Putri Hijau adalah salah satu peninggalan sejarah Sumatera Utara yang bernilai tinggi karena terkait dengan Kerajaan Aru yang merupakan salah satu kerajaan terbesar di Sumatera sampai Aceh dan Malaka pada abad ke-15. Hal ini sejalan dengan pendapat Azhari dan Syafri (2009, 8) mengatakan bahwa pada abad ke-15 M, Haru  merupakan Kerajaan yang terbesar di Sumatera sebagai salah satu kekuatan yang ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Benteng Putri Hijau sendiri dibangun oleh masyarakat yang memiliki local genius dalam bidang ilmu kemiliteran guna menjadi pertahanan pada zaman dahulu. Benteng tersebut memiliki fungsi memperkuat pemukiman yang berada di dalamnya agar sulit diterobos oleh musuh yang menyerang sehingga Kerajaan Aru tidak dapat ditaklukkan. Kerajaan Aru Deli Tua telah mengenal sistem pertahanan yang pusat kerajaan tersebut dilindungi oleh benteng besar dan pembiayaan dalam pembangunan benteng ini diperoleh dari hasil perdagangan antara Kerajaan Aru dengan Portugis sewaktu menguasai Malaka pada tahun 1511. Salah satu kawasan yang menjadi letak situs sejarah peninggalan Kerajaan Aru yaitu Benteng Putri Hijau di Deli Tua saat ini yang keberadaanya sangat terancam oleh tiga pembangunan sekitar seratus rumah perumnas telah menjadi wacana dan polemik antara pihak yang peduli terhadap peninggalan situs-situs sejarah dengan pihak pengembang perumahan (PERUMNAS). Jika tidak dijaga dan dilindungi situs sejarah Benteng Putri Hijau di Deli Tua hanya akan menjadi sebuah kenangan belaka karena tidak ada keperdulian dari berbagai pihak. Upaya penyelamatan pernah dilakukan pada tahun 1999 dan 2004 terhadap Benteng Putri Hijau diusulkan oleh Balai Arkeologi Medan kepada pemerintah sebagai benda dan kawasan bersejarah sesuai UU No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB). Namun, usulan  tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang positif. Kemudian pernah juga dilakukan upaya penyelamatan oleh para peneliti yang bekerja sama dengan masyarakat akademis beserta instansi yang terlibat dalam upaya penyelamatan situs sejarah tersebut, tetapi tidak disambut dengan positif.

Sekitar situs sejarah Benteng Putri Hijau masih tersisa sebuah pancuran air yang biasa disebut Pancur Gading dan diduga sebagai tempat mandi Putri Hijau. Pancur Gading ini diyakini masyarakat sebagai tempat yang sakral karena di tempat itulah Putri Hijau biasa membersihkan diri sehingga banyak masyarakat datang untuk membersihkan diri di tempat tersebut dan tak jarang pula masyarakat dari luar wilayah datang untuk sekadar melihat dan merasakan kesejukan air di Pancur Gading tersebut. Masyarakat pada umumnya datang ke Pancur Gading dengan berbagai macam niatan atau memiliki tujuan di antaranya untuk kesembuhan penyakit, jodoh dan rezeki. Oleh karena itu mereka datang ke tempat tersebut guna memohon doa dan memberikan sesajen tertentu karena persepsi masyarakat menganggap bahwa Pancur Gading adalah tempat keramat. Masyarakat juga percaya apabila tertimpa musibah dan agar terhindar dari berbagai macam masalah maka mandi di Pancur Gading adalah salah satu hal yang harus dilakukan. Inilah hal yang mendasari penelitian ini dilakukan. Banyak peninggalan-peninggalan kebudayaan kita yang sudah punah dan akan punah karena peningalan-peninggalan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah.

Peninggalan-peninggalan tersebut dikisahkan oleh masyarakat kepada generasi berikutnya dengan teradisi oral sehingga menjadi legenda. Inilah yang disebut sebagai folklor. Folklor peninggalan-peningalan Putri Hijau tersebut mengandung gagasan, ide, dan nilai-nlai pengetahuan. Sangatlah penting untuk mengetahui peninggalan-peningalan berdasakan cerita yang telah diwariskan kepada  masyarakat .

