EKSISTENSI LELUHUR
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT NIAS
ANCESTOR EXISTENCE IN THE LIFE OF NIAS SOCIETY
Ketut Wiradnyana
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jalan Seroja Raya Gang Arkeologi No. 1, Medan Tuntungan, Medan
ketut_wiradnyana@yahoo.com
Reception date : 25/01/2020 |
Last Revision: 11/11/2020 |
Acceptation date: 12/11/2020 |
Published: 25/11/2020 |
To Cite this article : Wiradnyana, Ketut. 2020. “EKSISTENSI LELUHUR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT NIAS.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 23(2). Medan, Indonesia, 82-92. https://doi.org/10.24832/bas.v23i1.412. |
©2020 Berkala Arkeologi Sangkhakala –This is an open access article under the CC BY-NC-SA license |
Abstract
The Nias community adheres to patrilineal kinship patterns system, which in various aspects of their culture are related to male bloodlines. The patrilineal concept is closely related to the idea of worshiping ancestors. Ancestor worship is one of belief in Megalithic culture and in many communities this belief affecting various aspects of cultural community life. In this regard, Nias culture can be recognized through understanding the existence of ancestors in Nias people's lives. This study also describing the relation of ancestor existence to economic and social aspects in Nias culture. Descriptive-qualitative approach is used to examining archeological and ethnographic data. The conclusion of this study indicates that the existence of ancestors is closely related to patrilineal and power.
Keywords: ancestors; folklore; social life; religion; identity
Abstrak
Masyarakat Nias menganut pola kekerabatan patrilineal, yang dalam berbagai aspek kebudayaannya sangat terkait dengan konsepsi pemujaan leluhur. Konsepsi yang sudah dikenal ini berkaitan dengan berbagai kehidupan. Berkenaan dengan itu maka upaya memahami kebudayaan Nias melalui pemahaman tentang eksistensi leluhur dalam kehidupan masyarakat. Bahasan ini berkaitan dengan eksistensi leluhur yang terkait juga dengan aspek ekonomi dan sosial. Adapun pendekatannya bersifat kualitatif dengan mendeskripsikan hasil-hasil penelitian arkeologis dan etnografis. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa eksistensi leluhur sangat terkait dengan patrilineal dan kekuasaan.
Kata kunci: leluhur; folklor; kehidupan sosial; religi; identitas
PENDAHULUAN
Leluhur merupakan identitas tradisional, yang terkait dengan genealogis maupun matrilineal. Identitas tradisional tersebut berlaku dari masa lalu hingga masa kini. Dalam kebudayaan universal, konsepsi tentang leluhur itu lebih banyak berkembang pada tatanan patrilineal, sehingga konsepsi itu mengacu pada sosok laki-laki. Metode untuk mengenalkan konsep itu dilakukan dengan lisan ataupun tulisan (Wiradnyana 2010, 221). Tradisi lisan merupakan konsepsi yang paling sederhana untuk dipraktekkan, sehingga kerap bentuknya menjadi sebuah folklor lisan dan tulisan, seperti yang berkembang dalam berbagai media seperti batu, logam, daun, bambu, tulang dan lainnya yang kerap ditemukan pada budaya materi masyarakat tradisional.
Konsep leluhur dalam masyarakat Nias ditemukan dalam folklor lisan, yang tidak hanya berupa tuturan atau istilah dalam kaitannya dengan kekerabatan tetapi juga berkaitan dengan aspek religi. Tuturan dalam kaitannya dengan kekerabatan itu memiliki keterbatasan, yaitu genealogi secara vertikal hanya dapat diingat dan dikenali dalam empat atau lima generasi sebelumnya, sedangkan dalam konteks horisontal hanya dapat diidentifikasi sebagai kerabat hingga sampai pada tiga tingkatan kekerabatan. Berkenaan dengan itu maka genealogi secara vertikal, kerap mengaitkan leluhur itu dengan tokoh-tokoh yang diingat dalam folklor lisan, yang asal muasalnya tak dapat dibayangkan dalam konteks geografi sehingga akhirnya konsep dunia lain (dualisme) menjadi konsep tempat tinggal awal para leluhur. Ketika konsep dualisme itu diterapkan maka dengan sendirinya konsep religi ada di dalamnya, dan folklor leluhur masyarakat Nias menjadi bagian dari konsep religi. Folklor lisan itu selalu diterapkan dalam berbagai prosesi upacara sehingga folklor itu sendiri mengalami perubahan setiap waktu di dalam kelompok masyarakat tertentu, sehingga folklor lisan memiliki perbedaan satu dengan lainnya (Wiradnyana 2017, 100–103). Perbedaan itu, berkaitan dengan fungsi folklor secara sosial yaitu mengikat kelompok kerabat dan melegitimasi kekuasaan kelompok atau individu khususnya kaum pria (Wiradnyana 2010, 206–24).
