Togel Online Terlengkap dan Terpercaya 2022 online togel terlengkap kami menyediakan permainan online togel terbaik dan terpercaya di Indonesia.

Rekomendasi memilih situs online togel tebaik tahun 2021, menerima deposit menggunakan pulsa

JAKARTA DARI MASA KE MASA: KAJIAN IDENTITAS KOTA MELALUI TINGGALAN CAGAR BUDAYA

 

JAKARTA FROM TIME TO TIME: STUDY OF CITY’S IDENTITY THROUGH THE CULTURAL HERITAGE

 

Ary Sulistyo1

Tim Ahli Cagar Budaya Kota Depok

Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Depok

Gedung Baleka 2 Depok Lt.9, Jalan Margonda Raya No. 54

 

Reception date : 22/01/2020

Last Revision: 08/04/2020

Acceptation date: 11/04/2020

Published: 26/05/2020

To Cite this article : Sulistyo, Ary 2020. “JAKARTA DARI MASA KE MASA: KAJIAN IDENTITAS KOTA MELALUI TINGGALAN CAGAR BUDAYA.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 23(1). Medan, Indonesia, 1-17. https://doi.org/10.24832/bas.v23i1.387.

 

Abstract

Jakarta’s city identity could not be separated before and after moment its independence in 1945. The development of the city of Jakarta before independence was strongly influenced by Dutch Colonial elements, and after Indonesian independence (Kotapraja Jakarta). However the development of the Jakarta’s city during the New Order era until now has gained western influences through cultural diffusion. This research uses a descriptive-qualitative method approach. How the Jakarta’s city as space integration from various historical event that have been manifested through material relics has identity. The result show that most numbered of cultural heritage formed 4 structures and 63 buildings located in Municipality of Central Jakarta. The city of Jakarta, especially in the Municipality of Central Jakarta in pasca-colonial era was designed as a city of material symbolism where the National Monument, Istiqlal Mosque and office buildings are the same as pre-colonial city representations where the palace (Keraton), square, and center of economic activities are located closely. Along with changing time, the Jakarta’s city has developed as a city of symbols of modernity, identity and cultural representation of Indonesia as well as an international city. But with the emergence of skyscrapers neutralizing layers of material symbolism including Old-City Jakarta.

 

Keywords: Jakarta’s City; cultural history; identity; cultural heritage; material symbolism

 

Abstrak

Identitas Kota Jakarta tidak lepas dari momen sebelum dan sesudah kemerdekaan tahun 1945. Perkembangan Kota Jakarta sebelum kemerdekaan masih kuat dipengaruhi oleh unsur kolonial Belanda, dan setelah kemerdekaan Indonesia (Kotapraja Djakarta). Perkembangan Kota Jakarta pada masa orde Baru hingga kini kembali mendapatkan pengaruh barat melalui difusi kebudayaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deskriptif-kualitatif. Bagaimana Kota Jakarta sebagai kesatuan ruang dari berbagai peristiwa sejarah yang terwujud melalui tinggalan materi ini memiliki identitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cagar Budaya berupa bangunan dan struktur terbanyak terdapat di Kotamadya Jakarta Pusat sebanyak 63 bangunan dan 4 struktur. Kota Jakarta, khususnya Kotamadya Jakarta Pusat pada pasca-kemerdekaan dirancang sebagai kota simbolisme material dimana Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, dan bangunan perkantoran sama seperti representasi kota pra-kolonial dimana keraton, alun-alun, dan pusat aktivitas perekonomian yang berdekatan. Seiring dengan perkembangan jaman, kota Jakarta berkembang sebagai kota simbol modernitas, identitas dan representasi budaya Indonesia juga kota internasional. Namun dengan bermunculannya gedung-gedung pencakar langit menetralisir lapisan-lapisan simbolisme material tersebut termasuk kawasan Kotatua Jakarta.

 

Kata Kunci: Kota Jakarta; sejarah budaya; identitas; cagar budaya; simbolisme material

 

PENDAHULUAN

Perkembangan kota sejak awal abad ke 19-20 ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan kompleksitas elemen dan permasalahan perkotaan yang muncul salah satu persoalan perkotaan dan masyakatnya yang semakin kompleks dengan masuk melalui konsep modernitas. Modern, modernisasi, modernism, dan juga modernitas adalah konsep sejarah yang menjadi alat baca dalam mengurai kompleksitas itu dalam rentang waktu yang ada. Makna modernitas ini merupakan usaha untuk menjelaskan lebih beragam atas kenyataan sejarah perkotaan di Indonesia (Makkelo 2017: 83)

Kota-kota di Indonesia dapat dikaji melalui konsep modernitas, salah satunya dengan memfokuskan pada persoalan identitas kota itu sendiri. Kajian-kajian perkotaan (urban studies) pada umumnya dilakukan oleh para arsitek, planolog, ekonomi perkotaan, serta bahkan developer dan investor. Namun demikian, dalam kacamata sejarah dan arkeologi, kota-kota merupakan representasi dari identitas jati diri sebuah bangsa karena budaya materi (material culture). Sebagai contohnya adalah Kota Jakarta, yang telah berusia lebih dari 400 tahun, bahkan dapat dikatakan pemukiman awal sudah sejak masa prasejarah bila melihat tinggalan-tinggalan arkeologi, berupa gerabah dan alat-alat batu seperti beliung persegi (Djafar, 1982).

Pada mulanya Kota Jakarta yang berkembang dari sebuah pelabuhan Sunda Kelapa (Abad ke 5-15) kemudian kota  Jayakarta (tahun 1527) dan digantikan oleh Kota Batavia (tahun 1619-1942) yang secara morfologis telah melewati tahap-tahap, yaitu pembangunan kota lama, perluasan pinggiran kota hingga Weltevreden, penyatuan Meester Cornelis, perluasan pinggiran kota ke Kebayoran dan perlebaran kawasan perkotaan (Nas and Grijns 2007: 5)

Perencanaan kawasan  Weltrevreden atau dikenal juga sebagai Nieuw Batavia sendiri memiliki arti suasana tenang dan puas. Kawasan ini terletak kurang lebih 10 km dari Kota Batavia ke selatan. Letaknya kini mulai dari sekitar Sawah Besar Jakarta Pusat yang membentang dari RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Gajah. pada abad ke 19, memiliki persamaan dengan pola kota-kota lain di Indonesia (Jawa) dengan alun-alun di tengah-tengah dan jalan-jalan lebar saling bersilangan yang memberikan ruang untuk jalan-jalan sekunder. Dalam membentuk budaya kota Jakarta tentunya merupakan budaya hasil akulturasi, asimilasi, difusi dan penetrasi dengan kebudayaan lain yang mulai dalam rentang waktu prasejarah hingga kini (kontemporer). Bagaimana kemudian Kota Jakarta sebagai kesatuan ruang dari berbagai peristiwa sejarah yang terwujud melalui tinggalan materi ini memiliki identitas[i] yang di baca ulang

Identitas Kota Jakarta tidak lepas dari momen kronologis dari masa prasejarah hingga sejarah yang membentuk karakter awal mulai dari pemukiman di sepanjang Kali Ciliwung, hingga menjadi kota metropolitan seperti sekarang. Puncak peristiwa yang menjadi momen penting adalah sejak kemerdekaan diproklamasikan pada tahun 1945. Ini berarti bahwa Kota Jakarta khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya bebas menentukan masa depan termasuk dalam pembangunan kota-kota setelah masa kemerdekaan tersebut.

