FIGUR HEWAN PADA BATU-BATU PIPIH
DI KOMPLEKS PEMAKAMAN SUTAN NASINOK HARAHAP
ANIMAL FIGURES ON THE FLAT STONES IN SUTAN NASINOK HARAHAP CEMETERY
Khairun Nisa1
Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara
Jalan H.M.Joni No. 51, Medan
Reception date : 08/01/2020 |
Last Revision: 15/04/2020 |
Acceptation date: 15/04/2020 |
Published: 26/05/2020 |
To Cite this article : Nisa, Khairun 2020. “FIGUR HEWAN PADA BATU-BATU PIPIH DI KOMPLEKS PEMAKAMAN SUTAN NASINOK HARAHAP.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 23(1). Medan, Indonesia, 46-57. https://doi.org/10.24832/bas.v23i1.369. |
Abstract
The graves at Sutan Nasinok Harahap Cemetery are mounds of soil that surrounded by square flat stones. Apparantly, some of the stones were processed by human hands. Some of them have inscriptions that written in Batak language and alphabet or decorated by various reliefs, although another were left untouched. The purpose of this research is the background of animal figures on the flat stones of Sutan Nasinok Harahap cemetery. Why they choose the images of animals? What are the meaning behind the images? And what is the purposes of the animal reliefs itself? The method of this research are observation, description, and explanation. By using ethnoarchaeological technique, we compare it with the culture of local people and the culture of the Angkola-Mandailing and another Batak communities.
Keywords: animal; grave; ornament; Batak; Angkola.
Abstrak
Makam-makam di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap berupa gundukan tanah yang dipagari oleh batu-batu pipih berdenah persegi. Beberapa di antara batu tersebut tampaknya telah diolah manusia, ada yang bahkan memiliki inskripsi beraksara dan berbahasa Batak dan/atau dihiasi relief beragam bentuk. Sebagian lainnya tidak mengalami proses pengerjaan sama sekali. Adapun tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui latar belakang relief-relief yang menampilkan figur hewan pada batu-batu pipih di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap. Permasalahan yang di angkat antara lain adalah mengapa penggambaran hewan dipilih? Makna apa yang terkandung di dalamnya dan apa tujuan dipahatkannya figur hewan tersebut? Penelitian ini akan melewati tahap observasi, deskripsi, dan eksplanasi. Pendekatan yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah etnoarkeologi dengan melakukan perbandingan terhadap budaya yang dikenal masyarakat sekitar serta masyarakat Angkola-Mandailing dan masyarakat Batak lainnya.
Kata kunci: hewan; makam; ornamen; Batak; Angkola.
PENDAHULUAN
Sutan Nasinok Harahap adalah tokoh raja yang dikenal oleh marga Harahap di Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara. Tokoh tersebut hingga sekarang masih ‘hidup’ dalam masyarakat Batang Onang, terutama yang bermarga Harahap. Mereka meyakini bahwa marga Harahap di Kecamatan Batang Onang merupakan keturunan dari Sutan Nasinok Harahap.
Narasumber di lapangan, Bapak Sutan Hamonangan Harahap (67 tahun) yang merupakan salah satu keturunan Sutan Nasinok Harahap mengatakan bahwa nama Nasinok berasal dari bahasa Batak yang berarti ‘tidur nyenyak’ atau ‘terlelap,’ berbanding terbalik dengan perilaku semasa hidupnya karena ia lebih suka bekerja membangun kerajaan dibanding beristirahat. Ada banyak versi cerita yang berkaitan dengan Sutan Nasinok Harahap tersebut. Namun pada dasarnya masyarakat setempat meyakini bahwa Sutan Nasinok Harahap berasal dari utara (Batak Toba). Beberapa sumber menyebutkan ayahnya bernama Bangun Naibata Ari Harahap yang membangun perkampungan di Morang (masih di daerah Batang Onang). Akan tetapi stambok Harahap Gunung Tua Batang Onang yang dibuat pada 7 September 1975 menyebutkan bahwa orang tua Sutan Nasinok Harahap bernama Bangun Batari (Nasoichah 2018, 7).
Stambok yang sama juga menyebutkan keturunan ke-9 Sutan Nasinok Harahap yaitu Sutan Katimbung Harahap yang lahir pada 26 April 1894. Informasi lain menyebutkan angka yang lebih tua lagi. Berdasarkan hal tersebut diperkirakan Sutan Nasinok Harahap hidup pada sekitar abad 16 hingga 17 Masehi (Nasoichah 2017, 57). Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara pada tahun 2019 juga menunjukkan adanya dugaan salah satu makam berasal dari periode yang sama. Hal ini utamanya didasarkan pada temuan beberapa fragmen keramik dengan kisaran abad tersebut (Nasoichah et al. 2019, 116).