Gambar 1. Panil dan juga lapik patung leluhur (adu zatua)
di dalam rumah adat untuk pemujan leluhur (Sumber IRD 2007)
Keberadaan leluhur masyarakat Nias juga dapat dikenali dari tinggalan arkeologisnya. Penelitian arkeologis di situs Muzoi, di situs Gua Togi Ndrawa dan di situs Togi Bogi di Kota Gunung Sitoli, menemukan berbagai benda budaya yang mencirikan teknologi Paleolitik dan budaya Hoabinh, serta dalam kajian etnografi menunjukkan budaya Megalitik Nias terkait erat dengan budaya Austronesia terutama Dong Son. Berkenaan dengan itu maka leluhur orang Nias itu mulai dapat diidentifikasi atas dasar folklor dan atas dasar data arkeologis. Data leluhur orang Nias juga telah dikenali atas dasar DNA (deoxyribonucleic acid), sehingga pemahaman konsepsi leluhur itu dapat didasarkan atas aspek-aspek budaya dan geneanologis. Berkaitan dengan peran konsepsi leluhur bagi masyarakat Nias yang melingkupi berbagai aspek kehidupan baik itu sosial, religi, teknologi dan aspek lainnya maka dapat dikatakan bahwa konsepsi itu sangat berperan dalam kehidupan masyarakat Nias.
Luasnya peran eksistensi leluhur dalam kehidupan masyarakat tradisional, sehingga sangat menarik untuk diuraikan. Berkenaan dengan itu permasalahan yang diidentifikasi dalam uraian ini menyangkut siapa leluhur orang Nias dan bagaimana konsep leluhur itu diterapkan dalam kehidupan sosial masyarakat Nias.
Untuk itu, aspek yang menyangkut keberadaan leluhur dalam folklor lisan masyarakat Nias, data arkeologi ataupun data genetik menjadi data primer dari pembahasan untuk mengidentifikasi leluhur masyarakat Nias. Sejalan dengan itu data etnografi menjadi acuan dalam upaya mengenali peran konsepsi leluhur sebagai latar belakang kehidupan masyarakat Nias.
Konsep leluhur merupakan sebuah simbol genealogis yang dihasilkan dari kesepakatan seluruh masyarakat. Konsepsi leluhur sebagai sebuah simbol dihasilkan dari berbagai interaksi masyarakat. Setiap interaksi masyarakat khususnya yang terkait dengan genealogi merupakan unsur kehidupan yang juga sebagai unsur kebudayaan. Keterkaitan antarunsur tersebut dilengkapi dengan mitos-mitos yang operasinalnya selalu dalam unsur budaya lainnya.
Leluhur sebagai sebuah simbol dimaknai sebagai genealogis tertua dan dianggap memiliki kebenaran dalam setiap unsur yang ada pada masyarakat. Oleh karena itu, konsepsi leluhur pada dasarnya mengkomunikasikan tentang seseorang ataupun sesuatu. Hal itu terserap dan menjadi bagian unsur budaya lainnya atau terlebur seperti religi, sosial, ekonomi dan lainnya (Koentjaraningrat 1990, 175). Artinya sebuah simbol yang sama dapat digunakan dalam berbagai konteks, termasuk dalam konteks politik, religi atau konteks lainnya (Abdullah 2006, 240–41; Geertz 1992, 33–102). Dengan luasnya peran konsep leluhur itu maka konsep tersebut menjadi sangat fungsional, sehingga setiap anggota kelompok masyarakat akan melaksanakan tugas dan kewajibannya secara terus-menerus sehingga perilaku atau tindakan sosial yang dilaksanakan itu dapat dibenarkan oleh masyarakatnya.