Karakter kuat yang bisa di lihat adalah pengaruh kolonial dan pasca-kolonial. Karakter kota tradisional atau pra-kolonial tidak dapat terlihat lagi setelah J.P Coen membumi hanguskan kota Jayakarta dan menggantikannya dengan Kota Batavia pada tahun 1619. Perkembangan sebelum kemerdekaan masih kuat dipengaruhi oleh unsur kolonial Belanda. Pada momen awal kemerdekaan Indonesia inilah karakter pasca-kolonial atau antitesis dari kota kolonial sedikit diminimalisir dengan dibangunnya monumen-monumen  serta struktur ruang pusat Kota Jakarta dengan menjadikan Jakarta dengan membentuk Kotapraja Djakarta pada tahun 1950. Perkembangan kota Jakarta selanjutnya pada masa Orde Baru hingga kini mendapat pengaruh barat melalui difusi kebudayaan.

Kajian arkeologi perkotaan ini menggunakan pendekatan pasca-prosesual, yang pada dasarnya memberikan interpretasi terhadap budaya materi (Hodder and Hutson, 2003: 206-223; Magetsari, 2016: 306). Teori yang digunakan seringkali tidak pernah lepas dari evolusi budaya berpikir masyarakat global. Hubungan yang saling mempengaruhi secara dua arah ini dapat dilihat secara sinkronik maupun diakronik. Pada masa kolonial, interpretasi terhadap tinggalan arkeologi kerap diselimuti oleh bias ras, agama, dan kesukuan. Paradigma pasca-kolonialisme hadir sebagai kritik terhadap hegemoni berpikir supremasi kulit putih tersebut. Namun kenyataannya, bahkan di era pasca-kolonialisme, praktik serupa masih kerap terjadi. Cara pandang neo-kolonialisme masih dapat ditemui hingga saat ini. Bidang studi sosial-budaya khususnya ilmu arkeologi dan lebih spesifiknya arkeologi perkotaan tidak hanya ditempatkan sebagai bidang ilmu yang netral, namun masih menjadi salah satu isu sentral sebagai simbol personifikasi jati diri, harga diri, maupun propaganda politik (Kaharudin and Asyrafi 2019, 55).

Dalam pengertian ilmu arkeologi kini, situs dan kawasan merupakan dimensi ruang. Sedangkan benda, struktur, dan bangunan adalah dimensi materi atau objek. Materi budaya yang dikaji dalam penulisan ini adalah memfokuskan pada Cagar Budaya yang sudah ditetapkan melalui SK Gub DKI Jakarta No. 475 tahun 1993, khususnya di Kota Jakarta Pusat karena Kota Jakarta dapat dikatakan peralihan dari Kota Kolonial ke Kota Pasca-Kolonial.

Buku tentang sejarah Jakarta sudah banyak yang menulis di antaranya oleh Heuken (2016) Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta; Blackburn (2007) Jakarta: Sejarah 400 Tahun; Haris (2007) Kota dan Masyarakat Jakarta: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial Abad XVI-XVII; dan Surjomihardjo (2000) Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. Karangan lain tentang sejarah Jakarta yang menggunakan teori simbolis dari Nas (2011) Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Nas mengembangkan kajian perkotaan tema simbolisme dan budaya perkotaan. Kota Jakarta dapat dianggap penuh dengan simbol, termasuk makna atas monumen utama masa pemerintahan Soekarno. Serta tulisan Kehoe (2008) dalam The Paradox of Pasca-Colonial Historic Preservation: Implications of Dutch Heritage Preservation in Modern Jakarta tentang identitas kontemporer yang berkaitan dengan kota dan revitalisasi.

              Dalam konteks yang lebih luas, Kota Jakarta seperti halnya dengan kota-kota di Asia Tenggara era pasca-kolonial, menunjukkan bahwa makna kota bisa saling berbenturan: sebagai metropolis modern dan sekaligus sebagai pusat negara atau wilayah, pusat propinsi, dan dipenuhi oleh lokalitas. Globalisasi, demikian juga pembentukan negara dan lokalisasi, adalah proses yang dibentuk oleh kelompok-kelompok baru. Kompleksitas itu juga mewujud dan tercermin dan beragam representasi simbolisme perkotaan (Nas, 2011; Evers, 2011; Makkelo, 2017: 95). Dengan kata lain dalam konteks kekinian dan sangat erat kaitannya dengan pelestarian cagar budaya, identitas kota Jakarta selalu dikaitkan nasionalisme, seperti Monas yang dibangun oleh Bung Karno, namun selain itu juga dikaitkan dengan identitas anti-kolonial atau bahkan identitas campuran atau hybrid (Kehoe, 2008: 15).

 

METODE

Arkeologi sebagai ilmu yang mengkaji budaya materi melihat dari sudut pandang masa kini melalui perkembangan sebuah kota sebagai bagian dari siklus yang panjang dari kehidupan kota termasuk proses rusak (decay), revitalisasi (revitalization), dan pembaharuan (reclamation) (McAtackney and Ryzewski 2017: 262). Lebih lanjut dalam pendekatan arkeologi perkotaan kontemporer terdapat beberapa pertimbangan metodologis seperti teknik pemulihan (recovery technique), skala (scale), dan temporalitas (temporality) (McAtackney and Ryzewski 2017: 268-271).

Dalam teknik pemulihan, dipilihnya Kota Jakarta pusat karena banyaknya monumen atau struktur yang dibangun pada awal kemerdekaan Indonesia dan masih utuh hingga kini serta memiliki makna penting bagi masyarakat Indonesia. Skala mencakup pada luas yang akan dikaji, dalam hal ini Kota Jakarta Pusat merupakan kota pertama pasca-kemerdekaan yang dibangun pertama kali. Sebelum tahun 1959, Jakarta (dulu Djakarta) merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno. Namun karena masalah urbanisasi penduduk, oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an Jakarta adalah "kota tertutup" bagi pendatang. Sedangkan aspek temporal mencakup masa kolonial hingga pasca-kolonial yang pertama dibangun namun terhubung dengan masa yang lebih jauh yaitu masa pra-kolonial. Hubungan dengan kota kolonial pada masa sebelumnya sebagai Nieuw Batavia dengan kota modern masa kini

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, yang dilakukan dengan menjelaskan fenomena sebuah kota Jakarta berdasarkan data-data sejarah kemudian mencari fakta-fakta yang mendukung, seperti data-data bangunan sejarah yang telah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-Bangunan Bersejarah di DKI Jakarta. Adapun tahap-tahap dalam penelitian ini terdiri dari tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, dan tahap penafsiran data.