Sutan Nasinok Harahap keluar dari kampung ayahnya karena setiap anak diwajibkan mendirikan perkampungan masing-masing. Ia mendirikan perkampungan di wilayah Gunung Tua Batang Onang dan dirajakan di sana. Ia beristri dua: Boru Daulae (Daulay) dan Boru Hasibuan. Keturunan Sutan Nasinok dari kedua istrinya tersebut masih menghuni daerah Batang Onang, meski ada juga yang sudah berdiaspora ke berbagai penjuru.
Salah satu peninggalan Sutan Nasinok Harahap yang masih dapat kita saksikan hingga kini adalah hal yang dianggap masyarakat sekitar sebagai Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap beserta keluarga dan keturunannya. Secara administratif, kompleks pemakaman tersebut berada di perbatasan Desa Padang Garugur dan Desa Gunung Tua Batang Onang yang merupakan bagian dari Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Secara astronomis Kecamatan Batang Onang terletak pada koordinat 1° 13’ 50” dan 1° 26’ 03” Lintang Utara serta 99° 20’ 44” dan 99° 37’ 42” Bujur Timur. Termasuk di dalamnya 31 desa dan satu kelurahan dengan wilayah seluas 485 km2. Jarak kecamatan ini dengan ibukota kabupaten di Gunung Tua sekitar 50 km (BPS Kabupaten Padang Lawas Utara 2018, 1–4).
Desa Padang Garugur sendiri memiliki luas wilayah 4,50 km² sementara Desa Gunung Tua Batang Onang memiliki luas wilayah 3 km² (BPS Kabupaten Padang Lawas Utara 2018, 6). Pada tahun 2018 kecamatan ini dihuni oleh 14.164 jiwa, 526 di antaranya tinggal di Desa Gunung Tua Batang Onang, sementara Desa Padang Garugur dihuni oleh 1093 orang. Sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian, meski ada juga yang bekerja di bidang manufaktur dan jasa (BPS Kabupaten Padang Lawas Utara 2018, 25–45).
Kelompok etnik yang paling banyak ditemukan di kecamatan ini adalah Angkola (BPS Kabupaten Padang Lawas Utara 2018, 93). Kebanyakan beranggapan bahwa Angkola adalah subetnik Batak yang mendiami daerah Angkola dan Sipirok, sebagian Sibolga dan Batang Toru, serta bagian utara Padang Lawas (Bangun 1987, 94–95). Namun kini istilah Batak sudah jarang dipakai untuk sub etnik di luar Batak Toba, yaitu Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing (Kozok 2009, 11), terutama setelah fenomena bukan Batak sedang populer akhir-akhir ini. Namun para keturunan Sutan Nasinok Harahap masih beranggapan bahwa mereka bagian dari Batak karena adanya tradisi tutur turun-temurun di dalam masyarakat yang meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari (Tapanuli bagian) utara. Angkola sendiri, karena memiliki banyak kesamaan dengan Mandailing, menyebabkan seringkali penyebutan kedua etnik tersebut digabung menjadi Angkola-Mandailing. Selain Angkola, Kecamatan Batang Onang juga dihuni oleh orang-orang Mandailing, Jawa, Nias, dan Batak Toba (BPS Kabupaten Padang Lawas Utara 2018, 93).
Kompleks pemakaman itu sendiri memiliki luas sekitar 7 ha. Makam-makam yang dapat dijumpai di sana berupa gundukan tanah yang dipagari oleh batu-batu pipih berdenah persegi. Beberapa di antara batu-batu tersebut tampaknya telah diolah manusia, ada yang bahkan memiliki inskripsi beraksara dan berbahasa Batak dan/atau dihiasi relief beragam bentuk, meski ada juga yang tidak mengalami proses pengerjaan sama sekali.
Permasalahan yang di angkat antara lain adalah mengapa penggambaran hewan dipilih? Makna apa yang terkandung di dalamnya dan apa tujuan dipahatkannya figur hewan tersebut? Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui latar belakang relief-relief yang menampilkan figur hewan pada batu-batu pipih di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap tersebut.
Upaya memahami permasalahan tersebut dilakukan melalui perbandingan dengan budaya yang dikenal masyarakat sekitar yaitu masyarakat Angkola-Mandailing. Budaya masyarakat Batak lainnya yaitu Pakpak, Karo, Simalungun, dan Batak Toba juga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Relief-relief hewan yang menghiasi batu-batu pipih pada Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap ini akan dibandingkan dengan ornamen-ornamen yang lazim ditemukan di rumah-rumah adat dan benda-benda yang dipakai oleh masyarakat Angkola-Mandailing serta masyarakat Batak lainnya. Selain itu ada pula data wawancara yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara.
