KAJIAN UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK PADA PENULISAN
PUSTAHA LAKLAK PODA NI TABAS NA RAMBU DI PORHAS
INTRINSIC AND EXTRINSIC ELEMENTS STUDY IN PUSTAHA LAKLAK PODA NI TABAS NA RAMBU DI PORHAS WRITING
Churmatin Nasoichah1; Manguji Nababan2; Tomson Sibarani3;
dan Mehammat Br. Karo Sekali4;
1Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi No. 1, Tanjung Selamat
Medan Tuntungan, Medan, Sumatera Utara
2Universitas Nomensen, Sumatera Utara
3Balai Bahasa Sumatera Utara
4Taman Budaya Prov. Sumatera Utara
Reception date : 05/01/2020 |
Last Revision: 11/04/2020 |
Acceptation date: 13/04/2020 |
Published: 26/05/2020 |
To Cite this article : Nasoichah, Churmatin, Manguji Nababan, Tomson Sibarani and Mehammat Br. Karo Sekali. 2020. “KAJIAN UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK PADA PENULISAN PUSTAHA LAKLAK PODA NI TABAS NA RAMBU DI PORHAS.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 23(1). Medan, Indonesia, 18-27. https://doi.org/10.24832/bas.v23i1.382. |
Abstracts
Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas is a Mandailing literary work whose contents are about spells. There are two elements in studying literature, namely intrinsic and extrinsic elements. The problem of this research is how the intrinsic and extrinsic elements Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas? The aim is to describe the intrinsic and extrinsic elements of the ancient manuscripts. The research method used is a qualitative descriptive method. the advice of the Rambu Di Porhas mantra against the enemy This ancient manuscript shows that the writer was a clever person, very important and influential in ritual activities. In terms of typography, this manuscript was written using the Batak script (tulak-tulak). Not beheading of words and pause. Enjambemen in this manuscript is still visible even if it does not match the lines or punctuation marks. Akuilirik and at the same time the writer of the manuscript was discovered by the use of first person singular pronouns and first person singular pronouns. Rhyme is not found in this text. People who have we are knowledgeable and great. The variety of languages used is hata sibaso or hato hadatuan. This pustaha was written in Mandailing at the time of the influence of Islam and colonial religion in Mandailing but the people still adhere to the beliefs of ancestral spirits. Habits of war between the huta or other ethnic groups are also clearly illustrated from the contents of the pustaha which mostly contains spells and predictions.
Keywords: intrinsic element; extrinsic element; Pustaha Laklak; spell
Abstrak
Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas merupakan karya sastra masyarakat Mandailing yang isinya tentang mantra. Terdapat dua unsur dalam mengkaji karya sastra yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana bentuk unsur intrinsik dan ekstrinsik Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas? Tujuannya untuk mendeskripsikan unsur intrinsik dan ekstrinsik naskah kuno tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pustaha laklak ini bertema nasihat dari mantra Rambu Di Porhas untuk melawan musuh. Naskah kuno ini memperlihatkan bahwa penulis merupakan orang yang pintar, sangat penting dan berpengaruh dalam kegiatan ritual. Dari sisi tipografi, naskah ini ditulis menggunakan aksara Batak (tulak-tulak). Tidak ditemukan pemenggalan kata dan jeda. Enjambemen pada naskah ini tetap terlihat meskipun tidak sesuai dengan baris ataupun tanda baca. Akuilirik dan sekaligus penulis naskah ditemukan dengan adanya penggunaan kata ganti orang pertama tunggal dan kata ganti milik orang pertama tunggal. Rima tidak ditemukan pada naskah ini. Citraan penulis digambarkan sebagai orang yang memiliki pengetahuan luas dan hebat. Ragam bahasa yang digunakan adalah hata sibaso atau hato hadatuan. Pustaha ini ditulis di Mandailing pada waktu pengaruh agama Islam dan kolonial di Mandailing namun masyarakatnya masih menganut kepercayaan roh leluhur. Kebiasaan perang antar huta atau etnis lain juga tergambar jelas dari isi pustaha yang sebagian besar berisi mantra dan ramalan.
Kata kunci: unsur intrinsik; unsur ekstrinsik; pustaha laklak; mantra
PENDAHULUAN
Naskah kuno merupakan karya sastra yang ditulis menggunakan tangan pada media seperti kulit kayu, lontar, maupun kertas. Munculnya naskah kuno sebagai karya sastra berhubungan erat dengan tradisi menulis-membaca di kalangan masyarakat di masa lalu. Naskah kuno memiliki jumlah yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan bentuk peninggalan artefak lainnya di Nusantara seperti candi, arca, mesjid, benteng, dan lainnya (Ikram 1997, 24). Selain itu, naskah kuno juga mengandung makna dan cakupan yang lebih luas karena merupakan hasil dari kisah atau sejarah dalam berbagai karakter sosial dan budaya suatu masyarakat tertentu pada suatu masa (Baried 1994, 2).