Tahap pengumpulan data terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka berupa mencari referensi seperti dari buku, jurnal penelitian, maupun tulisan-tulisan lain terkait dengan konsep dan data-data tentang sejarah kota Jakarta, identitas dan kota.

Studi lapangan dilakukan dengan cara melakukan survei dan observasi. Survei dilakukan pada bangunan-bangunan eksisting. Survei dan observasi difokuskan hanya pada Jakarta Pusat saja meilihat dari jumlah tinggalan dan bangunan Cagar Budaya, dimana jenis dan karakternya beragam mulai dari bangunan, struktur, dan situs maupun persebaran (distribution). Selain itu Kota Jakarta Pusat sebagai pusat pemerintahan, Kota Jakarta Pusat merupakan representasi kota modern di awal abad ke 20 serta representasi dari kota-kota di Indonesia dan alasan pembangunan ibukota pertama bagi Indonesia oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno. Survei juga dilakukan pada Jakarta Utara dan Barat, khususnya di kawasan Kotatua Jakarta untuk melihat persamaan dan perbedaan di dua kawasan ini. Rencana pembangunan awal kawasan Kotatua juga memperlihatkan pola-pola grid yang saling berpotongan dan membentuk kanal-kanal dengan pusat kota berupa Balai Kota (Stadhuis, kini Museum Sejarah Jakarta, Stadhuisplein/ kini Taman Fatahillah, dan Nieuw Hollandse Kerk/kini Museum Wayang) (Wei, 2016: 100-105).

Analisis data dalam penulisan ini merupakan analisis deskriptif, yaitu membuat gambaran data yang telah terkumpul tanpa membuat generalisasi dari generalisasi dari hasil penelitian melalui bentuk grafik, tabel, presentase, dan diagram (Moloeng, 2007). Dari hasil survey dan observasi diperoleh gambaran tentang jumlah, kriteria Cagar Budaya di seluruh Kota Jakarta berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993 dan khususnya di Kota Jakarta Pusat. Jenis dan karakter Cagar Budaya mengacu kepada Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 5 sampai dengan pasal 10, bahwa kriteria Cagar Budaya terdiri dari benda, struktur, bangunan, situs, dan kawasan.

Interpretasi data dan kesimpulan merupakan tahap akhir dari penulisan ini. Dalam interpretasi data deskriptif-kualitatif ini bersifat sementara dan belum final. Interpretasi data ini merupakan tahap penarikan kesimpulan dari hasil pengumpulan data dan analisis data. Kota Jakarta Pusat sebagai salah satu kawasan yang mempunyai Cagar Budaya yang beragam mulai dari benda, struktur, dan bangunan. Terutama struktur-struktur monumental yang ada di Kota Jakarta Pusat sebagai simbolisme kota dan makna yang berbenturan. Bahkan dalam konteks pelestarian struktur-struktur monument tersebut menggambarkan nasionalisme Indonesia dan sejarah kolonial.

Interpretasi ini lebih kepada pendekatan fenomena yang didasari oleh filsafat pasca-modernisme dalam memahami kebudayaan. Dalam arkeologi yang dikenal arkeologi interpretif (arkeologi pasca-prosesual), bagaimana hubungan budaya materi dengan masyarakat dan apa yang menyebabkan perubahan (sosial, ekonomi, perubahan budaya) (Hodder and Hudson, 2003:13-14) dengan melakukan rekonsstruksi budaya masa lalu menurut apa yang dipahami dan sesuai dengan tujuan masa kini. Pengetahuan budaya masa lalu tidak lagi tunggal, tetapi jamak serta reflektif, mungkin relatif, dan multivokal (Tanudirjo, 2019: 10-11).

 

A close up of a signDescription automatically generated

Gambar 1. Tahapan Penelitian yang terdiri dari pengumpulan, pengolahan, dan interpretasi data

(Dibuat oleh: Sulistyo, 2020)

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lintas Sejarah Perkembangan

Kota Jakarta Pusat

Pada umumnya dinamika perkembangan sebuah kota secara fisik bertumbuh kembang sebagai proses dan produk melalui keputusan politik, ekonomi, dan budaya untuk mencapai ekologi perkotaan kota tersebut. Berdasarkan segi sejarah perkotaan, sebuah kota dapat pula mengalami perubahan citra yang justru memperkaya wujud dan wajah pemandangan kota tersebut. Semakin tua kota tersebut akan semakin panjang sejarahnya baik dalam bentuk peninggalan yang menjadi pusaka kota yang bersifat nyata secara visual (tangible); atau yang tak-nyata (intangible) seperti dalam bentuk bahasa warganya, cerita, lagu rakyatnya, karya sastranya, atau nama lingkungan kotanya dan sebagainya.

Keunggulan sebuah kota dan sangat penting untuk dilestarikan sebagai halnya di Indonesia dalam hal ini khususnya DKI Jakarta, terutamanya Kota Administrasi Jakarta Pusat. Hal tersebut diatas semakin penting dengan berlakunya Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Perkembangan (Kota Administratif) Jakarta Pusat sesungguhnya tidak terpisahkan dari pertumbuhan Kota Jakarta secara keseluruhan. Hal ini diawali dengan terbentuknya Kota Batavia oleh J.P. Coen (1619) sampai kepada Jakarta sebagai ibukota negara republik Indonesia yang dinyatakan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Gambar 2 dan 3 di bawah ini menjelaskan perkembangan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di Batavia melalui peta perkembangan kota Jakarta abad ke 19 hingga awal abad ke 20 dan lukisan Istana merdeka dan sebuah pasar di Weltevreden (daerah sekitar Gambir) dari abad ke 19.

Description: Image (12)  Description: Image (13)

Gambar 2. Kota Batavia tahun 1805 dan wilayah ommelanden dengan benteng-benteng luarnya Noordwijk dan Rijswijk (kiri); Kota Batavia tahun 1935 setelah diperluas dengan perkembangan Kota Weltevreden yang sekarang menjadi wilayah inti Jakarta Pusat (kanan)

(Sumber: Sumintardja dan Sulistyo, 2015)

Description: Image (14)  Description: Image (11)

Gambar 3. Istana merdeka pada abad ke 19 masih digunakan sebagai rumah tinggal Gubernur Jenderal Hindia-Belanda van der Parra (kiri); Suasana Pasar Seni di daerah Weltrevreden pada akhir abad ke 19 (kanan)

(Sumber: Sumintardja dan Sulistyo, 2015)

 

Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia yang baru berlokasi  di Jalan Medan Merdeka Selatan dengan Walikota Bapak Soewirjo (23 September 1945-November 1947) atau dulu bernama Balaikota Praja. Situasi keamanan yang kurang mendukung akibat perang dimasa Perang Revolusi 1946-1949,ibukota Republik Indonesia dihijrahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari Pemerintah Belanda secara resmi, mulailah era baru bagi Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta seperti ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 15 Januari 1950 sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia (Serikat). Perkembangan kota akibat kepindahan pusat pemerintahan Batavia yang berada di wilayah Kotatua, Jakarta Utara pindah ke selatan ke kawasan yang dikenal sebagai Weltevreden (1830an) menjadi penentu pentingnya kawasan Weltevreden (Batavia Centrum) sebagai pusat pemerintahan Jakarta hingga perkembangan kota masa kini.