METODE
Adapun metode yang dioperasionalkan dalam upaya pengungkapan berbagai permasalahan yang diuraikan tersebut adalah deskriptif-kualitatif. Hal tersebut digunakan dalam upaya pengungkapan berbagai aspek yang ada pada data arkeologis, etnografis dan data lainnya serta mengungkapkan peran konsepsi leluhur pada masyarakat Nias. Metode tersebut dilakukan dengan observasi atas kehidupan masyarakat Nias, hasil penelitian arkeologis, dan hasil penelitian lainnya. Keseluruhan data dimaksud dideskripsi selain dilakukan wawancara terbuka. Studi kepustakaan juga dilakukan dalam upaya penerapan metode eksplanatif. Analisis yang dilakukan sebelum data dinterprestasikan yaitu dengan mengkualitatifkan dan mengkomparasikannya. Metode kualitatif dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai pola makna pada tingkahlaku masyarakat. Sedangkan metode komparatif dioperasionalkan dengan cara membandingkan data arkeologis pada masa dan wilayah yang relatif dekat satu dengan lainnya dan juga pada budaya yang sama atau setingkat. Hal tersebut akan memudahkan memahami aspek-aspek pada objek dan perilaku masyarakat Nias.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Folklor Lisan Leluhur Orang Nias
Folklor lisan leluhur orang Nias itu ada beberapa versi, namun memiliki kesamaan yaitu diturunkan pertama kali dari langit di Sifalago, Boronadu, Kecamatan Gomo, dan tokoh yang bernama Hia diturunkan di Nias Selatan yaitu di Sifalago, Boronadu Gomo, selain itu tokoh Gozo dan Hulu selalu muncul (Wiradnyana 2010, 166–68). Adapun folklor lisan dalam berbagai versi yang berkaitan dengan leluhur orang Nias adalah sebagai berikut: Hia, diturunkan di bagian selatan Pulau Nias; dan Gozo, diturunkan di bagian utara Pulau Nias; dan Hulu, diturunkan di bagian tengah Pulau Nias. Folklor lainnya menyebutkan bahwa: Hia turun dari langit di Boronadu, Kecamatan Gomo. Tokoh Hia tersebut merupakan leluhur dari Mado Telaumbanua, Gulo, Mendrofa dan lainnya; Tokoh Gozo diturunkan di baratlaut Pulau Nias yaitu di Tuhemberua dan menjadi leluhur Mado Baeha; Daeli diturunkan di Tolamaera dan menjadi leluhur Mado Gea, Daeli, Larosa dan lainnya; Hulu diturunkan di Alasa dan menjadi leluhur Mado Ndrundru, Bu’ulolo. Hulu dan lainnya.
Gambar 2. Monumen turunnya leluhur Nias di Boronadu, Sifalago, Gomo
(sumber: IRD 2007)
Folklor lainnya menyebutkan pembagian wilayah menurut fondrako (prosesi upacara di antaranya berkaitan dengan penegakkan hukum adat): Hia, wilayahnya di Nias bagian Selatan; Gozo wilayahnya di Idanoi hingga di ujung Nias bagian utara; Daeli wilayahnya di bagian selatan berbatasan dengan wilayah Hia sampai dengan Idanoi Ndrawa, dan Hulu wilayahnya di Lolombuyuwu.
Di wilayah Boronadu, folklor lisannya menyebutkan bahwa tokoh pertama yang diturunkan Sirao di Sifalago, Boronadu adalah Hia. Dalam folklor lainnya disebutkan bahwa: Ho, merupakan leluhur Hia diturunkan di Lahemo, dan Hia memiliki saudara yaitu Gido
Faogoli Harefa menyebutkan bahwa Sirao merupakan leluhur yang diturunkan pertama di Nias kemudian diikuti oleh keturunanya yaitu Silogu yang bertempat tinggal di Mandrehe, cucunya yang bernama Lari Sumola tinggal di DAS Idanoi yaitu di Luaha Laraga dan kemudian di Tola Maera dan menjadi cikal bakal Mado (gabungan dari keluarga luas patrilineal) Zebua (marga zebua, zai, zega dan lainnya) (Harefa 1929, 12).
Data Arkeologis dan DNA
Awal kebudayaan di Pulau Nias pada periode Paleolitik. Babakan masa Paleolitik itu kerap dikaitkan dengan teknologi alat batu paling sederhana serta terkait dengan cara hidup berburu dan pengumpulkan makanan yang paling sederhana. Situs Paleolitik di Pulau Nias, ditemukan di DAS Muzoi dan di Sungai Sinoto. Keberadaan situs itu ditandai dengan temuan peralatan masif dan non masif di sungai dan tebingnya. Adapun alat batu tersebut diidentifikasi sebagai: kapak genggam, kapak perimbas, kapak penetak, serpih, kerakal yang dipangkas, serut samping, dan batu pukul. Pada kapak perimbas yang berbahan kerakal tersebut teknik pemangkasannya sangat sederhana dengan tajaman bifasial berbentuk cembung. Kalau alat batu dimaksud dibandingkan dengan morfologi dan teknologi kapak batu dari Togi Ndrawa maka alat batu dari masa Paleolitik di DAS Muzoi dan di Sungai Sinoto menunjukkan teknologi yang lebih tua dari 12.000 BP (Before Present) dari pendukung budaya Australomelanesid (?) di Situs Togi Ndrawa.