Endaswara (2009, 34) menyatakan bahwa folklor adalah gudang keilmuan tradisioal dan modern. Folklor adalah timbuan budaya yang di dalamnya terdapat simpanan sumber-sumber keilmuan. Folklor berisi keterampilan, pemikiran, ide, baik individu maupun kolektif. Bebagai hal yang menyangkut kelakuan hidup, seperti pengobatan, kelahiran, kematian, guna-guna dan sejumlah ritual lain.

Sejalan dengan itu, Danandjaja (1994, 149) foklor mengatakan bahwa sebagai cerminan tata kelakuan kolektif. Tata kelakuan akan muncul dalamnrma-norma, cita-cita, pandangan-pandangan, hukum, aturan-aturan, kepercayaan sikap, dan sebagainya. Yang perlu dicermati adalah kelakuan terselubung (covert) dan tidak tebuka (overt). Biasanya tata kelakuan semacam ini berupa tindakan sakral dan rahasia. Kajian ini akan membahas  apa sajakah peningalan-peninggalan Putri Hijau di Desa Seberaya yang masih ada hingga saat ini?   Goa putri hijau adalah tempat putri hijau dan saudaranya dilahirkan.

Goa ini terletak di tepi Lau Biang di Desa Seberaya. Sejarah dari goa ini dahulunya ada seorang isteri (sudah janda karena suaminya sudah meninggal) mengandung tua. Sang janda Beru Barus belum juga melahirkan padahal sudah memasuki tahun kedua. Seluruh masyarakat Seberaya ketakutan melihat janda beru Barus tersebut karena masyarakat kampung meyakini bahwa janda tersebut diikuti oleh jin dari lau biang dekat gua lau biang. Maka sepakatlah seluruh masyarakat kampung mengatakan kepada raja supaya janda tersebut diusir ke Gua Lau Biang. Gua Lau Biang inilah yang kemudian disebut masyarakat Seberaya sebagai tempat kelahiran dari Putri Hijau dan kedua saudaranya Nini Naga dan Nini Meriam. 

Cerita tentang Putri Hijau dan kedua saudaranya tersebut secara umum memiliki dua versi, yakni versi yang berasal dari catatan sejarah berupa cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli dan versi hikayat dari masyarakat Karo yang berkembang di Desa Seberaya. Kedua versi tersebut memilki persamaan dan perbedaan yang saling menonjolkan keaslian cerita masing-masing.

Sebuah riset yang pernah dilakukan oleh (Dada Meraksa, 1971 dalam Putro, 1981) mengenai Putri Hijau mengatakan bahwa:

1.   Melihat tapak istana Putri Hijau dan air pancurannya di Pancuran Gading Deli Tua.

2.   Bambu yang disebut mengelilingi kerajaan ini, sampai kini bambu tersebut masih tersusun rapat.

3.   Seorang tua bernama Ammel (Ame Mel? BP). Ketika Maskapai Deli Batavia dibuka di Deli Tua, ada seorang petani menggali di sekitar lokasi Putri Hijau tersebut, lalu didapatnya seguci kecil emas kemudian emas itu di jualnya ke toko cina, tetapi oleh Sultan Ma’moen Al-Rasyid mendengar hal itu dia menebusnya kembali dan emas itu kemudian dimilikinya.

4.   Kampung Sukanalu, pekan Kaban Jahe, masih ada nenek-nenek yang menyimpan rambut Putri Hijau yang panjangnya hampir 2 meter tanpa disambung. Di kampung itu juga sampai sekarang terdapat saudara Putri Hijau si Meriam. Penemuan ini salah satu bukti bahwa cerita Putri Hijau bukanlah sebuah dongeng.   

Penelitian ini akan membahas tentang folklor peninggalan folklor Putri Hijau kondisi dan keadaan peninggalan Putri Hijau, dan pandangan masyarakat terhadap kisah Putri Hijau di Desa Seberaya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningalan, kondisi, dan pandangan masyarakat di Desa Seberaya tetang Putri Hijau.