Perkembangan Kota Jakarta menjadi sangat penting sebagai kota yang bercitra internasional dan pusat kekuatan non-blok (non-block movement) umpamanya; penyelenggaraan acara-acara politik dan olahraga/ budaya yang bertaraf internasional. Dilihat dari segi penyediaan sarana fisik telah dibangun atas pengarahan Presiden Soekarno sendiri berbagai bangunan gedung dan prasarana/ sarana yang dikenal sebagai proyek-proyek mercusuar. Jakarta tumbuh dan kembang dengan berbagai macam pembangunan yang hampir merata di semua bidang pada era orde baru (1965-1998) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Kriteria Cagar Budaya dan Identitas

Cagar Budaya dan Kriterianya

di Jakarta Pusat

Sekilas Kota Administrasi Jakarta Pusat

A close up of a map

Description automatically generated

Gambar 4. Peta Administratif Kota Jakarta Pusat (tanpa skala) (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Jakartapusat.png)

Kota Jakarta terbagi secara administrasi pemerintahan wilayah Jakarta, yaitu Pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Utara, Pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Selatan, Pemerintahan Administrasi Kota Jakarta Timur, Pemerintahan Jakarta Barat, Pemerintahan Kota Jakarta Pusat, dan 1 (satu) Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Secara geografis, Kota Jakarta Pusat terletak pada daerah yang relatif datar dan secara astronomis terletak pada 6°12'-46.91" LU dan 106°50'-26.4" BT. Jakarta Pusat terdiri dari 6 Kecamatan dan 44 Kelurahan yang mencakup wilayah seluas 50,02 km2. Secara kewilayahan, Jakarta Pusat terdiri dari 6 Kecamatan dan 44 Kelurahan yang mencakup wilayah seluas 50,02 km2. Adapun rincian kecamatan dan kelurahan di Jakarta Pusat adalah tercantum dalam tabel di bawah ini

Cagar Budaya di Kota Jakarta Pusat

Berdasarkan UU No.10 tahun 2011 tentang Cagar Budaya maka dalam kriteria Cagar Budaya dapat berupa: (1) benda, (2) bangunan, (3) struktur, (4) situs dan (5) kawasan (Pasal 1 butir 1 s/d 6). Di dalam SK Gubernur DKI Jakarta No. 475/1993 kriteria untuk menilai bangunan cagar budaya mencakup cakup 6 (enam) butir yang uraiannya secara bagan terurai di bawah ini: (1) Nilai Sejarah, (2) Umur, (3) Keaslian, (4) Kelangkaan, (5) Tengaran/ Landmark, dan (6) Arsitektur. Berdasarkan hubungan antara kriteria menurut UU No. 10/2011 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.9/1999 tentang kriteria penggolongan lingkungan dan bangunan Cagar Budaya diperoleh keterangan sebagai berikut pada matriks tabel 1 di bawah ini (lampiran).

Kawasan Menteng

Sebagai Kawasan Pemugaran

Kawasan pemugaran Jakarta Pusat adalah kawasan pemugaran Menteng yang ditetapkan oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai kawasan yang harus dilestarikan berdasarkan SK Gub KDKI Jakarta No. D.IV.6098/d/33/1975 dan sampai sekarang masih dikaji dalam penataan ruangnya, klasifikasi bangunan dan penataan bangunannya dengan luas 607 ha yang dibangun pada tahun 1911 hingga 1920. Perancangnya adalah Ir. F.J. Kubatz dan Ir. P.A.J. Moojen dengan pengembang utamanya adalah N.V. De Bouwploeg. Kawasan Menteng dirancang berdasarkan konsep tata ruang Kota Taman atau garden city (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, 2006).

Perumahannya berkelas-kelas dan lokasinya di sepanjang jalan-jalan. Kawasan Menteng memiliki batas-batas, sebelah utara dengan Jalan Kebon Sirih, Jalan Prapatan, Kecamatan Gambir; sebelah selatan berbatasan dengan Saluran Banjir Kanal, Kecamatan Setiabudi; sebelah barat berbatasan dengan Kali Cideng, Jalan MH. Thamrin, Kecamatan Tanah Abang; dan sebelah timur berbatasan dengan Kali Ciliwung, Kecamatan Senen. Daerah Menteng menjadi pusat pemukiman pada duta negara asing, para pejabat tinggi dan para warga negara RI yang kedudukan sosialnya tinggi. Dilihat dari segi arsitektur dan perumahan dan bangunan umumnya yang beraneka gaya dan ruang-ruang kotanya hijau, sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian atau pemugaran (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, 2006).

Gambar 5. Peta Lokasi Kawasan Pemugaran Menteng Sebagai Kawasan Pemugaran Kota Administrasi Jakarta Pusat

(Sumber: Sumintardja and Sulistyo 2015)

Kota Jakarta Pusat Kota Simbolis

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, menurut kriteria UU No.10/2011 bahwa terdapat 67 Cagar Budaya yang terdapat di Kota Jakarta Pusat, dengan 63 Bangunan dan 4 Struktur (lihat tabel 3 di lampiran). Dari ke 67 Cagar Budaya tersebut banyak tersebar di Kecamatan Gambir, Kecamatan Senen, Kecamatan Menteng, Kecamatan Sawah Besar, dan Kecamatan Tanah Abang. Mayoritas dari 63 Bangunan tersebut digunakan sebagai bangunan perkantoran atau gedung. Sebagian lagi yang terletak di Kecamatan Sawah Besar banyak bangunan yang dipergunakan untuk pertokoan. Empat (4) Struktur di antaranya adalah Lapangan Merdeka/ Monas, Jembatan dan Patung Harmoni, Kompleks Halaman Gedung Proklamasi (Monumen Proklamasi), dan Menara Kemayoran.

Gambar 6. Grafik Kriteria Cagar Budaya Kota Jakarta Pusat menurut Kriteria UU No. 11/2010

(Sumber: Hasil Analisis, 2020)

Menurut kriteria penetapan berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.9/1999 tentang kriteria penggolongan lingkungan dan bangunan Cagar Budaya, terdapat 57 bangunan (tolak ukur sejarah) dan 10 bangunan (tolak ukur umur ≥ 50 tahun). Tolak ukur sejarah terkait dengan peristiwa: perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol kesejarahan tingkat nasional atau DKI Jakarta.