Salah satu naskah kuno yang perlu untuk dikaji adalah Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas. Pustaha Laklak ini merupakan naskah kuno beraksara Batak (atau dalam masyarakat Mandailing disebut dengan aksara tulak-tulak) yang kini disimpan di bagas godang[i] desa Huta Godang, kecamatan Ulu Pungkut, kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara. Pustaha Laklak ini berbentuk persegi yang terbuat dari kulit kayu dilipat-lipat berwarna coklat kekuningan (laklak) dengan sampul berwarna hitam (lampak), yang ditulis dengan tinta hitam berbahan getah. Pustaha ini memiliki ukuran panjang 22, 5 cm, lebar 12 cm, tebal 7 cm, panjang keseluruhan naskah 555 cm, jumlah halaman 106 yang ditulis bolak balik 25 lipatan. Pustaha ini ditulis menggunakan aksara Batak (tulak-tulak) dan bahasa Mandailing. Kondisi pustaha sudah rapuh dan beberapa bagian tulisan tintanya hilang/mengelupas sehingga tidak terbaca lagi (Nasoichah et al. 2017, 8). Alih aksara dan alih bahasa dibagi menjadi beberapa bagian yaitu bagian depan (sisi 1) berjumah 39 lembar, bagian depan (sisi 2) berjumlah 6 lembar, bagian belakang (sisi 1) berjumlah 10 lembar, dan bagian belakang (sisi 2) berjumlah 51 lembar. Masing-masing lembar memiliki variasi jumlah baris mulai dari 4 baris sampai baris terbanyak berjumlah 19 baris.
Gambar 1. Pustaka laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas
(Sumber: Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019)
Naskah kuno Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini merupakan salah satu bentuk karya sastra yang dimiliki masyarakat Mandailing karena isinya berkaitan dengan mantra-mantra. Mantra biasanya digunakan apabila masyarakat mengalami gangguan kehidupan seperti orang sakit, munculnya hama saat bertanam, kemarau panjang, maupun peristiwa lainnya yang menyulitkan kehidupan. Umumnya masyarakat memohon kepada pawang, dukun, atau orang pintar untuk menyampaikan mantranya dalam mengatasi kesulitan tersebut (Zulfahnur 2016, 1.3). Mantra merupakan karya sastra lama atau disebut juga dengan puisi tertua di Nusantara yang umumnya berisi pujian pada yang gaib atau yang harus dikeramatkan seperti roh, dewa, binatang, pohon ataupun Tuhan. Mantra merupakan puisi magis sebagai alat untuk mewujudkan keinginan dengan cara diluar kemampuan manusia pada umumnya. Bila dalam kehidupan manusia mendapatkan masalah yang sulit untuk dipecahkan maka mereka akan menggunakan mantra agar tujuannya tercapai (Setiadi and Firdaus 2015, 380).
Mantra, pelet, doa, pantun, dongeng, balada, dan mite merupakan bentuk karya sastra yang banyak ditemukan di Nusantara pada masa lampau. Terdapat dua unsur pembangun dalam mengkaji karya sastra baik itu lama maupun modern yang didalamnya membedakan antara bentuk dan isinya. Dua unsur pembangun tersebut yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik memiliki ciri konkrit, yang meliputi jenis sastra (genre), perasaan, pikiran, gaya bahasa, alur, dan strukturnya (Pradopo 2003, 4) sedangkan unsur ekstrinsik merupakan unsur yang secara eksplisit tidak tertulis dan tidak langsung memengaruhi sistem dalam karya sastra tersebut (Nurgiyantoro 2002, 23).
Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk unsur pembangun (intrinsik dan ekstrinsik) Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas? Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan mendeskripsikan unsur pembangun (intrinsik dan ekstrinsik) Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas.
Karya sastra adalah ungkapan sesuatu yang dapat dilihat, dirasakan dan dihayati oleh seseorang terkait sesuatu yang menarik dari aspek-aspek kehidupan yang disampaikan melalui bahasa (Hardjana 1985, 10). Karya sastra merupakan hasil dari rangkaian kata-kata. Bangunan yang disebut karya sastra berupa satu kesatuan untuh yang terdiri dari unsur-unsur sastra. Unsur-unsur sastra itu saling terkait dan sekaligus saling menggantungkan. Unsur-unsur tersebut berupa unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik (Widayat 2006, 22–23).
Unsur intrinsik terdiri dari tema, peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya (Nurgiyantoro 2002). Menurut Stanton (1965) dalam Suwondo (1994) mendefinisikan bahwa unsur intrinsik terdiri dari tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Dalam kaitannya dengan mantra yang merupakan bagian dari bentuk puisi, unsur intrinsik terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa (Zulfahnur 2016, 4.5).