 

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah metode wawancara terhadap tiga informan. Metode analisis data yang digunakan dalam peneltian ini adalah metode kualitatif deskriptif.  Metode deskriptif adalah metode yang melukiskan keadan sebuah objek berdasarkan fakta-fakta yang ada  (Hoffman, 1994: 73) selanjutnya Sugiyono (2008) juga mengatakan bahwa penelitian kualitatif deskriptif bertujuan untuk mendapatkan dan menganalisis data secara mendalam. Sehingga dengan menggunakan metode kualitatif data dapat dianalisis secara mendalam dan jelas. Metode penelitian kualitatif bersifat subjektif atau berdasarkan sudut pandang partisipan secara deskriptif sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasikan. Dengan kata lain, metode riset ini lebih bersifat memberikan gambaran secara jelas tentang permasalahan sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Desa Seberaya terletak di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, yang berjarak kurang lebih sekitar 3 Km dari Desa ke Tigapanah, serta berjarak sekitar 12 km dari Kabanjahe, dan berjarak kurang lebih 76 km dari Medan. Desa Seberaya berbatasan dengan Desa Simpang Bertah, Aji Mbelang, Aji Jahe, Aji Buhara dan Aji Julu jika dari daerah Ujung Aji, tetapi jika dari Tiga Panah berbatasan dengan Desa Kuta Balai dan Tiga Panah. Angkutan yang dapat digunakan untuk menuju desa ini dari Kota Medan diawali dengan menaiki Sinabung Jaya, Sutra atau angkutan umum yang melewati Berastagi atau Kabanjahe. Sesampainya di Berastagi atau di Kabanjahe, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan Sibayak jurusan Desa Seberaya jika dari Berastagi, tetapi jika dari Kabanjahe dilanjutkan dengan Arih Ersada yang menuju Desa Seberaya.

Ruas jalan dari Berastagi atau dari Kabanjahe menuju Desa Seberaya telah diaspal. Namun, ada sebagian ruas jalan yang sudah berlubang dan digenangi air jika hujan. Sebagian besar jalan yang rusak ini dijumpai pada rute perjalanan dari Kabanjahe menuju Desa Seberaya yaitu pada daerah yang sering disebut Lau Pirik. Sejarah terbentuknya Desa Seberaya dan penamaan Desa Seberaya yang diakui cerita sejarah dari generasi ke generasi penduduk Desa Seberaya. Menurut beberapa sumber, Desa Seberaya memiliki pengaruh dari India, hal ini terlihat dari nama nama sub Marga Sembiring seperti Depari, Pandia, Colia, Meliala, Brahmana dan sebagainya. Kata Seberaya ini berasal dari kata Serayan dalam bahasa Karo yang berartinya kelompok atau kelompok kerja. Kata serayan ini juga dapat disamakan dengan kata aron dalam bahasa Karo yang berarti kelompok kerja, biasanya untuk mengerjakan ladang anggota kelompoknya. Seiring dengan berjalannya waktu, kata serayan berubah menjadi kata Seberaya, tidak ada yang mengetahui jelas kapan dan siapa yang mengubah nama serayan menjadi Seberaya.

Dalam budaya Karo, ada istilah merga simantek kuta dan anak beru kuta yang berarti marga orang yang awalnya mendiami daerah tersebut atau orang yang mendirikan kampung atau desa tersebut. Desa Seberaya marga simantek kuta adalah marga Karo Sekali, karena kelompok orang Marga Karo Sekalilah yang awalnya mendiami dan mendirikan desa ini. Sementara anak beru kuta adalah Merga Sembiring. Desa Seberaya memiliki tiga kesain besar kelompok atau persekutuan penduduk di suatu kampong yang didasarkan pada keturunan yang sama’ besar yang berada di sebuah wilayah Desa Seberaya. Kesain tersebut adalah Kesain Rumah Karo Raja Urung, Kesain Saribu dan Kesain Julun. Nama nama kesain ini diyakini oleh tiga kepala keluarga yang awalnya mendiami daerah Seberaya. 