Gambar 7. Grafik Kriteria Cagar Budaya Kota Jakarta Pusat menurut Kriteria Perda DKI No. 9/1999

(Sumber: Hasil Analisis, 2020)

Beberapa bangunan bahkan sangat disayangkan sudah hilang (lihat tabel 1) dan belum dimasukkan ke dalam daftar bangunan Cagar Budaya dalam SK 475/1993. Salah satu contohnya adalah Bangunan No. 18 A (Toko Kompak), Jalan Pasar Baru No. 18A, Kelurahan Sawah Besar, Kecamatan Sawah Besar. Toko Kompak Pasar Baru masih mempertahankan model ruko awal abad ke 20, sehingga diperlukan SK perlu direvisi dengan memasukkan informasi terbaru.

Tabel 1. Contoh Cagar Budaya yang sudah hilang dan harus dihapus dari SK 475/1993

 

 

Nama Bangunan Cagar Budaya

Alamat

Kode Pos

Kompleks Halaman Gedung Proklamasi (Monumen Proklamasi)

Jl. Proklamasi No. 56, Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng

10310

Tahun 1970

Tahun 2000

(pada 2020 sudah tidak ada)

 

 

 

 

 

 

 

Nama Lama        : Kediaman Ir. Soekarno

Pemilik                : Pemda DKI Jakarta

Tahun dibangun  : 1962 dan 1979 (patung)

Arsitek                 : -

Gaya arsitektur    : Modernism

Keterangan          :

Taman Proklamasi adalah perluasan dari penataan lahan bekas lokasi bangunan rumah Ir.Sukarno, Presiden RI yang ke-1, dan di mana upacara proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilakukan. Dimuka rumah tersebut dibangun Tugu Kemerdekaan di Tahun 1952. Pada tahun 1962 bangunan rumah yang bersejarah itu diratakan dengan tanah termasuk Tugu Kemerdekaannya untuk menjadi komplek Gedung Pola Pembangunan dengan Tugu Petir Kemerdekaan sebagai peringatan kejayaan Indonesia Merdeka. Di tahun 1979 penataan Taman dilengkapi dengan penempatan Patung Sukarno dan Hatta dalam posisi pembacaan proklamasi kemerdekaan.

 

 

(Sumber: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta dan Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, 2004; Hasil Analisis, 2020)

 

Kota dan Identitas

Kota Jakarta (khususnya Kota Jakarta Pusat) dapat dianggap penuh dengan simbol, termasuk makna atas monumen utama masa pemerintahan Soekarno (Nas 2011: 9-10). Lebih lanjut Peter J.M Nas (2011) menyebutkan istilah simbolisme material (material symbolism) atau symbolic ecology of Jakarta yang terbagi menjadi beberapa tahap perkembangan, seperti pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan perkembangan yang lebih kontemporer. Marsely L. Kehoe (2008) dalam The Paradox of Pasca-Colonial Historic Preservation: Implications of Dutch Heritage Preservation in Modern Jakarta tentang identitas kontemporer yang berkaitan dengan kota dan tujuan revitalisasi serta pelestarian. Markus Zahnd (2008: 42–46) melihat dalam konteks kota Jawa pasca-koloni secara umum di awal kemerdekaan Indonesia dan zaman globalisasi. Kota Jakarta merupakan representasi Kota Jawa yang merupakan simbol kuat dari sebuah negara modern Indonesia.

Dalam hal ini wacana pascakolonial (pasca-colonial) yang merupakan turunan dari filsafat pascamodernisme (pascamodernism) melahirkan diskursus tentang gambaran penjajah dan terjajah (sosial, politik, budaya). Bagaimana bangsa yang didekolonisasi memiliki identitas pascakolonial yang didapat dari interaksi budaya dengan berbagai macam identitas (budaya, bangsa, etnis) dan hubungan sosial, seks, kelas, dan kasta; ditentukan oleh gender dan ras orang terjajah; dan rasisme yang tertanam dalam struktur masyarakat kolonial (Loomba 2016: ix–xx).

Kota pada dasarnya berkembang secara kronologis dari masa ke masa, tetapi secara bersamaan juga mengakar dalam persepsi manusianya tentang ruang dan waktu. Lapisan-lapisan kebudayaan Kota Jakarta sebagai suatu kawasan dan meninggalkan bukti-bukti perkembangan fisik kota yang bermula dari muara Sungai Ciliwung hingga menjadi kota seperti sekarang. Pencarian identitas Kota Jakarta tidaklah lepas dari persepsi ruang dan waktu, yaitu salah satunya momen bersejarah kemerdekaan republik Indonesia tahun 1945. Perkembangan Kota Jakarta sebelum kemerdekaan masih kuat dipengaruhi oleh unsur kolonial Belanda, dan setelah kemerdekaan Indonesia (Kotapraja Djakarta). Pada perkembangan selanjutnya pasca-kemerdekaan, Kota Jakarta dari masa orde Baru hingga kini kembali mendapatkan pengaruh barat melalui difusi kebudayaan, seperti modernisasi. Banyak ahli-ahli perencanaan pada masa itu yang mendapat pendidikan barat kemudian menerapkan perencanaan kota modern (lihat tabel 2). Pada akhirnya perencanaan kota tidak lagi melihat aspek sosial-historis dimana ciri kota ‘nasionalis’ Indonesia hilang.

Kota Jakarta sendiri pada awal kemerdekaan Indonesia, Presiden Sukarno ikut merancang Kota Jakarta sebagai kekuasaan pusat kota, dan Jakarta yang pada masa itu merupakan pusat dari Negara yang merdeka, dengan merencanakan membangun tugu Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Hotel Indonesia, namun dianggap kurang dalam memperhatikan pembangunan fasilitas-fasilitas publik. Jakarta menjadi ‘kota tanpa urbanisme’ dengan menempatkan monumen di tengah-tengah pusat kota (Evers 2011: 189). Pada perancangan Kota tahun 1965-1985, oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) baru membawa perubahan baru dalam modernisasi kota, namun bangunan-bangunan lama mendapatkan tekanan seperti kawasan Kotatua dan bangunan-bangunan bersejarah lainnya, hingga pada tahun 1968, baru dilakukan upaya-upaya perlindungan, pengembangan bangunan lama dan baru (Eryudhawan 2017: 1).

Pada masa Orde Lama (antara tahun 1945-1965), hubungan yang terbangun antara pra-dan pasca-kolonial menjadi dasar dalam pembentukan sebuah bangsa dan negara sebagai tahap perkembangan pertama. Berlanjut pada masa Orde Baru dibawah Presiden Soeharto pembangunan seperti Monumen Lubang Buaya untuk mengenang pembunuhan para Jendral dan pengkhianatan PKI tahun 1965, lalu kemudian pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sebagai miniatur suku dan budaya Indonesia. Perkembangan ekonomi pada tahun 1980an dan 1990an direfleksikan dengan bertambahnya kelas menengah serta pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan apartemen mewah. Lambat laun, bermunculannya gedung-gedung pencakar langit (city skyline) menetralisir lapisan-lapisan simbolik yang pernah dibangun pada era sebelumnya, termasuk kawasan Kotatua di pantai utara Jakarta (Nas, de Groot dan Schut 2011, 10).