(1) Tema, merupakan sesuatu yang menjadi dasar sebuah cerita. (2) Amanat, dituliskan pada suatu karya sebagai pesan penulis kepada pembaca. (3) Sikap atau nada penulis, tercermin di dalam karya sastra karena sikap penulis turut menentukan nada pada setiap karyanya. (4) Perasaan penulis, dapat membedakan satu penulis dengan penulis lainnya dalam memilih kata. Pandangan hidup dan pengalaman seorang penulis berperan erat dalam membedakan karakter suatu karya. (5) Tipografi, tidak membentuk rangkaian secara sintaksis namun membentuk bait yang tersusun ke bawah. (6) Enjambemen, yaitu bagian kalimat yang dipindahkan ke baris berikutnya yang fungsinya memberikan efek makna serta kedekatan hubungan makna antarlarik. (7) Akulirik, yaitu tokoh yang berbicara dalam karya sastra tersebut dan tidak selalu identik dengan penulis. (8) Rima, yaitu persamaan bunyi berulang dan teratur yang letaknya berdekatan pada satu larik atau antar larik. (9) Citraan, yaitu sesuatu yang dapat dilihat di dalam pikiran. (10) Gaya bahasa, berfungsi menghimbau pancaindra pembaca agar lebih cepat dapat memahami puisi (Zulfahnur 2016, 4.3-4.11).
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang dikemukakan namun tersirat dalam karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik secara tidak eksplisit telah memengaruhi sistem karya sastra tersebut meskipun tidak disebutkan unsur-unsurnya di dalam karya sastra (Nurgiyantoro 2002, 23). Unsur ekstrinsik juga sangat penting keberadaannya karena suatu karya sastra tidak mungkin dibuat atau ditulis tanpa adanya budaya yang melatarbelakanginya (Nurgiyantoro 2002, 24).
METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan dengan memaparkan dan menganalisis naskah kuno Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas. Hal yang dideskripsikan dalam penelitian ini berupa unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam naskah kuno tersebut. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan tujuan untuk mendeskripsikan tema, amanat, sikap atau nada, perasaan, tipografi, ejambemen, akulirik, rima, citraan, gaya bahasa serta aspek sosial dan budayanya yang terdapat dalam naskah kuno Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Unsur Intrinsik
Karya sastra berupa Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini apabila dilihat dari unsur intrinsiknya, terdapat beberapa hal yang dapat dikaji di antaranya:
Tema
Tema cerita merupakan makna keseluruhan cerita yang tersirat atau persoalan pokok yang mendasari suatu karya sastra. Setelah dilakukan alih bahasa, dapat diketahui bahwa judul pada pustaha laklak ini seharusnya tidak “Poda Ni Tabas” (artinya: ini adalah nasehat), namun “Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas” (artinya: ini adalah nasehat dari mantra Rambu Di Porhas). Sebagaimana yang terlihat pada isi naskah pada bagian depan (sisi 1) pada lembar 1 baris 1 yang berbunyi poda ni tabas na rambu di porhas ma i non yang artinya ‘ini adalah nasihat dari mantra rambu di porhas’. Naskah berjudul “Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas” ini dapat sekaligus menjadi tema pokok dalam penulisan naskah kuno tersebut karena disebutkan adanya nasehat dari mantra rambu di porhas untuk melawan musuh. Selain tema pokok, pada bagian isi naskah terdapat beberapa sub-tema, di antaranya: doa kepada debata dan roh nenek moyang rambu di porhas, permintaan untuk menyerang musuh, nasihat-nasihat, ramuan-ramuan, mantra, nama bulan dan hari dalam kalender Batak, ramalan dan hari baik.
Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca melalui karyanya. Dalam karya sastra lama seperti naskah kuno Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini amanat biasanya disampaikan langsung oleh penulis di dalam karyanya. Terdapat beberapa bagian pada teks naskah kuno tersebut yang menyebutkan beberapa nasihat-nasihat di antaranya:
Bagian Depan (Sisi 1)
· Ramalan dan nasihat dengan melihat beberapa tanda dari seekor ayam.
· Ramalan dan nasihat membunuh dari Ompung Rambu Di Porhas berdasarkan penghitungan bulan dengan syarat ayam.
· Ramalan dan nasihat sakit dari Ompung Rambu Di Porhas berdasarkan penghitungan hari.
· Ramalan dan nasihat luka dari Ompung Rambu Di Porhas berdasarkan penghitungan hari.
· Ramalan dan nasihat lainnya berdasarkan hari, saat siang hari, dan arah mata angin.
· Ramalan dan nasihat-nasihat untuk menghadapi musuh.