Sampai saat ini, penduduk dengan marga Karo Sekali dan Sembiringlah yang paling banyak di Desa Seberaya. Marga Karo Sekali juga diyakini berasal dan berkembang dari Desa Seberaya. Jumlah Penduduk Seberaya sekitar 1100 Per Kepala Keluarga. Penduduk Desa ini sebagian besar beragama Kristen Protestan sekitar 30 %, Katolik 20 %, Pentakosta 30 %, Islam 15 %, dan lain lain 5 %. Penduduk yang ada di Desa Seberaya mayoritas bersuku Karo (90%), tetapi setaelah adanya perpindahan penduduk, kini Desa Seberaya juga ditinggali oleh kelompok etnis lain seperti Batak Toba, Simalungun, Jawa, Nias, dan orang dari kelompok lainnya. Masuknya etnis lain ke desa ini terjadi dengan beberapa cara misalnya ada warga Desa Seberaya yang menikah dengan orang dari etnis lain dan menetap di Desa Seberaya, orang dari etnis lain masuk dan menetap di Desa Seberaya dengan tujuan mencari pekerjaan (biasanya sebagai buruh tani) atau kedatangan etnis lain karena faktor kesadaran sendiri ingin menetap di Desa Seberaya.

Mata pencaharian masyarakat Seberaya mayoritas bertani. Tanaman yang paling banyak ditanam oleh warga Seberaya dahulunya adalah tanaman jeruk, tetapi semakin lama hanya segelintir orang yang menanam jeruk karena banyaknya lalat buah yang menyebabkan gagal panen. Saat ini penduduk Desa Seberaya menanam berbagai macam tanaman seperti kopi, tomat, kentang , tembakau, dan jenis jenis sayuran lainnya seperti sayur putih, kol, bunga kol, cabai, beberapa penduduk juga sudah mulai menanam tanaman wortel, lemon, dan sebagainya. Desa Seberaya juga terkenal dengan penghasil tanaman bunga dengan berbagai macam jenis mulai dari Bunga ester, bunga terompet, bunga dahlia, bunga sedap malam, bunga tekwa, bunga krisan, bunga pong pong, bunga anyelir dan sebagainya.

Selain aktivitas dan mata pencaharian tersebut, Desa Seberaya juga mempunyai cerita yang sangat sensasional. Salah satu cerita tentang Putri Hjau. Cerita Putri Hijau berkaitan dengan Desa Seberaya. Konon menurut masyarakat Desa Seberaya yang diceritakan secara turun temurun Putri Hijau dan saudara saudaranya lahir di Desa Seberaya tepatnya di gua dekat Lau Pirik. Sampai saat ini gua tersebut masih ada dan sebagian permukaannya tertimbun gugusan tebing sekitarnya. Menurut cerita dari informan orang tua, Ibu, Putri Hijau merupakan penduduk asli Desa Seberaya yang merupakan Beru Sembiring Milala.

Kisah awal ini berawal dari si Beru Milala ini (namanya tidak diketahui) sedang hamil tua, sedangkan suaminya telah meninggal dunia. Si Beru Meliala ini sudah hamil tua, tetapi tidak melahir-melahirkan. Hal ini membuat seluruh masyarakat Desa Seberaya ketakutan karena masyarakat Desa Seberaya meyakini bayi yang dikandungnya adalah anak jin dari Lau Pirik. Oleh karena hal tersebut, masyarakat Desa Seberaya mengasingkannnya dari Desa Seberaya ke sebuah gua di Lau Pirik atau yang sering disebut dengan Gua Lau Pirik. Anak yang dilahirkan Beru Milala kembar tiga,yaitu  Naga, Meriam, dan Putri Hijau yang pada awalnya, nama Putri Hijau di Seberaya disebut adalah “Beru Peteri” yang artinya “Wanita Sakti yang bersinar”. Putri Hijau tumbuh besar menjadi seorang gadis yang cantik. Kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi tersohor ke berbagai pelosok negeri. Bahkan Konon katanya, Putri Hijau bagaikan Dewi kahyangan yang turun ke bumi. Putri Hijau memiliki rambut yang sangat panjang bahkan satu helai rambutnya pun sebesar satu genggaman tangan orang dewasa atau sebesar bola kasti hal ini dulu pernah dibuktikan dengan ditemukannya sehelai rambut tersebut di Desa Seberaya, tepatnya di Rumah Mbelin ( Salah Satu rumah adat di Desa Seberaya pada zaman dahulu). Putri Hijau juga memiliki kulit yang sangat putih, saking putihnya ketika dia memakan sirih, sirih tersebut terlihat di lehernya berwarna merah

Menurut cerita masyarakat Seberaya, sejarah nama Putri Hijau adalah ketika ibunya mengandung dia mengidam kelapa hijau, tetapi karena di Tanah Karo tidak ada kelapa muda maka sang janda tersebut meminta tolong kepada perlanja sira ‘pedagang garam’ yang mengambil garam ke Jahe-Jahe (daerah Delitua) membawa kelapa muda yang masih hijau. Perlanja sira tersebut memenuhi permintaan sang janda sehingga ketika perlanja sira kembali melewati lau pirik dia memberikan kelapa muda berwarna hijau. Pada malam harinya setelah sang janda meminum kelapa hijau yang dibawa perlanja sira melahirkanlah dia.