METODE
Penelitian arkeologi merupakan sebuah proses yang mencakup tahap observasi, deskripsi, dan eksplanasi. Pada tahap observasi dilakukan pengumpulan data, pada tahap deskripsi dilakukan integrasi data dengan cara menempatkan data yang sudah diperoleh pada waktu dan tempat serta melakukan klasifikasi yang dilanjutkan dengan perbandingan terhadap data lain yang serupa. Pada tahap eksplanasi, inferen dari pola yang terlihat dari data yang sudah diintegrasikan akan digambarkan. Hasil dari penggambaran inilah yang akan digunakan sebagai penjelasan mengenai pola-pola tersebut dalam kebudayaan (Deetz 1967, 8–9).
Penelitian ini juga menggunakan metode yang sama dengan melewati tahap observasi, deskripsi, dan eksplanasi. Pada tahap observasi dilakukan pengumpulan data baik berupa sumber literatur maupun data di lapangan. Sumber literatur tersebut dapat digunakan sebagai pedoman dalam membuat deskripsi di lapangan.
Pada tahap deskripsi dilakukan integrasi data dan hasil dari pengumpulan data akan dianalisis pada tahap ini. Analisis yang digunakan adalah analisis perbandingan atau analogi. Analogi merupakan metode mempersamakan benda yang belum diidentifikasi dengan benda yang sudah diketahui identifikasinya berdasarkan atribut-atributnya.
Penggambaran hewan pada batu-batu pipih di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap tersebut akan dibandingkan dengan ornamen-ornamen yang lazim ditemukan di rumah-rumah adat dan benda-benda budaya masyarakat Angkola-Mandailing dan masyarakat Pakpak, Karo, Simalungun, dan Batak Toba. Perbandingan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Data lain yang juga akan dipakai pada tahap ini adalah data wawancara yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara.
Pada tahap eksplanasi data dilakukan penarikan kesimpulan berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian lalu dikaitkan dengan dua tahap penelitian sebelumnya yaitu pengumpulan dan pengolahan data.
Pendekatan yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah etnoarkeologi. Menurut Haris Sukendar yang dikutip oleh Nenggih Susilowati (2017, 50–51), etnoarkeologi adalah suatu cabang studi arkeologi yang memanfaatkan data etnografi sebagai analogi untuk membantu memecahkan masalah-masalah arkeologi. Data etnografi tersebut diharapkan dapat membantu memahami makna dan fungsi figur hewan yang dipahatkan pada batu-batu pipih di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap yang diperkirakan seluas 7 ha bisa jadi lebih luas dari yang diduga mengingat kawasan sekitarnya sudah banyak yang dialihkan menjadi lahan perkebunan. Batas sisi barat kompleks pemakaman ini adalah Lobu Gunung Tua Batang Onang, bagian timur dibatasi oleh kebun sawit, Lobu Amborlang, dan Gariang (Desa Padang Garugur), sisi utara dibatasi sawah dan kebun karet, sementara batas sisi selatan adalah jalan aspal ke Gariang (Desa Padang Garugur) (Nasoichah et al. 2018, 6).
Gambar 1. Pemetaan melalui foto udara di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap
(Dokumentasi Balai Arkelogi Sumatera Utara, 2017)
Gambar 2. Salah satu makam di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap
(Dokumentasi Balai Arkelogi Sumatera Utara, 2019)
Selain Makam Sutan Nasinok Harahap, pada kompleks pemakaman tersebut terdapat banyak makam lainnya. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara setidaknya terdapat lima puluh hingga enam puluh makam. Masing-masing memiliki kesamaan wujud berupa gundukan tanah yang dipagari oleh batu-batu pipih berdenah persegi, ada yang berhias ada pula yang tidak. Bentuk makam seperti ini dapat pula dijumpai pada Makam Raja Soritaon yang terletak di Desa Padang Bujur, Kecamatan Padang Bolak Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara dan Makam Tuat Sohatembalon Siregar yang terletak di Desa Batu Gana, Kecamatan Padang Bolak Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara (Nasoichah 2017, 59–61).
Makam Sutan Nasinok Harahap terletak di dalam bangunan balai tanpa dinding yang atapnya dibuat menyerupai atap bangunan tradisional Angkola-Mandailing. Makam tersebut berdenah persegi panjang yang dipagari batu-batu pipih, baik yang sudah diolah maupun tidak. Kebanyakan batu tersebut sudah dilapisi cat berwarna putih.
Gambar 3. Batu pipih pada Makam Sutan Nasinok Harahap dengan pahatan unggas
(Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019)
Salah satu batu-batu tersebut memiliki pahatan inskripsi beraksara dan berbahasa Batak yang menyebutkan nama Sutan Nasinok Harahap. Tinggi batu 87 cm (dengan kondisi sebagian batu sudah tertimbun tanah), lebar 104 cm, dan tebal 15 cm (Nasoichah et al. 2018, 10). Selain inskripsi, batu ini juga dihiasi bindu, ornamen berbentuk tumpal yang kemungkinan besar melambangkan konsep dalihan natolu (Tim Peneliti 1980, 127), ornamen sulur-suluran, dan ornamen berupa dua ekor hewan sejenis unggas berkaki dua dengan sayap terkepak, saling berhadapan sedang mematuk sesuatu di tanah. Besar kemungkinan unggas tersebut adalah dua ekor ayam yang sedang mematuk makanan.