Bagian Depan (Sisi 2)
· Ramalan dan nasihat setelah berperang
· Ramalan dan nasihat saat berperang dari Ompung Rambu Di Porhas berdasarkan hari baik.
· Ramalan dan nasihat saat berperang dari Ompung Rambu Di Porhas berdasarkan hari baik, waktu (pukul /jam), dan arah mata angin.
· Ramalan dan nasihat saat berperang dan mengungsi berdasarkan tanda dari Naga Bosar.
Bagian Belakang (Sisi 1)
· Ramalan dan nasihat saat berperang dan mengungsi berdasarkan tanda dari Naga Bosar.
· Ramalan dan nasihat saat berperang dan mengungsi berdasarkan tanda dari Pane Nabolon.
· Ramalan dan nasihat berdasarkan ayam dan arah mata angin.
· Ramalan dan nasihat berdasarkan rumah-rumah guru, raja, panglima, dan lainnya.
· Ramalan dan nasihat berdasarkan kain.
· Ramalan dan nasihat berdasarkan jalan.
· Ramalan dan nasihat berdasarkan rumah kain.
· Ramalan dan nasihat berdasarkan sirih.
· Ramalan dan nasihat berdasarkan beras.
· Ramalan dan nasihat berdasarkan binatang dan langit.
Bagian Belakang ( Sisi 2 )
· Ramalan dan nasihat berdasarkan hari
Dilihat dari isi Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini sebagian besar berisi tentang nasihat-nasihat dari sang datu yang dikaitkan dengan ramalan-ramalan. Nasihat-nasihat tersebut dilakukan agar tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud yaitu mengalahkan musuh.
Sikap dan Perasaan
Sikap sangat berkaitan erat dengan tema dan amanat. Sikap penulis turut menentukan nada yang tertuang di dalam karya sastra Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini. Sedangkan perasaan penulis merupakan sesuatu yang selalu terekspresikan dalam karya-karyanya yang membedakannya dengan penulis lain dalam pemilihan kata. Latar belakang kehidupan penulis juga turut berperan dalam membedakan karakter suatu karya meskipun sedang menggambarkan objek yang sama.
Pustaha laklak yang isinya merupakan mantra, ramalan dan nasihat ini memperlihatkan bahwa penulis merupakan orang yang pintar, sangat penting dan berpengaruh dalam kegiatan ritual tersebut sehingga dia harus bersikap dalam memposisikan dirinya sebagai pemimpin sekaligus datu yang harus dipatuhi oleh masyarakat atau pengikutnya. Datu tersebut menunjukkan keseriusannya dalam berdoa dan memohon kepada debata dan ompung batara guru. Hal ini ditemukan pada bagian depan sisi 1 yang juga merupakan bagian pembukaan, di antaranya:
· Pembuka, penulis (datu) doa dan memohon kepada debata, Ompung Batara Guru, Ompung Rambu Di Porhas, serta roh-roh lainnya.
· Memanggil debata, Ompung Rambu Di Porhas dan roh-roh lainnya untuk membantu mengalahkan musuh.
· Meminta dan memanggil Ompung Rambu Di Porhas, ompung-ompung dan debata-debata dari segala penjuru mata angin.
Bahkan dalam ritual tersebut datu juga memposisikan dirinya telah menyatu dengan Ompung Batara Guru, seperti yang tertulis pada teks bagian pembuka lembar kedua berikut ini:
ahu da ompung batara guru ahu ma na pipot hamu dibata sitongha pipot au ma na linglu ama sitongha lilu ahu ma na tarpangan habangkean hamu sitongha habangkean au ma na tarpangan
‘sayalah ompung batara guru, akulah yang menjagai kalian dibatasi, manjaga yang keliru dan menjagai bayangan. sayalah yang kena kematian, kalian tidak kena kematian yang berasal dari makanan’
Tipografi
Tipografi dibuat dengan sengaja oleh penulis untuk memperkuat tema karyanya serta mendukung luapan perasaan penulis. Tipografi menjadi ciri khas suatu karya sastra pada periode tertentu. Pada kaitannya dengan Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini ditulis dengan menggunakan aksara Batak atau masyarakat Mandailing menyebutnya dengan aksara tulak-tulak. Pustaha laklak berbahan kulit kayu dan ditulis menggunakan aksara Batak atau tulak-tulak ini sangat lazim digunakan oleh masyarakat Mandailing atau Batak terutama pada abad 18 sampai awal abad 20 Masehi. Umumnya pustaha laklak tersebut berisi mantra, ramalan, ramuan-ramuan maupun nasihat-nasihat.