Desa Seberaya tepatnya di Lau Pirik juga terdapat tapian ‘permandian’ untuk tempatnya mandi dan Gua Lau Pirik yang konon katanya merupakan tempat kelahiran sang Putri Hijau dan saudaranya. Menurut cerita yang beredar, sang Putri dan saudaranya akhirnya pindah dari Desa Seberaya karena Masyarakat Desa Seberaya tidak sanggup lagi menyediakan makanan Si Naga saudara Putri Hijau yang memiliki nafsu makan yang sangat besar. Mereka akhirnya dari Desa Seberaya menuju Delitua, konon katanya mereka pindah ke Delitua melalui jalur Gua Lau Pirik tempat mereka dilahirkan yang menurut cerita jika ke luar dari gua tersebut dapat sampai ke daerah Delitua lalu para pengikutnya di Delitua membangun benteng yang kuat sehingga negeri itu menjadi sangat makmur.

Kecantikan Puteri Hijau yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika didengar oleh Raja Aceh. Kemudian Sang Raja menginginkan Putri Hijau sehingga mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau. Utusan yang dikirim oleh Sang Raja ditolak oleh Putri Hijau. Hal ini membuat Raja Aceh menjadi murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya. Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut telah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan benteng pertahanan. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.

Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke Desa Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe, sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimun, Medan. Melihat situasi yang tak menguntungkan, Naga saudara Sang Puteri Hijau, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka.

Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga. Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing penceritanya. Cerita ini berdasarkan cerita versi Desa Seberaya. Kisah mengenai Putri Hijau memiliki beberapa versi sehingga keberadaan Putri Hijau yang sebenarnya tidak diketahui kebenarannya. Keberadaan Putri Hijau ini dapat diketahui dari peningalan-peninggalan yang masih ada sampai saat ini. Berdasarkan hasil wawancara dari tiga informan yang dilakukan di Desa Seberaya mengatakan dahulu masih banyak peninggalan-peninggalan Putri Hijau, seperti peralatan dapur dan peralatan-peralatan hidup mereka. Peralatan tersebut dahulunya berada di dalam gua Putri Hijau di dekat Lau Pirik, Desa Seberaya. Peninggalan itu dibawa oleh orang asing sehingga semua perlengkapan tersebut tidak ada yang tersisa, tetapi masyarakat mengakui bahwa mereka sempat melihat perlengkapan tersebut. Inilah yang menjadi bukti bahwa kebenaran mengenai keberadaan Putri Hijau tersebut berada di Desa Seberaya sebagai tempat kelahiran Putri Hijau dan saudaranya Nini Naga dan Nini Meriam. Menurut cerita masyarakat Seberaya Putri Hijau dan kedua saudaranya kembar tiga, tetapi yang lahir pertama adalah Nini Naga kemudian Nini Meriam, dan yang ketiga Putri Hijau.  Peningalan Putri hijau yang masih ada sampai saat ini di Desa Seberaya, yaitu :

 

Permandian Putri Hijau

Permandian Putri Hijau berada tidak jauh dari Gua Putri Hijau. Sebelum menuju ke Gua Putri Hijau, pendatang atau pengunjung harus singgah ke tempat ini untuk mencuci kaki, tangan, dan wajah sebagai syarat untuk bisa memasuki Gua Putri Hijau. Masyarakat Seberaya dan pengujung tidak bisa langsung menuju Gua tersebut apabila pengunjung memasuki Gua tersebut tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Sebagai tanda penyucian diri atau membersihkan diri sebelum memasuki gua Putri Hijau. Hal ini juga diyakini agar setiap orang yang datang ke Gua tersebut tetap dalam keaadan selamat dan memiliki sikap yang bersih dan sopan saat berkunjung ke tempat itu.