Makam lain dengan ornamen yang menggambarkan hewan adalah makam yang terletak di sisi timur bangunan balai. Dapat dikatakan batu pipih yang mengelilingi makam ini memiliki ornamen paling raya. Selain hewan, relief yang terpahat pada batu-batu di makam tersebut di antaranya berupa gong, sulur-suluran, tanaman,dan figur manusia. Relief hewan yang dapat dijumpai pada makam ini di antaranya adalah relief yang menggambarkan seekor hewan berkaki empat pada puncak batu.
Keempat kaki masing-masing dalam posisi menekuk. Pada setiap sisi terdapat dua kaki sehingga terlihat seolah-olah hewan tersebut dalam posisi memeluk batu. Wajah si hewan menghadap utara dengan bagian-bagian yang tidak terlalu jelas namun masih tampak adanya beberapa goresan untuk menggambarkan anatomi wajah seperti mata dan mulut. Terlihat pada bagian depan dan samping yang gempil, sepertinya wajah sudah tidak utuh lagi. Badan berbentuk lonjong dan tidak terlihat adanya goresan atau ornamen pada bagian tersebut, hanya saja terdapat ekor pada bagian belakang.
Gambar 4. Figur hewan berkaki empat
(Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019)
Tinggi batu pipih tersebut sekitar 66 cm, lebarnya 48 cm, dan tebal 17 cm. Merupakan pertanyaan yang sedikit sulit untuk menegaskan jenis hewan yang digambarkan pada batu ini mengingat tidak ada ciri khusus yang terlihat, namun Balai Arkeologi Sumatera Utara mengidentifikasi hewan tersebut sebagai monyet (Nasoichah et al. 2018, 35–36).
Gambar 5 dan 6. Gambaran kepala hewan di atas kepala manusia
(Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019)
Masih di makam yang sama, terdapat gambaran kepala hewan yang dipahatkan pada batu yang sama dengan figur manusia. Tepatnya kepala hewan tersebut berada pada bagian atas kepala manusia. Tinggi batu sekitar 80 cm dan lebar 77 cm serta tebal 25 cm. Kepala hewan itu sendiri berdenah bundar dengan hidung dan dua mata besar. Balai Arkeologi Sumatera Utara mengidentifikasi kepala hewan ini sebagai kepala seekor monyet atau siamang (Nasoichah et al. 2018, 36–37).
Gambar 7. Batu bergambar reptil
(Dok. Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019)
Relief hewan lainnya pada makam ini adalah relief yang menggambarkan seekor reptil, bisa cecak atau kadal. Batu tersebut memiliki tinggi 56 cm, lebar 40 cm, dan tebal 10 cm (Nasoichah et al. 2018, 38). Bagian reptil yang terlihat hanya pada bagian badan hingga kepala saja. Kedua tangan (atau kaki) digambarkan terentang pada masing-masing sisi. Leher dan kepala panjang. Kedua mata digambarkan bulat besar dan moncong runcing.
Relief lain yang bergambar hewan dapat ditemukan pada salah satu makam di sisi barat Makam Sutan Nasinok Harahap. Salah satu batu pipih di makam tersebut memiliki figur seekor hewan berkaki empat yang digambarkan seperti memeluk batu. Kepalanya digambarkan menghadap barat. Balai Arkeologi Sumatera Utara menduga hewan tersebut menggambarkan seekor monyet. Tinggi batu sekitar 33 cm dengan lebar 31 cm dan tebal 13 cm (Nasoichah et al. 2018, 69).
Hewan adalah ‘rekan’ manusia sebagai sesama makhluk hidup yang mendiami bumi. Mereka memainkan peran penting dalam aspek ekonomi maupun spiritual (Sibeth 2007, 308). Oleh karena itu tidak mengherankan jika keterkaitan budaya manusia masa lalu dengan penggambaran hewan adalah hal yang tidak dapat dikesampingkan.
Hewan sering dijumpai dalam mitos agama kuno di banyak tempat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Terdapat teori yang mengatakan bahwa mitos tersebut tercipta karena manusia secara instingtif menyadari kedekatan hubungannya dengan hewan, tanaman, dan elemen alam lain yang berada di sekeliling mereka (Edwards 1900, 42). Manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan akan sumberdaya alam sehingga dari situlah tercipta hubungan yang kuat antara kedua belah pihak (Hidayati 2011, 37).