Kota Jakarta yang dipopulerkan sebagai citra (image) kota modern dan internasional baik administratif dan sektor pariwisata, hal ini menjadi imajinasi untuk menjadi negara besar yang biasa dipamerkan dalam bentuk iklan dan berita. Evers (2011: 189) menyatakan juga bahwa Jakarta berfungsi sebagai ‘negara teater’. Simbol-simbol menciptakan fasad modernitas dengan identitas sebagai kota Internasional, namun ada yang disembunyikan oleh Jakarta. Sungai Ciliwung yang sudah tercemar berat, mengalir lurus melalui kota dengan tingkat sedimentasi dan limbah menjadi pengganggu utama “gambar cantik”. Sungai Ciliwung sendiri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari banyak penduduk untuk mencuci dan mandi; namun juga ancaman banjir tahunan bagi Jakarta (Nas, de Groot and Schut 2011: 9). Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada masa sekarang bertujuan mengamankan Jakarta di tingkat nasional dan internasional walaupun kini sedang dalam proses pemindahan Ibukota ke Kalimantan Timur. Sangat disayangkan kendali ditingkat lokal belum mampu menjadikan ‘Jakarta yang boombastis’ atau “Jakarta Ibukota Negara” atau “Jakarta Pusat Segalannyamenjadikan “Jakarta milik bersama” atau “Jakarta untuk Semuadimana masih banyak kekurangan infrastruktur publik yang belum memadai dan terpenuhinya kebutuhan warga. Kekurangan tersebut terkesan dimanipulasi oleh arsitektur dan monumen saja.

 

Tabel 2. Perkembangan Kota Jakarta dari Masa Prasejarah hingga Sekarang

(pengaruh budaya, peralihan budaya, dan proses kebudayaan yang membentuk identitas kota)

 

Jaman

Periode waktu

Pengaruh Budaya

Peralihan Budaya

Proses Kebudayaan

Kota

Prasejarah

Sebelum abad ke 5

Neolitik

Prsejarah-Protosejarah[ii]

Akulturasi

Tradisional

Tarmanegara

Abad 5-10

Hindu

Prasejarah-Hindu

Akulturasi

Tradisional

Kalapa

Abad 10-16

Hindu

Hindu-Islam

Akulturasi

Tradisional

Jayakarta

1527-1619

Islam

Islam-Kolonial

Penetrasi

Tradisional

Batavia

1620-1799

Islam

Kolonial-Indisch

Asimilasi

Kolonial

Nieuw Batavia

1800-1941

Indisch

Indisch–Jepang

Penetrasi

Kolonial-Indisch

Djakarta

1942-1945

Jepang

Jepang-Anti Barat

Penetrasi

Pasca-Kolonial

Kotapraja Jakarta

1945-1965

Anti Barat

Anti Barat-Barat

Difusi

Pasca-Kolonial

DKI Jakarta (1)

1965-1998

Barat

Anti Barat-Barat

Difusi

Pasca-Kolonial

DKI Jakarta (2)

1999-kini

Barat

Barat-Global (?)

Difusi

Pasca-Kolonial

 

(Sumber: diolah dari (Attahiyat 2019)

 

Dalam konteks pelestarian dan revitalisasi, banyak bangunan-bangunan kolonial di Kota Jakarta yang masih digunakan baik untuk perkantoran atau ekonomi. Marsely L. Kehoe (Kehoe, Marsely 2008) membagi di antaranya, pertama identitas Kolonial Belanda, yang direpresentasikan dengan revitalisasi Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Kedua identitas nasionalisme dan kultur Indonesia yang direpresentasikan oleh pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 1971 oleh Presiden Soeharto. Hingga kini elemen-elemen kolonial masih menjadi bagian dari identitas pasca-kolonial Indonesia pada bangunan-bangunan kolonial yang direvitalisasi.

 

KESIMPULAN

Identitas Kota Jakarta tidak lepas dari momen sejarah yaitu sejak kemerdekaan tahun 1945. Perkembangan Kota Jakarta sebelum kemerdekaan masih kuat dipengaruhi oleh unsur kolonial Belanda, dan setelah kemerdekaan Indonesia (Kotapraja Djakarta). di Kota Jakarta Pusat, dengan 63 Bangunan dan 4 Struktur. Dari ke 67 Cagar Budaya tersebut banyak tersebar di Kecamatan Gambir, Kecamatan Senen, Kecamatan Menteng, Kecamatan Sawah Besar, dan Kecamatan Tanah Abang. Mayoritas dari 63 Bangunan tersebut digunakan sebagai bangunan perkantoran atau gedung. Sebagian lagi yang terletak di Kecamatan Sawah Besar banyak bangunan yang dipergunakan untuk pertokoan. Ada sebanyak empat  (4) Struktur di antaranya adalah Lapangan Merdeka/Monas, Patung Harmoni (termasuk jembatan Kali Ciliwung), Kompleks Halaman Gedung Proklamasi (Monumen Proklamasi), dan Menara Kemayoran. Kota Jakarta (khususnya Kota Jakarta Pusat) dapat dianggap penuh dengan simbol, termasuk makna atas monumen utama masa pemerintahan Soekarno (Nas 2011: 9). Secara kronologis Kota Jakarta Pusat merupakan kota dengan identitas Pasca-Kolonial (melawan elemen Kolonial) pada awal kemerdekaan hingga kini namun juga persepsi dari representasi ‘Kota Jawa’ modern yang memiliki simbol kuat dari sebuah bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

A.F., Kaharudin Hendri, and Muhammad Asyrafi. 2019. “Archaeology in the Making of Nations: The Juxtaposition of Pascacolonial Archaeology Study.” Amerta 3 (1): 55–69.

 

Amar. 2009. “Identitas Kota, Fenomena Dan Permasalahan.” Jurnal Ruang 1 (1): 55–59.

 

Attahiyat, Candrian. 2019. “Perpaduan Dan Pembauran Budaya Di Kantong Etnik Kotatua Jakarta.” In Seminar Akulturasi Budaya, Museum Bank Indonesia 16 Februari 2019. Jakarta.

 

Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Komunitas Bambu.

 

Djafar, Hasan. 2010. Kompleks Percandian Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat. Bandung: Kiblat Buku Utama, École française d’Extrême-Orient, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, and KITLV Jakarta.

 

Eryudhawan, Bambang. 2017. “Urban Conservation in Jakarta since 1968.” Journal of Archaeology and Fine Arts in Southeast Asia 1 (SEAMEO Regional Centre for Archaeology and Fine Arts (SPAFA)): 1–20.