Pada 12.000 BP (Before Present) diketahui telah ada aktivitas manusia di situs Gua Togi Ndrawa. Tinggalannya mengindikasikan adanya kelompok pendukung budaya Hoabinh yang cukup intensif pernah beraktivitas di gua dimaksud. Aktivitas dimaksud berlangsung paling tidak dari 12170 ± 400 BP hingga 850 ± 90 BP. Adapun artefak dimaksud teridentifikasi sebagai alat serpih, pelandas/pemukul, lancipan, spatula fragmen gerabah. Atas morfologi dan teknologi artefak batu dimaksud diindikasikan bahwa manusia yang hidup di Gua Togi Ndrawa berbudaya Hoabinh dengan ras Australomelanesid. Gua lainnya yang memiliki tinggalan arkeologis yaitu Gua Togi Bogi. Gua ini menyimpan berbagai alat serpih, pelandas/ pemukul. Selain itu juga ditemukan di situs ini fragmen ekofaktual (moluska) dan fragmen gerabah.
Masa Neolitik di Nias hingga saat ini datanya masih sangat terbatas. Adapaun data arkeologis yang mendominasi di wilayah itu adalah tradisi Megalitik yang berciri Dong Son. Hal tersebut didasarkan atas kronologi budaya Megalitik yang relatif muda sekitar kurang dari 1000 BP, dan banyaknya pahatan benda logam pada tinggalan megalitik dan rumah adat yang tersebar di seluruh wilayah Pulau Nias. Pendukung budaya Megalitik umumnya adalah dari penutur bahasa Austronesia dengan ras Mongolid, seperti masyarakat Nias sekarang ini.
Sampel DNA yang diambil di Nias Selatan dari kelompok siulu yang berasal dari marga Fau, dan Sarumaha. Sampel yang diambil di Nias Utara yang terkait dengan leluhur Hia, Ho, Daeli, Laoya, Zebua, Hulu, Zalukhu dan Gozo. Melalui hasil analisis keragaman genetik yang ada di Asia Tenggara menunjukkan kesamaan dengan keragaman genetik di seluruh dunia. Keragaman genetik manusia di Nias sangat kurang, yang mungkin akibat dari terisolasinya pulau juga diakibatkan oleh cara kehidupan sosial yang patrilokal atau juga karena perdagangan budak. Genetik orang Nias sama dengan genetik penutur Austronesia yang berasal dari Taiwan melalui Filipina (Oven 2010, 1350, 1359).
Leluhur Orang Nias
Data arkeologis menunjukkan bahwa telah ada penghuni di Pulau Nias bagian utara, yaitu di DAS Muzoi sebelum 12.000 BP (Before Present). Pada masa selanjutnya yaitu Mesolitik sekitar 12.000 BP di ketahui adanya hunian yang berciri budaya Hoabinh dengan ras Australomelanesid di Gua Togi Ndrawa dan Togi Bogi. Hunian di kedua gua tersebut berlangsung cukup intens dari periode Mesolitik hingga memasuki masa sejarah yaitu antara 950 ± 110 BP hingga 850 ± 90 BP (Wiradnyana 2010, 25). Aktivitas dari budaya Megalitik pada periode sejarah juga diketahui dari hasil analisis radiokarbon pada sampel arang di Boronadu yang menunjukkan kisaran 576 ± 30 BP yaitu berkisar 274 tahun dari hunian di Togi Ndrawa menggambarkan bahwa Boronadu baru dihuni sekitar 300 tahun setelah hunian di Togi Ndrawa. Seperti diungkapkan dalam folklor bahwa Boronadu merupakan tanah awal hunian leluhur orang Nias. Folklore tersebut mengisyaratkan adanya migrasi yang disertai dengan budaya, teknologi, mata pencaharian dan religi yang lebih maju serta lebih kompleks dibandingkan budaya sebelumnya. Selain itu folklor itu juga menggambarkan proses migrasi dan struktur dalam masyarakat, organisasi sosial. Aspek lain yang terpenting adalah penggunaan logam dan dikenalnya budidaya padi yang mengisyaratkan terjadinya migrasi pada periode masa logam (Wiradnyana 2010, 164–89).