Pada penulisan naskah tersebut tidak ditemukan pemenggalan kata sehingga penterjemah harus mampu memenggal kata dalam proses alih bahasanya. Selain itu tidak ditemukan juga adanya jeda atau batas antar bait sehingga terlihat seperti penulisan sebuah prosa. Namun demikian Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini secara garis besar dibagi menjadi 4 bagian di antaranya lembar 1 atau sisi depan terdiri dari 2 bagian sehingga tulisannya terlihat terbalik dan sebagai pembatasnya diberikan tempat kosong. Begitu juga dengan lembar 2 atau sisi belakang juga terdiri dari 2 bagian.
Enjambemen
Penciptaan enjembemen tidak memiliki aturan yang khusus, penulis dapat menggunakan enjambemen pada karyanya untuk menciptakan efek tertentu atau bahkan tidak ingin menggunakannya. Enjambemen muncul ketika dilakukan pembacaan dan terasa bahwa pembacaan larik tersebut harus menyatu dengan larik berikutnya. Jika dilakukan pemenggalan pembacaan atau diberi penanda jeda pada akhir larik tersebut makna karya akan menjadi tidak utuh.
Enjambemen pada Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini justru terlihat seperti prosa karena akhir tiap baris tidak ada penanda atau bahkan berupa kalimat bersambung yang terus dilanjutkan pada baris berikutnya. Namun demikian enjambemen tetap terlihat meskipun tidak sesuai dengan baris ataupun tanda baca, misalnya di kalimat pembuka pada lembar 1 berikut ini:
poda ni tabas na rambu di porhas ma i non
ini adalah nasihat dari mantra rambu di porhas
asa turun ma dabata di atas
turunlah debata di atas
ma nang he hamu di bata di toru
bangunlah kalian debata di bawah
humundul hamu di bata di tonga
duduklah kalian debata di tengah
asa turun mahamu digurunghu na gusong ta na gurusong tisongti do
serta turunlah kalian guruku yang sakti
Akulirik
Akulirik yaitu tokoh yang berbicara dalam karya sastra yang tidak selalu identik dengan penulisnya. Penulis dapat bertindak sekaligus sebagai akulirik. Kata ganti orang yang sering dipergunakan akulirik antara lain aku, kami, dan kita. Pada Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini akuilirik ditemukan dengan banyaknya menggunakan kata ganti orang pertama tunggal ‘aku’ dan kata ganti milik orang pertama tunggal ‘ku’, misalnya pada bagian depan lembar 3 berikut ini:
ru humundul hamu dibata di tonga asa turun ma hamu digurunghu nagurunghu
duduklah debata di tengah, turunlah kalian guruku,
ta naguru songhi songta songti do ahumi si miyak baja ni da ompung ram
guruku yang sangat bagus dan sakti, aku mengisi minyak baja ompu rambu
bu porhas na haturun ha oloan hung da upinda upinda u po
porhas yang dimaui kemudian berpindah-pindah
Akuilirik pada Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini sekaligus penulis naskah. Penulis merupakan seorang datu yang bertindak sebagai pelaku ritual dalam adat Mandailing dan Ompung Rambu Di Porhas sebagai objek dari kegiatan ritual tersebut. Dalam naskah kuno tersebut terlihat jelas sang penulis (datu) banyak berdoa dan memohon kepada Ompung Rambu Di Porhas untuk meminta bantuan dan keselamatan agar bisa mengalahkan musuh dan memenangkan peperangan sehingga banyak ditemukan akuilirik yang menggunakan kata ganti orang pertama tunggal ‘aku’ dan kata ganti milik orang pertama tunggal ‘ku’. Penulis/datu yang bertindak sebagai akuilirik tersebut digambarkan sebagai tokoh yang sangat kuat dan dihormati oleh masyarakat pada kampung/huta tersebut.
Rima
Rima berfungsi memberikan keindahan rasa dan nada dalam sebuah karya sastra seperti puisi. Simbol rima ditandai dengan abjad a-b-c-d dan seterusnya, untuk menandai adanya bunyi yang sama. Rima disebut juga persajakan yang terdiri dari sajak awal, sajak dalam, sajak tengah, dan sajak akhir. Pada Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini tidak ditemukan rima pada setiap barisnya karena bentuknya seperti prosa yang kalimatnya bisa berlanjut pada baris berikutnya.
Citraan
Penulis menghasilkan karya sastra tidak sekedar untuk dibaca namun juga untuk dipahami dan dihayati oleh pembacanya. Pada Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini penulis yang tidak lain adalah seorang datu berharap agar pembaca atau dalam hal ini masyarakat di huta sebagai pengikut atau penganut datu tersebut mampu memahami, menghayati dan melaksanakan semua yang diamanahkan atau diperintahkan oleh sang datu dengan sungguh-sungguh sehingga tujuannya dapat tercapai.