 

Evers, Hans-Dieter. 2011. “Urban Symbolism and the New Urbanism of Indonesia.” In Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture, 187–93. Leiden: Leiden University Press.

 

Heuken, Adolf. 2016. Tempat-Tempat Bersejarah Di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.

 

Hodder, I and Hudson, S. 2003. Reading the Past: Current Approaches to Interpretation Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.

 

Kanumoyoso, Bondan, et. al. 2018. “Pengantar.” Jurnal Sejarah 1 (2) (Kota dan Kita: Modernitas, Identitas, dan Persinggungan Global): i–ii.

 

Kehoe, Marsely, L. 2008. “The Paradox of Pasca-Colonial Historic Preservation: Implications of Dutch Heritage Preservation in Modern Jakarta.” E-Polis: Online Student Journal of Urban Studies, no. 2.

 

Loomba, Ania. 2016. Kolonialisme/ Pascakolonialisme. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea.

 

Makkelo, Ilham. 2017. “Sejarah Perkotaan: Sebuah Tinjauan Historiografis Dan Tematis.” Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences 12 (2): 83–101.

 

McAtackney, Laura, and Krysta Ryzewski. 2017. Contemporary Archaeology and The City: Creativity, Ruination, and Political Action. Oxford: Oxford University Press.

 

Moloeng, Lexy, J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

 

Nas, Peter J.M., Marlies de Groot, and Michelle Schut. 2011. “Introduction: Variety of Symbols.” In Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture, 7–25. Leiden: Leiden University Press.

 

Nas, Peter J.M. 2011. Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Amsterdam: Leiden University Press.

 

Nas, Peter J.M, and Kees Grijns. 2007. “Jakarta-Batavia: Suatu Sampel Penelitian Sosio-Historis Mutahir.” In Jakarta-Batavia: Esai Sosio-Kultural, 1–23. Jakarta: Banana dan KITLV.

 

Sumintardja, Djauhari, and Ary Sulistyo. 2015. “Kajian Pemantauan Cagar Budaya Di Jakarta Pusat.” Jakarta.

 

Surjomihardjo, Abdurahman. 2000. Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.

 

Tanudirjo, Daud Aris. 2019. “Kuasa Makna.” In Kuasa Makna: Perspektif Baru Arkeologi Indonesia, 5–19. Yogyakarta: Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

 

Tawalinudin, Haris. 2007. Kota Dan Masyarakat Jakarta: Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial Abad XVI-XVII. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

 

Zahnd, Markus. 2008. “Model Baru Perencanaan Kota Yang Kontekstual: Kajian Tentang Kawasan Tradisional Di Kota Semarang Dan Yogyakarta Suatu Potensi Perencanaan Kota Yang Efektif.” In Seri Strategi Arsitektur 3. Yogyakarta: Kanisius.

 

Wei, Lin Che. 2016. “The Age of Trade: The Old Town of Jakarta (Formerly Batavia) and 4 Outlying Islands (Onrust, Kelor, Cipir, Bidadari).” Jakarta.

 

SK Gub No. 457 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-Bangunan Bersejarah Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Benda Cagar Budaya

 

Undang-Undang No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

 

 

Tabel 3. Cagar Budaya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Kotamadya Jakarta Pusat berdasarkan kriteria UU No.10/2011

dan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.9/1999

No

Nama Bangunan

Alamat

Kelurahan

Kecamatan

Kriteria

UU No.10/2011*

Kriteria

Perda DKI No. 9/1999**

Keterangan***

 

1

Istana Merdeka

Jl. Medan Merdeka Utara

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

2

Istana Negara

Jl. Veteran No. 17

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

3

Gedung Balaikota DKI Jakarta

Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8-9

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

4

Departemen Pertahanan dan Keamanan

Jl. Medan Merdeka Barat No. 13-14

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

5

Markas Kostrad

Jl. Medan Merdeka Timur No. 3

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

6

Gedung Pertamina

Jl. Medan Merdeka Timur No.1

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

7

Museum Nasional/Gedung Gajah

Jl. Medan Merdeka Barat No. 12

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

8

Gedung Perusahaan Listrik Negara

Jl. Muhammad Ichwan Ridwan No. 1

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

9

Kedutaan Besar Amerika Serikat

Jl. Medan Merdeka Selatan No. 4

Gambir

Gambir

2

1

Dihapus

10

Gereja Immanuel

Jl. Medan Merdeka Timur No. 10

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

11

Istana Wakil Presiden

Jl. Medan Merdeka Selatan No. 6

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

12

Bank Indonesia

Jl. MH. Thamrin No. 2

Gondangdia

Menteng

2

1

Utuh

13

Bank Tabungan Negara Harmoni

Jl. Gajah Mada No. 1

Petojo Utara

Gambir

2

1

Utuh

14

Perpustakaan Nasional

Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

15

Departemen Pertambangan dan Energi

Jl. Medan Merdeka Selatan No. 18

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

16

Museum Taman Prasasti

Jl. Tanah Abang I No. 1

Petojo Selatan

Gambir

2

1

Utuh

17

Monumen Nasional (Monas)

Jl. Taman Silang Monas

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

18

Balai Seni/Wisma Seni/Galeri Nasional

Jl. Medan Merdeka Timur

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

19

Lapangan Merdeka/Monas

Jl. Taman Silang Monas

Gambir

Gambir

3

1

Utuh

20

Direktorat Jendral Perhubungan Laut

Jl. Medan Merdeka Timur No.5

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

21

Gedung Mentri Negara Kependudukan Dan Urusan Wanita

Jl. Medan Merdeka Barat No.15

Gambir

Gambir

2

1

Utuh

22

Jembatan Dan Patung Harmoni

Jl. Harmoni

Gambir

Gambir

3

1

Utuh

23

Rumah Kediaman Keluarga DR Mohammad Hatta

Jl. Diponegoro No.57

Menteng

Menteng

2

1

Utuh

24

Kompleks Halaman Gedung Proklamasi (Monumen Proklamasi)

Jl. Proklamasi No. 56

Menteng

Menteng

3

1

Utuh

25

Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Jl. Imam Bonjol No.1

Menteng

Menteng

2

1

Utuh

26

Masjid Cut Mutiah

Jl. Taman Cut Mutia No.1

Gondangdia

Menteng

2

1

Utuh

27

Museum Joang '45

Jl. Menteng Raya No.31

Menteng

Menteng

2

1

Utuh

28

Museum Sasmita Loka Ahmad Yani

Jl. Lembang No.58

Menteng

Menteng

2

1

Utuh

29

Gedung Kediaman Alm. Jendral MT Haryono

Jl. Prambanan No.8

Menteng

Menteng

2

1

Utuh

30

Gedung Kediaman Alm. Letnan Jendaral Suprapto

Jl. Basuki No.19

Menteng

Menteng

2

1

Utuh

31

Gedung Kediaman Alm. Mayor Jendral S. Parman

Jl. Syamsurizal No. 32

Menteng

Menteng

2

1

Utuh

32

Gedung Kediaman Alm. Brigjen Sutoyo

Jl. Sumenep No. 18

Menteng

Menteng

2

1

Utuh

33

Gedung Laboratorium Mikrobiologi UI

Jl. Cikini No. 13

Cikini

Menteng

2

1

Utuh

34

Mesjid Al-Makmur

Jl. Raden Saleh Raya No. 30

Cikini

Menteng

2

1

Utuh

35

Rumah Sakit Cikini (Raden Saleh)