Mengingat hasil analisis DNA masyarakat Nias yang sekarang, tidak menunjukkan adanya ciri ras pra-mongolid, maka diduga kelompok pendukung budaya Hoabinh hanya sedikit sekali berbaur dengan kelompok migrasi penutur Austronesia. Hal tersebut didasarkan atas adanya perbedaan budaya materi dari bentuk rumah adat, bahasa dan kosmologi atara masyarakat Nias Utara dengan Nias Selatan (Wiradnyana 2010, 146; Hammerle 2001, 49). Kemungkinan pembawa DNA pra-mongolid tersingkir akibat konflik dengan pendatang yang baru (penutur Austronesia) atau juga keluar dari Nias akibat adanya perdagangan budak. Jadi masyarakat Pulau Nias sekarang ini adalah para imigran yang datang pada kisaran Milenium kedua Masehi ke Pulau Nias dan menyebar dari Selatan ke Utara Pulau.
Berkaitan dengan aspek organisasi sosial tampaknnya folklor lisan yang terurai di atas memiliki periode perkembangan yang berbeda. Bentuk sederhana dari folklor tersebut dapat dibagi dua yaitu folklor yang lebih awal yang menyebutkan bahwa Sirao menurunkan Hia di Sifalago, Boronadu, Gomo. Periode selanjutnya yaitu folklor yang hanya menyebutkan adanya leluhur Hia, Gozo dan Hulu. Sedangkan folklor yang terakhir yaitu yang menyebutkan leluhur lainnya di luar ketiga tokoh dimaksud. Adapun alasan pembagian periode berkembangnya folklor dimaksud adalah kesederhanaan folklor, yaitu hanya satu tokoh yang diturunkan di Boronadu yaitu Hia. Artinya dalam sistem kekuasaan masyarakat Nias hanya mengenal satu tokoh yang paling tinggi, sehingga dalam sistem organisasi sosial hanya mengenal satu balo siulu, hanya satu omo hada, dan sesuai dengan folklor datangnya leluhur Nias yang menyebutkan bahwa “Ada seorang perempuan yang memiliki seorang anak terdampar perahunya di muara Susua, terus kedua orang itu menyusuri sungai hingga ke hulu dan sampailah dia di daerah Boronadu, Gomo....” (Hammerle 2008, 81). Folklor lisan masyarakat Nias juga disebutkan bahwa Boronadu sebagai pusat dari perkampungan yang ada di Nias.
Gambar 3. Bangunan megalitik di Bawomataluo, sebagai simbol status sosial
(Sumber: Balai Arkeologi Sumatera Utara 2000)
Adanya leluhur orang Nias yang lebih dari satu mengakibatkan adanya pembangunan pusat hunian yang baru. Hunian dan pemimpinnya (big man) yang baru tersebut menjadi cikal bakal dari perkampungan dan marga. Hal itu terjadi akibat adanya faktor internal dan eksternal, yang mengakibatkan terbentuknya struktur masyarakat yang baru, dan pada akhirnya menjadikan fungsi organisasi di dalam masyarakat yang baru tersebut disesuaikan dengan kondisinya yang baru. Perubahan folklor lisan berkaitan dengan berkembangnya leluhur orang Nias itu terjadi karena adanya perubahan struktur dan fungsi di dalam masyarakat dalam upaya menyeimbangkan kondisi masyarakatnya (Wiradnyana 2015,95). Selain itu pengembangan folklor leluhur Nias itu juga tidak lepas dari adanya kelompok masyarakat yang berbeda budaya dan ras dengan kelompok imigran penutur bahasa Austronesia. Sehingga dimungkinkan kelompok yang merupakan pembauran antara kedua ras tersebut membangun sistem kekuasaan tersendiri atau juga kelompok imigran penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi ke bagian lain membangun sistem organisasi sosial yang baru yang diikuti dengan pembuatan folklor lisan.
Jadi masyarakat Nias yang sekarang itu memiliki leluhur yang merupakan penutur bahasa Austronesia dengan ras Mongolid yang bermigrasi dari Taiwan ke Filipina terus ke bagian pesisir timur Pulau Nias, yaitu ke muara Sungai Susua untuk kemudian ke arah hulu yaitu ke Boronadu, Gomo. Dari Boronadu ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Pulau Nias.