Salah satu upaya penulis agar pembaca mampu memahami dan menghayati karya sastra adalah melalui penggunaan citraan-citraan yang kuat dengan pilihan kata-kata yang tepat agar dapat menimbulkan kilasan gambaran dalam pikiran pembaca. Pada Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini penulis menggambarkan dirinya sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas. Penulis menggambarkan dirinya mampu berkomunikasi dengan dewa atau batara yang mana kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh setiap orang. Dewa atau batara yang dalam pustaha laklak ini dinamakan Ompung Rambu Di Porhas merupakan sosok dewa atau batara yang disembah oleh penulis/datu dan bersedia melaksanakan semua yang diperintahkan ataupun yang dilarang oleh sang dewa atau batara demi tujuan tercapai yaitu mengalahkan musuh.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan cara yang digunakan penulis untuk memberikan kesan indah pada karyanya. Gaya bahasa berfungsi agar pembaca lebih cepat dapat memahami karya sastra. Penulis berusaha memanfaatkan kekayaan bahasa yang dimilikinya untuk menghasilkan karya yang bagus. Pada Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini merupakan naskah yang berisi doa dan mantra yang ditulis menggunakan bahasa Mandailing. Bahasa Mandailing mempunyai irama yang lebih lembut. Sesuai pemakaiannya, menurut paparan (Lubis 1994, 44) bahwa dalam bahasa Mandailing dikenal lima ragam bahasa di antaranya:
1. Hata sibaso atau hato hadatuan, yang khusus digunakan oleh sibaso (tokoh syaman) dan datu;
2. Hata andung, berupa sastra yang biasa;
3. Hata parkapur, yang pada masa lalu khusus digunakan oleh masyarakat Mandailing ketika berada di hutan;
4. Hata somal, yang dipergunakan sehari-hari;
5. Hata teas dohot jampolak, yang khusus digunakan untuk mencaci maki, misalnya saat terjadi pertengkaran.
Terkait penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu ini menggunakan ragam bahasa hata sibaso atau hato hadatuan, yaitu ragam bahasa yang khusus digunakan oleh sibaso (tokoh syaman) dan datu.
Unsur Ekstrinsik
Karya sastra Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini apabila dilihat dari unsur ekstrinsiknya terdapat beberapa hal yang dapat dikaji di antaranya:
Latar Belakang Kehidupan Pengarang
Latar belakang kehidupan seorang penulis merupakan faktor yang dapat mempengaruhi atau memotivasinya dalam menuliskan suatu karya. Latar belakang pengarang dapat berupa pemahaman terhadap riwayat hidup serta riwayat karya-karya sebelumnya. Latar belakang pengarang dapat terdiri dari kondisi psikologi, biografi dan aliran sastranya. Biografi merupakan penjelasan terkait kehidupan seseorang. Biografi tidak hanya daftar tanggal lahir atau data-data pekerjaan seseorang, namun pengalaman terhadap berbagai peristiwa-peristiwa hidupnya. Kondisi psikologis berupa motivasi penulis saat membuat karyanya. Aliran sastra merupakan panutan yang diyakini penulis.
Penulis dari Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini adalah seorang datu yang juga merupakan pemimpin ritual pada huta tersebut. Datu dalam masyarakat Mandailing dan masyarakat Batak pada umumnya adalah seorang yang memiliki kekuatan lebih dan dianggap sebagai pemimpin dalam suatu huta. Dalam penulisan sebuah pustaha laklak, hanya seorang datu lah yang bisa menuliskannya. Seorang datu merupakan penulis profesional dan dalam lapisan masyarakat datu memiliki mobilitas yang tinggi. Sesorang murid (sisean) akan merantau cukup jauh hanya karena ingin berguru dengan seorang datu (Kozok 1999, 17).
Latar Tempat dan Waktu
Pada Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini memiliki latar tempat yaitu di tanah Mandailing, namun lokasi tepatnya tidak tergambarkan dengan jelas dalam penulisan naskah tersebut. Apabila disesuaikan dengan tempat atau lokasi pustaha laklak ini disimpan maka kemungkinan besar latar tempatnya berada di desa Huta Godang, kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Terkait dengan latar waktu, dalam penulisan pustaha laklak tersebut memang tidak disebutkan adanya angka tahun pembuatannya. Adanya beberapa kalimat mantra seperti “pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa” (lembar 4, bagian depan sisi 1), penyebutan kata debata dan batara guru di beberapa baris serta nama-nama hari yang merupakan adopsi dari bahasa Sansekerta menunjukkan bahwa pustaha laklak tersebut telah banyak mendapat pengaruh dari masa Hindu-Buddha yang pernah berkembang di wilayah Mandailing. Namun tidak hanya pengaruh Hindu-Buddha saja yang terlihat dalam penulisan pustaha laklak tersebut. Adanya penyebutan mantra “panguison bitsumirlairahoman irahomin” dilanjut dengan “lailailailailailillapatimandara puruulla” menunjukkan bahwa pengaruh Islam sudah ada juga pada masa itu. Terdapatnya kata bodil di beberapa baris naskah juga menunjukkan bahwa pengaruh kolonial sudah ada di wilayah Mandailing tersebut. Oleh sebab itu terkait latar waktu dapat disimpulkan bahwa Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini memiliki latar waktu setelah masuknya agama Islam dan pengaruh kolonial di Mandailing atau sekitar abad 18 sampai awal abad 20 Masehi.