Jl. Raden Saleh Raya No. 40

Cikini

Menteng

2

1

Utuh

36

Gedung SMPN I Cikini

Jl. Cikini Raya No. 87

Cikini

Menteng

2

1

Utuh

37

Gedung Kantor Imigrasi

Jl. Teuku Umar No. 1

Gondangdia

Menteng

2

1

Utuh

38

Asrama Wanita IWKI

Jl. Menteng Raya No. 37

Kebon Sirih

Menteng

2

3

Dihapus

39

Bioskop Megaria 21

Jl. Cikini No. 21

Cikini

Menteng

2

1

Utuh

40

Hotel Indonesia

Jl. MH. Thamrin No. 54

Menteng

Menteng

2

1

Utuh

41

Museum Sumpah Pemuda

Jl. Keramat Raya No. 106

Kramat

Senen

2

1

Utuh

42

Gedung Muhammad Husni Thamrin/Gedung Kenari

Jl. Kenari II No. 15

Kenari

Senen

2

1

Utuh

43

Gedung Pancasila/Departemen Luar Negeri

Jl. Pejambon No. 6

Senen

Senen

2

1

Utuh

44

Gedung BP7

Jl. Pejambon No. 2

Senen

Senen

2

1

Utuh

45

Museum Kebangkitan Nasional 45

Jl. Dr. Abdul Rachman Saleh No. 26

Senen

Senen

2

1

Utuh

46

Masjid Jami Atta'ibin

Jl. Kalilio Senen

Senen

Senen

2

1

Utuh

47

Gedung Departemen Keuangan/Kantor Badan Urusan Piutang Negara

Jl. Prapatan No. 10

Senen

Senen

2

1

Utuh

48

Gedung Fakultas Kedokteran UI

Jl. Salemba Raya No. 4-6

Kenangan

Senen

2

1

Utuh

49

Rumah Sakit Umum Cipto Mangun Kusumo

Jl. Diponegoro No.71

Kenari

Senen

2

1

Utuh

50

Stasiun Kereta Api Pasar Senen

Jl. Stasiun Lama No. 1

Senen

Senen

2

1

Utuh

51

Menara Kemayoran

Komplek Pekan Raya Jakarta (PRJ)

Gunung Sahari

Kemayoran

3

1

Utuh

52

Gereja Kristen Indonesia Kwitang

Jl. Kwitang No. 28

Kwitang

Kemayoran

2

1

Utuh

53

Pizza Hut (Eks Gedung Jaya Gas)

Jl. Senen No. 13

Senen

Senen

2

2

Utuh

54

Mahkamah Agung

Jl. Lapangan Banteng Timur No. 3

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

55

Gedung Departemen Keuangan

Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

56

Gereja Kathedral

Jl. Kathedral No. 7

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

57

Gedung Kesenian Jakarta

Gedung Kesenian No. 1

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

58a

Kantor Berita Antara

Jl. Antara No. 53

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

58b

Museum Graha Bhakti Antara

Jl. Antara No. 61

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

59

Kantor Pos Pasar Baru/Filateli Jakarta

Jl. Pos Utara No. 1

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

60

Mesjid Istiqlal

Jl. Pintu Air

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

61

Gedung STM 1 Budi Utomo

Jl. Budi Utomo No. 5

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

62

Gedung SMA 1 Budi Utomo

Jl. Budi Utomo No. 7

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

63

Gedung SMKK Negeri Jakarta

Jl. DR. Sutomo No. 1

Pasar Baru

Sawah Besar

2

1

Utuh

64a

Bangunan No. 23, 25, 27

Jl. Antara No. 23, 25, 27

Pasar Baru

Sawah Besar

2

2

Utuh

64b

Bangunan No. 29-31

Jl. Antara No. 29-31

Pasar Baru

Sawah Besar

2

2

Utuh

64c

Bangunan No. 51

Jl. Antara No. 51

Pasar Baru

Sawah Besar

2

2

Utuh

64d

Bangunan No. 55

Jl. Antara No. 55

Pasar Baru

Sawah Besar

2

2

Utuh

65a

Bangunan No. 2

Jl. Pasar Baru No. 2

Sawah Besar

Sawah Besar

2

2

Utuh

65b

Bangunan No. 8

Jl. Pasar Baru No. 8

Sawah Besar

Sawah Besar

2

2

Utuh

65c

Bangunan No. 30

Jl. Pasar Baru No. 30

Sawah Besar

Sawah Besar

2

2

Utuh

65d

Bangunan No. 46

Jl. Pasar  Baru No. 46

Sawah Besar

Sawah Besar

2

2

Utuh

66

Gedung MPR/DPR

Jl. Jend. Gatot Subroto

Gelora

Tanah Abang

2

1

Utuh

67

Kompleks Gelora Bung Karno

Jl. Kompleks Stadion Utama Senayan

Gelora

Tanah Abang

2

1

Utuh

 

 

[i] Identitas sebuah kota dapat ditelusuri melalui tatanan dan fungsi kehidupan kota secara integrasi yang di dalamnya merupakan akumulasi dari nilai-nilai sosio-kultural warga kota sebagai ruh dan jati diri kota, serta elemen-elemen fisik lingkungan sebagai wadahnya (Amar, 2009: 55). Kota-kota kolonial di Hindia Belanda awal abad ke 20 menjadi perkembangan sejarah Indonesia, tidak hanya sebagai pemukiman modern baru atas kemajuan ekonomi, teknologi, tetapi basis sebuah peradaban yang di dalamnya terdapat pengalaman sosial, politik, dan ekonomi yang berbeda serta termasuk ketegangan dan pertentangan kepentingan di antara penduduk yang bermukim di dalamnya (Kanumoyoso, et al., 2018: i)

 

[ii] Di daerah Batujaya, Karawang, Jawa Barat terdapat selain terdapat kompleks percandian Batujaya dari masa Tarumanegara (abad ke 4-6) terdapat juga peninggalan-peninggalan pada akhir masa prasejarah (protosejarah) berupa gerabah-gerabah, manik-manik dan lain-lain yang dikategorikan sebagai Kebudayaan Buni. Budaya Buni ini dianggap sebagai  masa peralihan dari masa prasejarah ke masa Hindu-Budha. Penemuan budaya Buni lain juga di temukan di daerah Tanjungpriok, dan juga Prasasti Tugu dari abad ke 4-6. Lebih lanjut tentang percandian Batujaya lihat: Hasan Djafar (2010).