Masyarakat Angkola-Mandailing kuno menganut sipele begu atau perbegu, yaitu perpaduan antara animisme (kepercayaan bahwa setiap benda memiliki roh) dan dinamisme (kepercayaan bahwa setiap benda memiliki kekuatan (Siahaan 1982, 25). Besar kemungkinan Sutan Nasinok Harahap juga salah satu penganutnya. Beberapa keturunannya juga meyakini bahwa Sutan Nasinok Harahap adalah penganut sipele begu.
Para penganut kepercayaan ini meyakini bahwa roh-roh juga terdapat pada hewan. Misalnya burung hantu dianggap memiliki roh jahat. Bunyi burung hantu di tengah malam dianggap sebagai pertanda yang tidak baik (Siahaan 1982, 91). Kucing, terutama yang berwarna hitam, mempunyai keistimewaan khusus karena dapat disuruh untuk mengganggu atau menyakiti orang lain dengan menggunakan ilmu magis. Hewan yang paling ditakuti adalah ular karena dianggap penjelmaan dari bermacam roh. Sementara harimau, selain ditakuti karena kebuasannya, kemunculannya juga dianggap sebagai pertanda ketidakberesan (Siahaan 1982, 90–91).
Selain menjadi bagian dari religi, hewan juga dijadikan sebagai ragam hias atau ornamen. Hal ini dikarenakan alam pikiran manusia terhadap sumberdaya alam yang berperan dalam kehidupannya tidak hanya berhenti pada kepentingan akan pemenuhan kebutuhan pokok semata namun juga tertuang dalam seni (dan juga religi) (Hidayati 2011, 37).
Ornamen, baik dalam bentuk dua maupun tiga dimensi adalah hal yang lazim dijumpai pada peninggalan budaya Batak pada umumnya dan Angkola-Mandailing pada khususnya. Kebanyakan ornamen dapat dijumpai di rumah-rumah tradisional, utamanya bagas godang (rumah besar) yang ditinggali oleh raja beserta keluarganya. Bagian rumah yang paling banyak dihiasi ornamen adalah tutup ari atau bidang berdenah segitiga yang terdapat pada atap. Selain pada bangunan tradisional, ornamen juga dapat dijumpai pada benda-benda pakai, sakral maupun profan, seperti misalnya pada senjata, peralatan rumah tangga, tenun tradisional, dan lain sebagainya.
Menurut tradisi tutur Angkola-Mandailing, ornamen (gorga menurut bahasa setempat) tercipta karena namora natoras berusaha untuk mewujudkan adat dalam bentuk tanda atau gambar. Namora natoras adalah sebutan bagi para pendamping raja sekaligus penasehat dalam mengambil keputusan terkait masalah peradatan menyangkut huta (kampung) (Nasution 2005, 34). Adat-istiadat adalah pedoman penghayatan hidup warga secara lahir maupun batin di masa lalu. Adat adalah hukum yang harus dipatuhi. Semua masyarakat yang tinggal di kampung tersebut harus mematuhi adat yang ditetapkan oleh namora natoras mereka (Tim Peneliti 1980, 124). Besar kemungkinan, konversi adat yang intangible menjadi tanda atau gambar yang lebih bersifat tangible merupakan upaya untuk ‘menyederhanakan’ adat. Masyarakat pendukungnya diharapkan dapat lebih mudah dalam memahami adat istiadat dengan penyesuaian tersebut.
Masih menurut tradisi tutur, gagasan tersebut diwujudkan oleh panggorga, ahli yang memiliki kemampuan dalam ukir-mengukir. Cara yang digunakan untuk memudahkan penciptaan ornamen tersebut dilakukan dengan mengambil ide dari hal-hal yang ada di sekitarnya, seperti tanaman, benda pakai sehari-hari dan hewan. Untuk Pengadopsian figur hewan ke dalam wujud ornamen, umumnya yang dipilih adalah hewan yang mereka kenal dan makna ornamen disesuaikan dengan sifat atau pembawaan hewan tersebut (Tim Peneliti 1980, 124–25).
Belum diketahui apakah tujuan penggambaran hewan di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap adalah juga termasuk upaya untuk menyederhanakan adat. Namun besar kemungkinan mereka memang mengambil ide dari hal-hal yang ada di sekitar. Ayam dan jenis unggas lain beserta cecak atau kadal adalah hewan yang gampang ditemukan di manapun. Adapun kera atau monyet juga dapat dijumpai dengan mudah di wilayah tersebut bahkan hingga kini.
Latar belakang penggunaan hewan-hewan tersebut pada batu-batu di makam tampaknya masih hidup di benak masyarakat setempat. Bapak Sutan Hamonangan Harahap (67 tahun), misalnya, beranggapan bahwa motif-motif hewan dapat dihubungkan dengan sifat hewan-hewan tersebut. Ia menganggap ornamen dua ekor unggas yang saling berhadapan di Makam Sutan Nasinok Harahap melambangkan perdamaian atau ketiadaan perselisihan. Sementara Bapak Darman Harahap (43 tahun), beranggapan bahwa ornamen tersebut bermaksud untuk menunjukkan bahwa Sutan Nasinok Harahap adalah raja yang adil. Keduanya mengidentifikasi unggas tersebut sebagai ayam jantan.