Air permandian ini sangat jernih dan bersih dan di sekitar permandian Putri Hijau di kelilingi tumbuhan kecil yang hampir menutupi permandian tersebut. Permandian itu dilengkapi dengan gayung oleh penjaga gua untuk para pendatang yang berkunjung ke gua Putri Hijau. Gayung tersebut digunakan para pendatang mencuci kaki. Selain itu, di pinggir bak permandian tersebut ada tempat untuk mencuci kaki. Menurut seorang informan di dalam bak permandian Putri Hijau tersebut ada mata air yang terus mengalir sehingga ketika musim kemarau tiba bak tersebut tetap terisi penuh. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Permandian Putri Hijau

(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)

 

Gua Putri Hijau

Kondisi gua tersebut saat ini sangat tidak terawat. Jalan menuju gua tersebut masih sangat sulit karena melewati jalan setapak yang sangat semak dan turunan. Pada saat itu, jalan turunan tersebut sedang longsor sehingga kami harus melewati kayu yang tumbang. Gua Putri Hijau ini berbentuk busur. Saat memasuki gua, keadaan tanah agak menurun, tidak merata di luar gua lebih tinggi  daripada di dalam gua. Jika ingin memasuki Gua Putri Hijau ini, pendatang harus tunduk atau jongkok. Tinggi gua tersebut kurang lebih 1 m. Kedalaman gua tersebut kira-kira 1,5 meter. Usia dari gua tersebut tidak diketahui oleh masyarakat Seberaya dan penjaga gua itu sendiri pun. Kondisi bagian dalam gua tersebut terlihat bersih dan di bagian dalam gua tersebut terlihat dua lobang, yakni pada bagian atas dan pada bagian bawah di sisi kiri gua. Bagian dalam gua tersebut terdapat rokok yang dihidupkan oleh penjaga gua tersebut. Saat berkunjung ke sana kami tidak perlu membawa apa pun “Yang penting saat menuju dan memasuki gua tersebut tetap bersikap sopan” kata penjaga gua tersebut.

Selain kepentingan dalam penelitian para pengunjung datang ke Gua Putri Hijau untuk menyampaikan permohonan. Pengunjung yang datang untuk menyampaikan permohonan biasanya membawa rokok, daun sirih, dan jeruk purut dan meletakkan persembahan tersebut di tengah gua. Kondisi di luar gua  bersih karena dibersihkan oleh penjaga gua tersebut. Lahan yang di sekitar gua tersebut masih kosong. Menurut seorang informan yang diwawancarai masyarakat Desa Seberaya pun sampai saat ini masih mengakui kemistisan dari Lau Pirik tempat gua Putri Hijau tersebut. Sehingga sebelum kami menuju ke sana informan tersebut tidak mengizinkan kami berkunjung ke gua tersebut karena “Masyarakat Desa Seberaya pun tidak berani datang ke sana,” katanya “kecuali ada seorang bapak yang dahulunya sering datang ke gua tersebut”. Bahkan dahulunya pernah pengunjung datang ke gua tersebut mengambil foto dari gua tersebut, tetapi foto gua tersebut semuanya kabur. Kemistisan dari gua Lau Pirik ini masih diakui oleh masyarakat Desa Seberaya sampai saat ini. Informan tersebut menyarankan kami untuk mewawancarai bapak yang menjaga gua tersebut dan jangan mendatangi gua tersebut. Bapak yang menjaga gua tersebut berprofesi melukis sehingga ada beberapa lukisan Putri Hijau yang dia lukis, tetapi gua Putri Hijau belum pernah dia lukis sehingga kami kesulitan untuk mendapatkan data. Kemudian bapak tersebut menyuruh anaknya yang membawa kami ke gua tersebut.

Gambar 2 Gua Putri Hijau

(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)

 

Lubang Bawah Sisi Kiri

Menurut penjaga goa Putri Hijau tersebut lobang yang berada di pojok kiri bawah tersebut adalah lubang Nini Naga. Dekat lubang tersebut terdapat puntungan rokok karena setiap kali penjaga gua tersebut datang ke gua diletakkan rokok yang telah ia hidupkan. Rokok tersebut bermakna sapaan dan ucapan hormat kepada Nini Naga, Nini Meriam, dan Putri Hijau. Berdasarkan cerita penjaga gua tersebut lubang ini dapat tembus ke tempat permainan mereka di Seberaya Julu yang jaraknya 2 km, tetapi menurut beberapa cerita lain lubang tersebut dapat menembus ke Delitua.