Eksistensi Leluhur Pada Masyarat Nias Saat Ini
Religi Dan Hukum Adat
Bagi masyarakat tradisional, eksistensi leluhur merupakan bagian dari kehidupan keseharian yang melingkupi seluruh kehidupan masyarakat. Berkenaan dengan itu, eksistensi leluhur memiliki peran yang sangat penting dalam seluruh kehidupan bermasyarakat. Konsepsi leluhur tidak hanya menyangkut aspek genealogi semata tetapi juga organisasi sosial, struktur sosial, religi, mata pencaharian dan juga aspek identitas. Dalam kaitannya dengan religi, leluhur merupakan bagian dari prosesi upacara, mengingat keberadaan kelompok dengan kebudayaannya adalah berkat dari leluhur. Konsepsi leluhur berkaitan erat dengan konsep patrilineal sehingga menjadi identitas dari kelompok tertentu. Karena leluhur itu memiliki berbagai pengetahuan yang sangat penting dalam masyarakat sehingga dihormati maka dalam kematiannyapun prosesinya akan berbeda, begitu juga dalam dunia arwah rohnya juga akan dihormati oleh roh-roh lainnya.
Konsepsi ini tidak membedakan status sosial yang masih hidup dengan statusnya ketika sudah meninggal. Selain itu adanya hubungan yang kuat antara roh orang yang meninggal dengan sanak saudara yang ditinggalkan maka hubungan itu akan terus dijaga. Hal itu juga terkait dengan adanya ide bahwa si mati akan memberlakukan sanak saudara yang masih hidup dan begitu sebaliknya. Penghormatan terhadap leluhur juga bagian dari upaya mendapatkan perhatian dari leluhur (resiprositas) dan sangat mungkin merupakan bagian dari upaya untuk mendapatkan kualitas-kualitas seorang leluhur, yang benar-benar terkait dengan genealogisnya (Sellato 2006, 7). Penghormatan terhadap leluhur juga dapat dilihat dari sistem pemberian nama bagi bapak yang telah memiliki anak, yaitu dengan merubah nama panggilan bapak tersebut dengan gelar seperti Ama Budi misalnya, yang berarti bapaknya si Budi. Hal tersebut selain berasosiasi dengan struktur sosial (senioritas) juga berkaitan dengan aspek genealogis (bapak-anak) dan identitas (mado). Berkenaan dengan itu aspek penghormatan terhadap leluhur itu akan terus berlanjut dalam koridor religi, mengingat sangat fungsional di dalam kehidupan masyarakat Nias yaitu sebagai upaya melegitimasi struktur sosial, status sosial di antara keluarga batih dan juga keluarga luas, yaitu mampu memberikan keturunan dan juga merupakan bentuk dari status sosial di lingkungan masyarakat.
Gambar 4. Keterampilan kemaritiman yang berkaitan dengan legalitas struktur sosial
(sumber: Balar Sumut 2000)
Dalam upaya melegalkan aspek-aspek hukum adat maka ada dua cara yang dilakukan masyarakat Nias yaitu melalui folklor lisan dan rangkaian upacara. Sejalan dengan itu disusunlah berbagai perangkat/lembaga yang dapat menjalankan seluruh fungsi ketetapan-ketetapan (aturan) yang diturunkan. Bentuknya berupa sistem lembaga yang berkaitan dengan pemerintahan dan adat (Wiradnyana 2010,223). Hal tersebut menggambarkan bahwa aspek-aspek pemerintahan berbeda dengan aspek adat. Sehingga penyusunan aturannyapun akan berbeda. Sistem pemerintahan disusun dan diatur di rumah raja (omo hada) sedangkan sistem dan pusat dalam menjalankan adat disusun dan dijalankan di Balai Adat.
Masyarakat Nias memiliki konsep hukum yang keberlangsungan penerapannya telah cukup lama dan selalu dilaksanakan dalam kehidupan dari masa ke masa. Hal tersebut merupakan cerminan keinginan masyarakat Nias untuk hidup dengan teratur yang sesuai dengan norma dan nilai budaya yang berkembang di masyarakat. Kearifan lain yang tergambar pada aktivitas budaya khususnya aspek hukum pada masyarakat Nias yaitu adanya prosesi fondrako yaitu pembaharuan aspek-aspek hukum dengan selalu menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Nias dalam aspek hukum tersebut merupakan salah satu bentuk kearifan lokal (Wiradnyana 2013,77). Sebuah folklor yang menyangkut leluhur masyarakat Nias juga di dalamnya memuat berbagai aturan adat dan pemerintahan, sehingga apa yang menjadi aturan yang diterapkan oleh penguasa merupakan bagian dari aturan yang diterapkan oleh leluhur. Jadi berbagai aturan itu telah mendapatkan legitimasi dari leluhur sehingga harus dipatuhi. Begitu juga dengan sistem struktur sosial yang ada, menunjukkan bahwa penguasa adalah keturunan dari leluhur yang merupakan bangsawan dan pertama kali turun untuk bertempat tinggal di Pulau Nias. berkenaan dengan itu maka pemimpin tertinggi (penguasa) mendapatkan kekuasan yang setingkat dengan leluhur dan berlaku mutlak.