Benar-tidaknya pendapat tersebut, penggunaan ayam dalam ornamen Angkola-Mandailing memang sudah dikenal. Hanya saja, meski sama-sama ayam, namun penggambaran maupun makna antara ornamen ayam di Makam Sutan Nasinok Harahap dan ornamen ayam pada bangunan tradisional tersebut sangat berbeda.
Gambar 8. Ornamen manuk na bontar
(Sumber: Tim Peneliti, 1979/ 1980)
Ornamen ayam yang disebut manuk na bontar (ayam putih) ini melambangkan hukuman bagi pelanggaran adat. Jika ada orang yang melanggar adat dalam suatu kampung, maka ia akan dihukum dengan memotong kerbau, memberi makan orang banyak, serta melepaskan seekor ayam putih. Ia juga akan diusir dari kampung dan harus memutuskan hubungan dengan kerabat di kampung tersebut (Tim Peneliti 1980, 138). Tentu hal ini berbeda jauh dengan makna ornamen ayam di Makam Sutan Nasinok yang dianggap masyarakat sekitar melambangkan keadilan dan kedamaian.
Selain pada masyarakat Angkola-Mandailing, ayam adalah hewan yang populer bagi masyarakat Batak lainnya karena ayam dianggap istimewa dari sisi ekonomis sebab mampu menyediakan dua jenis makanan, yaitu daging dan telur. Dilihat dari sisi spiritual, dewa-dewa utama dalam agama kuno Batak Toba yaitu Batara Guru, Mangala Bulan, dan Soripada dikisahkan berasal dari telur ayam kosmis yang dibuahi oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Sibeth 2007, 308).
Ayam juga merupakan hewan yang lazim dikorbankan pada upacara-upacara agama kuno (Sibeth 2007, 308). Salah satu contohnya adalah upacara mangupa yaitu upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Angkola-Mandailing untuk memohon agar orang yang diupa mendapatkan keselamatan. Upacara ini dilakukan pada waktu perkawinan, kelahiran, dan masuk rumah baru. Salah satu bahan yang disediakan pada waktu mangupa adalah manuk (ayam) panggang yang memiliki makna keberanian (Siahaan 1982, 95–97).
Banyak tempat di Indonesia yang mengenal ayam sebagai lambang keberanian dan kebangsawanan. Bangsa Batak juga meyakini ayam melambangkan kemakmuran dan kesuburan. Kemampuan berkembang biak ayam yang luar biasa dianggap patut dicontoh oleh manusia sehingga mereka mampu berketurunan dengan baik dan mendapatkan kekayaan (Sibeth 2007, 308).
Gambar 9. Ornamen barapati
(Sumber: Tim Peneliti, 1979/1980)
Selain ayam, unggas lain yang dikenal dalam ornamen Angkola-Mandailing adalah burung merpati atau disebut juga barapati. Burung ini menggambarkan masyarakat yang mencari nafkah sehari-hari laksana burung merpati yang pergi pagi dan pulang petang (Siahaan 1982, 137).
Reptil adalah juga jenis hewan yang sering dijadikan ornamen. Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap memiliki sebuah batu pipih yang dihiasi ornamen mirip hewan cecak atau kadal. Cecak ataupun kadal adalah hewan populer dalam religi Batak kuno sehingga sering ditemukan pada bangunan-bangunan tradisional serta benda-benda pakai.
Gambar 10. Gorga boraspati dari Batak Toba
(Dokumentasi Disbudparsu, 2016)
Merupakan hal yang lazim pada bangunan tradisional Batak Toba jika terdapat ornamen (gorga) cecak atau kadal yang dinamakan boraspati atau bujonggir. Hewan ini dianggap bertuah bagi orang Batak karena diyakini dapat meramalkan masa depan melalui tingkah laku dan suaranya. Bujonggir juga diyakini mampu melindungi manusia serta dapat menganugerahkan tuah maupun kekayaan. Gorga boraspati pada etnik Batak Toba umumnya dipahatkan pada kayu dan digambarkan secara naturalis dengan ujung ekor bercabang dua (Tim Peneliti 1980, 34–35).
Gorga boraspati juga dapat dijumpai pada bangunan tradisional Simalungun. Sama seperti Batak Toba, etnik Simalungun juga menganggap boraspati sebagai pelindung. Berbeda dari boraspati Batak Toba yang lebih naturalis, penggambaran cecak pada etnik ini sudah dideformasi hingga menyerupai motif geometris dan dibuat dari tali ijuk (Tim Peneliti 1980, 63). Namun mereka juga mengenal gorga bindoran (bunglon) yang bentuk naturalisnya sedikit mengingatkan pada gorga boraspati Batak Toba. Perannya juga sama dengan boraspati, yaitu sebagai pelindung dari mara bahaya (Tim Peneliti 1980, 75).