Gambar 3. Lubang Bawah Sisi Kiri

(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)

 

Lubang Sisi Atas

Lubang sisi atas terletak di dekat pintu masuk gua. Lubang ini adalah lubang untuk ke luarnya Nini Meriam menuju tempat permainan di Desa Siberaya Julu. Apabila lubang tersebut di terawang, batas tembusan dari lubang itu tidak terliat. Dinding gua tersebut campuran batu, tanah, dan pasir.

Gambar 4. Lubang Sisi Atas

(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)

 

Tempat Permainan Putri Hijau

Tempat permainan Putri Hijau berada di Desa Seberaya Julu. Lokasi permainan Puti Hijau mudah untuk ditemukan karena letaknya berada di pinggir pasar dan sudah dibagun Monumen Putri Hijau oleh pemerintah setempat. Berikut gambar monumen Putri Hijau tersebut:

Setelah memasuki monumen tersebut, para pengunjung akan menemukan tempat permainan Putri Hijau  yang jaraknya kurang lebih 20 m dari pasar utama. Letak tempat permainan Putri Hijau berada di bawah pohon jabi-jabi ’pohon bertingin’. Pohon jabi-jabi  tersebut dianggap sakti oleh masyarakat Seberaya sehingga tanah yang ada di sekitar tempat permainan Putri Hijau dan kedua saudaranya itu tidak boleh dikelola oleh masyarakat Seberaya karena tidak mendapatkan hasil yang baik dari tanah tersebut. Tanah yang di sekitar Permainan Putri Hijau tersebut sekarang dikelola oleh para pendatang.

Kondisi tempat permainan Putri hijau saat ini sudah banyak mengalami perubahan. Pohon jabi-jabi yang dahulunya dijadikan sebagai tempatnya berteduh sudah tidak ada lagi, tetapi ditanam dengan beberapa pohon jabi-jabi yang baru. Bagian bawah pohon tersebut dibangun sebuah pondok oleh para pendatang dan penduduk Seberaya yang dahulunya meminta doa di tempat permainan Putri Hijau tersebut dan doanya terkabulkan. Pondok permainan Putri Hijau tersebut kurang terawat karena pohon yang di atas atap pondok tersebut sudah sampai ke atap pondok. Cat pondok tersebut sudah pudar, dan kain hijau yang menutupi pondok sudah mulai lapuk. Inilah kondisi pondok permainan Putri Hijau saat ini. Berikut kondisi tempat permainan Putri Hijau saat ini di Desa Seberaya.

Gambar 6. Pondok Putri Hijau

(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)

Selanjutnya di dalam pondok tersebut dibangun sebuah monumen Putri Hujau sebagai tempat persembahan para pengunjung. Para pengunjung dan beberapa masyarakat Seberaya yang datang memohon doa ke tempat tersebut biasanya membawa daun sirih, telur ayam kampung, air, jeruk purut, rokok, kelapa muda, dan bunga. Sebagai bentuk penghormatan kepada Putri Hijau, Nini Meriam, dan Nini Naga. Monumen ini dahulunya belum dibangun dari keramik, tetapi saat ini monumen tersebut sudah di bangun dari keramik dan monumen tersebut berbentuk persegi panjang yang ditutupi dengan kaca di bagian kiri, kanan, atas, dan bawah. Bagian tengah monumen tersebut juga dibentangkan kain berwarna putih (kain kapan). Sehingga tidak sembarangan pengunjung dapat meletakkan sesajen ke dalam kotak tersebut. Berikut monumen Putri Hijau saat ini di Desa Seberaya.