Terjadinya perubahan pada berbagai aspek di kehidupan masyarakat Nias, baik itu menyangkut lingkungannya, norma sosial dan tata nilai, memerlukan seperangkat hukum yang adaktif sebagai landasannya. Konsep hukum itu haruslah berakar dari strategi adaptasi masyarakatnya jauh sebelum masa kini. Norma hukum yang disertai sanksi merupakan bentuk hukum yang cukup lengkap. Keteraturan dalam kehidupan masyarakat sangat tergantung pada eksistensi organisasi sosial yang difungsikan dalam kaitannya dengan pemerintahan dan adat. Sedangkan keberadaan nilai budaya pada konsep tersebut tidak banyak ditemukan pada masyarakat periode budaya masa Neolitik di tempat dan masyarakat lainnya di Indonesia. Kelebihan itu semakin sempurna dengan adanya upaya untuk selalu memperbaharui hukum tersebut, yaitu dengan konsepsi fondrako. Konsepsi itu merupakan upaya masyarakat Nias yang sudah sejak lama menata diri dalam landasan hukum sehingga sudah sangat teratur hidupnya. Segala penataan tersebut itu bersumber dari folklor yang dibawa serta oleh leluhur ketika bermigrasi ke Pulau Nias. Jadi dapat dikatakan bahwa folklor itu adalah sumber hukum adat masyarakat Nias atau dapat juga berarti si’ulu/salawa merupakan sumber dari sumber hukum adat yang hidup di antara masyarakat dan berfungsi sebagai pengawal dari hukum adat yang telah digariskan oleh leluhur
Mata Pencaharian dan Identitas
Dalam kehidupan masyarakat tradisional sekarang ini, nampak jelas bahwa leluhur itu dihormati karena perannya yang sangat penting dalam mata pencaharian masyarakat. Hal itu dimungkinkan mengingat pembuka kampung/leluhur itu berkaitan erat dengan sistem pertanian, maka leluhur itu kerap juga menjadi bagian dari prosesi dalam upacara pertanian. Tampaknya, ada kaitan yang kuat antara sistem pertanian dengan sistem pemujaan terhadap leluhur. Hal tersebut dapat dilihat pada sistem kepemilikan lahan. Kerap pendiri kampung yang juga petani selain memiliki status sosial yang tinggi, juga merupakan bagian dari roh yang dipuja dalam prosesi pertanian ketika dia sudah meninggal. Konsep semacam ini dapat kita lihat dalam masyarakat Sumatera Barat (Gumai) (Sakai 2006, 211–13), masyarakat Batak Toba, masyarakat Karo, masyarakat Gayo, dan lain-lain. Leluhur itu masih dianggap sebagai pemilik lahan, pelindung daerah dan pertanian terutama dalam kaitannya dengan prosesi pertanian dan leluhur itupun mendapat perlakuan khusus dalam prosesi upacara tertentu (Pelras 2006, 220–21).
Dalam kaitannya dengan identitas, faktor-faktor internal memegang peran yang sangat penting. Sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Nias menunjukkan bahwa dalam konteks struktur organisasi sosial maupun dalam konteks struktur religi, penguasa dianggap sebagai tokoh tertinggi. Berkenaan dengan itu dimungkinkan berbagai aspek yang berkaitan dengan mata pencaharian, religi dan kehidupan sosial atau juga perubahan sebuah kebudayaan itu berasal dari ide penguasa. Karakter dan seluruh norma dan nilai yang ada pada penguasa dapat menjadi model bagi bentuk dan perubahan kebudayaan sebuah masyarakat. Adanya komunikasi yang intens menjadikan pemikiran-pemikiran penguasa mendominasi pemikiran-pemikiran yang ada pada masyarakat. Berkenaan dengan itu sistem struktur sosial itu berlaku ketat dan menjadi bagian penting dalam sistem kekuasaan. Selain itu, ikatan genealogis berfungsi menguatkan solidaritas kelompok yang pada akhirnya menguatkan sistem pada perkampungan. Penguatan sistem itu diperlukan atas upaya menghadapi berbagai permasalahan (Wiradnyana 2015,93-94).