Dari naskah kuno tersebut juga dapat diketahui bahwa masyarakat Mandailing tersebut masih menganut kepercayaan leluhurnya meskipun pengaruh Islam dan kolonial sudah ada. Islam tidak serta merta menjadi agama baru bagi masyarakat Mandailing. Kepercayaan terhadap leluhur dalam hal ini Ompung Rambu Di Porhas masih dipercaya mampu membantu mereka dalam mengatasi kesulitan mereka dalam menghadapi musuh dan mereka masih sangat bergantung dengan roh leluhur tersebut. Perang juga masih tergambar jelas di wilayah Mandailing meskipun tidak dijelaskan dengan pasti berperang melawan siapa, apakah sesama masyarakat Mandailing yang berbeda kampung/ huta/ kerajaan, melawan kerajaan dari etnis lain misalnya Pagaruyung, ataukah berperang melawan kolonial.
Nilai-nilai di dalam Karya Sastra
Nilai Agama
Dilihat dari isi Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini terlihat jelas bahwa penulis (datu) dan masyarakat pendukungnya masih menganut kepercayaan roh leluhur seperti Ompung Rambu Di Porhas ataupun roh-roh leluhur lainnya. Adanya pengaruh agama Hindu-Buddha yang pernah berkembang di wilayah Mandailing juga terlihat seperti adanya penyebutan mantra pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa pa, penyebutan nama batara guru dan debata. Namun demikian Islam juga mulai mempengaruhi kehidupan masyarakat tersebut. Hal ini terlihat pada ucapan mantranya yaitu pada kalimat panguison bitsumirlairahoman irahomin dilanjut dengan lailailailailailillapatimandara puruulla.
Nilai Moral
Terkait dengan moral, mungkin untuk masyarakat diluar etnis Mandailing ataupun Batak, kebiasaan seorang datu dalam membantu masyarakatnya untuk mengalahkan musuh merupakan suatu hal yang keji atau kurang beradab. Namun seperti itulah tradisi yang ada dalam masyarakat adat Mandailing maupun yang ada di sub-etnis Batak lainnya. Pemanggilan roh dengan ritual-ritual tertentu, bagaimana cara mengalahkan musuh dengan beberapa ramuan yang sulit untuk didapatkan maupun dengan cara atau alat tertentu merupakan hal yang wajar dan sering ditemukan hampir di seluruh isi pustaha laklak termasuk dalam penulisan Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini.
Nilai Sosial dan Budaya
Sebelum pengaruh Islam masuk ke tanah Mandailing atau sub-etnis Batak lainnya, kebiasaan masyarakatnya sering berpindah-pindah dan membuat suatu kampung/huta yang umumnya berada di tengah hutan. Salah satu huta yang kini telah ditinggalkan menurut masyarakat huta godang adalah huta dolok. Huta tersebut berada ditengah hutan yang kini telah dijadikan kebun karet oleh masyarakat setempat. Di huta dolok atau mungkin di huta-huta sebelumnya yang kemungkinan lebih masuk ke dalam hutan lagi inilah kemungkinan pustaha laklak ini digunakan. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa pustaha tersebut juga masih digunakan di wilayah huta godang.
Dengan kebiasaan atau budaya masyarakat Mandailing yang tinggal di hutan dan selalu berpindah-pindah, menjadikan masyarakatnya sangat bergantung dengan alam. Pemanfaatan jenis-jenis tanaman untuk membuat ramuan, umumnya ditemukan disekitar huta atau yang tumbuh di dalam hutan. Adanya penyebutan ayam menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing sangat familiar dengan binatang ternak ini. Selain itu beberapa binatang buas seperti harimau, gajah, dan yang lainnya menunjukkan keberadaan huta yang berada di dalam hutan. Dengan kondisi bentang alam berupa hutan di pegunungan, juga menjadikan masyarakat Mandailing memiliki solidaritas tinggi dalam satu huta mereka.