Gambar 7. Monumen Putri Hiju

(Sumber: dokumentasi Sinaga dan Sembiring, 2020)

 

KESIMPULAN

Melalui hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Seberaya, Kecamatan Tiga Panah, kabupaten Karo awalnya memiliki nama serayan ‘kelompok kerja’. Seiring berjalannya waktu berubah menjadi Seberaya. Di desa Seberaya inilah peninggalan-peninggan Putri Hijau ditemukan dan ada beberapa peninggalan yang masih dilestariakan sampai saat ini oleh masyarakat Seberaya. Peninggalan-peninggalan tersebut memilki fungsi yang berbeda-beda. Lau Pirik ‘permandian Putri Hijau’ sebagai tempat untuk membersihkan dan menyucikan tubuh. Gua Putri Hijau sebagai tempat kelahiran Putri Hijau dan saudaranya Nini Naga dan Nini Meriam. Gua tersebut saat ini digunakan oleh para pengunjung dam beberapa masyarakat Seberaya sebagi tempat untuk meminta kesehatan, kesembuhan dari penyakit, kesuksesan, rejeki, dan jodoh. Permainan Putri Hijau sebagai tempat menyampaikan ucapan terima kasih dengan memberi sesajen atau persembahan atas terkabulnya permintaan dan permohonan.

Masyarakat masih tetap mempertahankan tradisi yang ada Dengan tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mengunjungi peninggalan Putri Hijau. Nilai budaya yang ditanamkan adalah budaya untuk berdoa atau meminta sesuatu. Sikap suci, jujur, benar, dan bersih adalah syarat utama yang harus dilakukan sebelum berdoa atau memohon sesuatu. Berdoa dilakukan dengan mengasingkan diri dari keramaian, yakni merujuk tempat yang disebut gua. Setelah permintaan itu diterima tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih sebagai balasan dari permohonan yang sudah diterima. Hal ini menyatakan bahwa sikap masyarakat Seberaya yang bersih dan sopan serta sikap yang tahu berterima kasih sudah ditanamkan melalui peninggalan-peninggalan Putri Hijau yang ada di Seberaya.

Kondisi semua peninggalan Putri Hijau tersebut sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah sekitar karena kondisi dari peninggalan tersebut kurang terawat. Hal ini menyebabkan hilangnya beberapa peninggalan dari peninggalan Putri Hijau tersebut. Pandangan beberapa masyarakat Seberaya mengenai peninggalan-peninggalan Putri Hijau tersebut sangat perlu dilestarikan sebagai peninggalan sejarah, tetapi ada beberapa masyarakat yang menganggap hal tersebut tidak perlu dilestarikan karena peninggalan tersebut dipandang bersifat mistik. Apalagi seiring dengan perkembangan zaman yang semua orang telah memiliki agama dan kepercayaan masing-masing.

 

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, Pidia. 2012. Legenda Putri Hijau Di Tanah Deli. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Timur.

 

Azhari, dan Syafri. 2009. Jejak Sejarah dan Kebudayaan Melayu di Sumatera Utara. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Sumut.

 

Danandjaja, James. 1994. Antropologi Psikologi. Teori, metode dan sejarah Perkembangannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Endraswara. 2009. Metodologi Penelitan Folklor. Yogyakarta: Media Pressindo.

Hoffman, Martin. dkk. 1994 Developmental Psychology Today. 6th Edition. New York: Mc Graw Hill.

 

Prinst, SH, Darwin. 2002. Kamus Karo Indonesia. Medan : Bina Media.

 

Putro, Brahma. 1981. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Perguruan Nasional Dharma Putra.

 

Putra, Hermansyah. 2010. Cerita Rakyat Putri Hijau Versi Masyarakat Karo di Suka Nalu. Medan : Unimed.

 

Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Website

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/benteng-putri-hijau-berdasarkan-data-sejarah-dan-arkeologis/ diakses pada tanggal 30 Januari 2020 pukul 13:10 WIB.

http://agustinahelena.blogspot.com/2017/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html diakses pada tanggal 31 Januari 2020 pukul 14:10 WIB.

 

 

Narasumber

 

1.     Nama: R. Karo Sekali

Tempat tinggal: Desa Seberaya

Pendidikan: S-1

Usia: 65 tahun

 

2.     Nama: T. Br Sembiring

Tempat tinggal: Desa Seberaya

Pendidikan: S-1

Usia: 25 tahun

 

3.     Nama: M. Karo Sekali

Tempat Tinggal: Desa Seberaya

Pendidikan: SMA

Usia: 28 tahun