KESIMPULAN
Pulau Nias itu telah di huni sebelum 12.000 BP dan sesudahnya dihuni oleh kelompok manusia yang berbudaya Hoabinh. Hasil analisis DNA tidak menunjukan adanya ciri ras pra-mongolid, sehingga diindikasikan ras ini sangat sedikit jumlahnya.
Ketika berlangsung migrasi kelompok penutur bahasa Austronesia dengan ras Mongolid, kemungkinan kedua kelompok manusia itu sempat berbaur di Pulau Nias bagian utara. Pembauran itu menghasilkan budaya (rumah adat, bahasa dan kosmologi) yang berbeda antara masyarakat Nias Selatan dengan masyarakat Nias Utara.
Adanya sistem budaya patrilokal dan perbudakan itu, kemungkinan menjadi penyebab tidak ditemukannya DNA Australomelanesid pada masyarakat Nias sekarang ini, sehingga data yang berkaitan dengan leluhur orang Nias adalah para imigran penutur bahasa Austronesia dengan ras Mongolid yang datang dari Taiwan.
Sistem kekerabatan masyarakat Nias yang patrilineal itu, menunjukkan bahwa genealogis menjadi dasar dalam pembentukan organisasi dan struktur sosial. Genalogis para bangsawan adalah yang memiliki berbagai pengetahuan, sehingga kekuasaan tidak hanya didapatkan berdasarkan genealogis semata tatapi juga didasarkan atas pengetahuan yang dimiliki. Jadi leluhur adalah sosok penguasa yang di dalam kehidupannya memiliki berbagai keterampilan/pengetahuan yang mampu mengontrol berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Berkenaan dengan itu, leluhur adalah sebuah identitas kelompok yang disimbolkan dalam bentuk konsepsi leluhur.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kani.
Hammerle, P. Johannes. 2001. Asal Usul masyarakat Nias: Suatu Interpretasi. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias.
———. 2008. Tuturan Tiga Sosok Nias. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias.
Harahap, Basyaral Hamidy, dan Hotman M. Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.
Harefa, Faogoli. 1929. Hikayat dan Cerita Bangsa Serta Adat Nias. Sibolga: Rapatfonds Residentie Tapanuli.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Oven, Manis van. 2010. “Unexpected Island Effects an Extreme: Reduced Y Chromosome and Mitochondrial DNA Diversity in Nias.” Molecular Biology and Evolutions 28 (4): 1349–61.
Pelras, Christian. 2006. “Darah Nenek Moyang: Memori Genealogis, Amnesia Genealogis, dan Hierarki Diantara Orang-Orang Bugis.” In Kuasa Leluhur, Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan di Indonesia Kontemporer, 220–48. Medan: Bina Media Perintis.
Ritzer, George, dan Barry Smart. 2011. Hand Book Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.
Sakai, Minako. 2006. “Modernisasi Tempat Suci di Sumatera Selatan : Islamisasi TempatNenek Moyang Gumai.” In Kuasa Leluhur, Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan di Indonesia Kontemporer, 194–219. Medan: Bina Media Perintis.
Sellato, Bernard. 2006. “Orang tak berdaya yang meninggal : Peniadaan Nenek Moyang di Kalangan Suku Aoheng, dan Beberapa Pertimbangan tentang Kematian dan Nenek Moyang di Kalimantan.” In Kuasa Leluhur, Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan di Indonesia Kontemporer, 1–32. Medan: Bina Media Perintis.
Simanjuntak, B. Antonius. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Simanjuntak, B. Antonius, dan Saur Timiur Situmorang. 2004. Arti dan Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Batak. Medan: Kelompok Studi Pengembangan Masyarakat.
Wiradnyana, Ketut. 2010. Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias, Paduan penelitian Arkeologi dan Antropologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
———. 2013. “Kearifan Lokal Pembentuk Karakter Masyarakat Nias.” In Arkeologi dan Karakter Bangsa, 55–86. Yogyakarta: Ombak.
———. 2015. “Paradigma Perubahan Evolusi Pada Budaya Megalitik di Wilayah Budaya Nias.” Kapata Arkeologi 11 (2): 87–96.
———. 2017. “Sistem Kekuasaan Dalam Tradisi Prasejarah Masyarakat Nias.” Pradnyamaramita, Jurnal Museum Nasional 5: 87–105.