Kondisi Lingkungan dan Masyarakat
Masyarakat Mandailing dalam hal ini masyarakat pendukung Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas memiliki ideologi bahwa pada zaman dulu ketika agama Islam belum masuk ke tanah Mandailing, datu adalah pusat atau sekaligus raja bagi mereka. Datu yang juga merupakan pengarang atau penulis pustaha laklak merupakan pemimpin saat ritula/upacara berlangsung. Sedangkan kondisi politik saat itu tergambarkan adanya perang antar huta atau mungkin dengan etnis lain atau bahkan mungkin dengan pihak Kolonial. Bagaimana sang datu menasehati dan meramalkan cara-cara melawan musuh dan harus dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya itu. Perang antar huta sepertinya sering terjadi dalam masyarakat Mandailing pada masa lalu. Hal ini dapat dilihat bagaimana sang datu sangat detail meramalkan kejadian-kejadian baik sebelum berperang, saat berperang maupun setelah berperang. Adanya penyebutan nama-nama bulan, nama-nama hari dan arah mata angin juga menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing sudah sangat baik dalam menguasai ilmu pertanggalan dan perbintangan.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian terhadap unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik Pustaha Laklak Poda Ni Tabas Na Rambu Di Porhas ini diketahui bahwa pustaha laklak tersebut bertema nasihat dari mantra Rambu Di Porhas untuk melawan musuh. Nasihat-nasihat tersebut dilakukan agar tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud yaitu mengalahkan musuh. Dari sikap dan perasaan, naskah kuno ini memperlihatkan bahwa penulis merupakan orang yang pintar, sangat penting dan berpengaruh dalam kegiatan ritual sehingga dia harus bersikap dalam memposisikan dirinya sebagai pemimpin sekaligus datu yang dipatuhi oleh masyarakatnya. Dari sisi tipografi, naskah ini ditulis menggunakan aksara Batak atau masyarakat Mandailing menyebutnya dengan aksara tulak-tulak. Pada penulisan naskah tersebut tidak ditemukan pemenggalan kata dan juga tidak adanya jeda atau batas antar bait. Enjambemen pada naskah ini tetap terlihat meskipun tidak sesuai dengan baris ataupun tanda baca. Akuilirik dan sekaligus penulis pada naskah ini ditemukan dengan banyaknya menggunakan kata ganti orang pertama tunggal ‘aku’ dan kata ganti milik orang pertama tunggal ‘ku’. Rima tidak ditemukan pada naskah ini karena bentuknya seperti prosa yang kalimatnya terus berlanjut pada baris berikutnya. Citraan pada naskah ini digambarkan sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas dan mampu berkomunikasi dengan dewa atau batara yang mana kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh setiap orang. Ragam bahasa yang digunakan pada naskah ini adalah hata sibaso atau hato hadatuan yaitu ragam bahasa yang khusus digunakan oleh sibaso (tokoh syaman) dan datu.
Pustaha ini ditulis di tanah Mandailing pada waktu setelah masuknya pengaruh agama Islam dan kolonial di Mandailing namun masyarakatnya masih menganut kepercayaan roh leluhur. Kebiasaan perang antar huta atau etnis lain juga tergambar jelas dari isi pustaha yang sebagian besar berisi mantra dan ramalan.
DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, cetakan II.
Hardjana, A. 1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. Titik Pudjiastuti. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kozok, Uli. 1999. Warisan Leluhur Sastra Lama Dan Aksara Batak. Jakarta: EFEO dan Kepustakaan Populer Gramedia.
Lubis, Zulkifli. 1994. “Laporan Penelitian:Sistem Medis Tradisional Batak Suatu Kajian Antropologi Terhadap Naskah Kuno Pustaha Dari Sumatera Utara.” Tokyo, Japan.
Nasoichah, Churmatin, Nenggih Susilowati, Repelita Wahyu Oetomo, Taufiqurrahman Setiawan, and Ery Soedewo. 2017. “Sumber-Sumber Tertulis Beraksara Angkola-Mandailing Di Kab. Mandailing Natal, Kab. Tapanuli Selatan, Dan Kab. Padang Lawas Utara.” Berita Penelitian Arkeologi 31: 1–59.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, R.D. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik Dan Penerapannya. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Setiadi, David, and Asep Firdaus. 2015. “Teks Mantra Embeung Beurang Seputar Kehamilan Dan Kelahiran Bayi Di Cidolog Kabupaten Sukabumi.” In Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra Dan Pengajarannya Dalam Paradigma Kekinian, 377–85. Surabaya: Universitas Negeri surabaya.
stanton, robert. 1965. An Introduction to Fiction. new york: holt, rinehart and winston.
Suwondo, Tirto. 1994. “Analisis Struktural: Salah Satu Model Pendekatan Dalam Penelitian Sastra.” In Jabrohim, Ed, Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.
Widayat, Afandy. 2006. Teori Sastra Jawa. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Diktat.
Zulfahnur. 2016. Teori Sastra. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.