Gambar 11. Gorga boraspati dari Simalungun
(Sumber: Tim Peneliti. 1970/ 1980)
Gambar 12. Gorga bindoran dari Simalungun
(Sumber: Tim Peneliti, 1970/1980)
Gambar 13. Gerga pengretret dari Karo
(Sumber: Tim Peneliti. 1970/ 1980)
Pada etnik Karo terdapat gerga (ornamen) beraspati yang juga lazim disebut pengeretret atau pengretret. Deformasi cecak menjadi ornamen geometris ini mengingatkan pada gorga boraspati milik Simalungun. Gerga ini dibuat dari tali ijuk dan lazim dijumpai pada dinding rumah. Gerga ini juga dianggap mampu melindungi dari setan sekaligus melambangkan persatuan masyarakat (Tim Peneliti 1980, 101).
Gambar 14 dan 15. Gerga niperkelang (atas) dan gerga beraspati (bawah) dari Pakpak
(Sumber: Tim Peneliti. 1970/ 1980)
Etnik Pakpak mengenal dua buah gerga yang menggambarkan cecak atau kadal. Pada gerga pertama, sepasang cecak digambarkan secara naturalis dalam posisi saling berhadapan. Ornamen ini dinamakan gerga beraspati. Pada gerga kedua yang bernama niperkelang, cecak sudah mengalami deformasi sehingga mirip dengan gorga boraspati dari Simalungun dan gerga pengretret dari Karo. Kedua ornamen ini juga memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai pelindung (Tim Peneliti 1980, 162–67).
Pada wilayah budaya Pakpak juga terdapat peninggalan batu kelang, yaitu batu pipih yang pada permukaan atasnya terpahat kelang atau hewan sejenis cecak atau kadal. Batu ini banyak ditemukan di wilayah budaya Pakpak, utamanya di kuta-kuta (perkampungan) lama. Batu kelang dijadikan sebagai objek dalam upacara rutin yang dilaksanakan setiap menjelang musim tanam dengan harapan akan terhindar dari kegagalan panen (BP3 Banda Aceh 2008, 46).
Cecak atau kadal juga memiliki tempat dalam mitologi kuno Batak, khususnya Batak Toba. Salah satu tokoh dewa, yaitu Raja Odap-Odap yang merupakan putra dari Mangala Bulan (salah satu dewa utama) digambarkan berwujud cecak. Kelak, setelah mengalami penolakan karena wujudnya, ia menikahi Si Boru Deak Parujar yang merupakan puteri dari dewa utama lainnya, yaitu Batara Guru. Salah satu keturunan dari keduanya adalah Si Raja Batak yang diyakini oleh sebagian besar orang Batak sebagai nenek moyang mereka (Sibeth 2007, 21–22). Tokoh lain yang juga berwujud cecak adalah Boraspati/Beraspati ni Tano, dewa pendukung yang bertanggung jawab atas kesuburan tanah sehingga manusia dapat diberkati dengan hasil panen yang melimpah (Sipayung 1996, 2). Mengingat masyarakat Batak kuno kebanyakan berprofesi sebagai petani, maka dewa ini memiliki kedudukan penting dalam kehidupan mereka.
Meski lazim, namun ornamen yang sama justru tidak ditemukan pada bangunan-bangunan Angkola-Mandailing. Reptil yang sering dijumpai penggambarannya adalah ular atau ulok yang dipakai untuk menggambarkan kemuliaan seorang raja yang bertindak sebagai pelindung dan pemersatu rakyatnya (Tim Peneliti 1980, 137). Meski demikian, bukan tidak mungkin penggambaran hewan cecak atau kadal pada batu pipih di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap memiliki makna yang sama dengan makna penggambaran cecak atau kadal pada peninggalan budaya masyarakat Batak lainnya, yaitu sebagai pelindung dari marabahaya atau sebagai penanggung jawab atas kesuburan tanah.
Gambar 16. Ornamen ulok
(Sumber: Tim Peneliti, 1979/ 1980)
Dua buah relief yang diidentifikasi sebagai monyet bisa jadi memang menggambarkan hewan yang sama. Meskipun tidak ditemukan pada gorga Angkola-Mandailing, namun ornamen monyet atau hewan lain sejenisnya dapat dijumpai pada etnik Pakpak (gerga protor kerra) dan Simalungun (gorga bodat marsihutuan atau monyet mencari kutu). Keduanya tidak digambarkan secara naturalis. Gorga bodat marsihutuan berarti monyet yang mencari kutu di kepala temannya. Hal ini menunjukkan makna gotong royong atau saling bekerja sama (Tim Peneliti 1980, 62–63). Sementara gerga protor kera menggambarkan rombongan kera yang berbaris. Makna ornamen ini hampir sama dengan gorga bodat marsihutuan, yaitu agar manusia saling bekerja sama dalam mendapatkan rezeki. Makna lainnya adalah ketaatan pada pimpinan (Tim Peneliti 1980, 165).
Lantas apakah tujuan di balik pembuatan figur-figur hewan tersebut? Tujuan pembuatan karya seni adalah sama, yaitu agar dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk tujuan tertentu (Munandar 1996, 6). Besar kemungkinan jika tujuan para seniman di balik pembuatan figur hewan tersebut agar masyarakat bisa meresapi nilai dan makna di baliknya. Dapat dikatakan hewan-hewan yang digambarkan pada batu-batu pipih tersebut memiliki makna yang baik. Dengan demikian diharapkan agar masyarakat dan keturunannya akan dapat terus menjalankan nilai-nilai luhur yang dianut oleh nenek moyang mereka.
KESIMPULAN
Meskipun sulit untuk mencari jawaban pasti di balik penggambaran figur hewan pada batu-batu pipih di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap namun setidaknya analisis yang dilakukan dapat memberikan sedikit gambaran.
Ada banyak alasan mengapa masyarakat memahatkan gambar hewan-hewan tersebut. Salah satunya karena hewan adalah support system manusia dalam menjalani kehidupan, baik dari segi ekonomi (sebagai sumber makanan dan mata dagangan) maupun dari sisi spiritual (sebagai objek pemujaan ataupun bahan upacara).
Mereka juga menjadikan hewan sebagai ornamen atau ragam hias. Tradisi tutur Angkola-Mandailing menyebutkan bahwa pembuatan ornamen pada rumah adat maupun benda pakai dikarenakan namora natoras berusaha untuk mewujudkan adat dalam bentuk tanda atau gambar dengan mampu memudahkan pemahaman masyarakat. Penciptaan ornamen tersebut dilakukan dengan mengambil ide dari hal-hal yang ada di sekitar mereka, salah satunya hewan.
Belum diketahui apakah tujuan penggambaran hewan di Kompleks Pemakaman Sutan Nasinok Harahap adalah upaya untuk menyederhanakan adat. Namun besar kemungkinan mereka memang mengambil ide dari hal-hal yang ada di sekitar mereka mengingat hewan yang dipahatkan pada batu-batu pipih tersebut adalah jenis hewan yang mudah ditemukan di wilayah tersebut.
Makna di balik penggambaran hewan tersebut disesuaikan dengan sifat atau pembawaan hewan yang digambarkan. Hal ini diketahui melalui hasil wawancara dengan penduduk setempat serta perbandingan dengan ornamen serupa dari masyarakat Angkola-Mandailing dan masyarakat Batak lainnya. Bisa jadi tujuan pemahatan figur hewan pada batu-batu pipih tersebut agar masyarakat dan keturunan mereka dapat meresapi nilai dan makna yang ada di baliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Bangun, Payung. 1987. Kebudayaan Batak’ Dalam Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
BP3 Banda Aceh. 2008. “Pendataan Situs/Benda Cagar Budaya Kabupaten Pakpak Bharat Propinsi Sumatera Utara.” Banda Aceh.
BPS Kabupaten Padang Lawas Utara. 2018. Kecamatan Batang Onang Dalam Angka 2018. Padang Lawas Utara: BPS Kabupaten Padang Lawas Utara.
Deetz, James. 1967. Invitation to Archaeology. New York: Natural History Press.
Edwards, Charles L. 1900. “Animal Myths and Their Origin’.” The Journal of American Folklore 13 (48): 33–43.
Hidayati, Diah. 2011. “Batu Boraspati Dan Batu Kelang, Keterkaitannya Dengan Kehidupan Agraris Masyarakat Pakpak.” Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 27, no. 27: 36–51.
Kozok, Uli. 2009. Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak Dan Cap Si Singamangaraja XII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Munandar, Agus Aris. 1996. “Konsep Pengarcaan Megalitik Dan Kesinambungannya Pada Masa Hindu-Buddha Di Indonesia.” Seminar Prasejarah Indonesia I. Yogyakarta.
Nasoichah, Churmatin. 2017. “Makam Kuno Sutan Nasinok Harahap, Pola Penguburan Etnis Batak Angkola-Mandailing Di Padang Lawas Utara.” Forum Arkeologi 30 (1): 55–64.
Nasoichah, Churmatin, Andri Restiyadi, Repelita Wahyu Oetomo, Khairunnisa, Ivonne Visse Karina Purba, Danri Agus Siagian, and Nagasakti Harahap. 2019. “Laporan Penelitian Arkeologi: Konteks Penguburan Kompleks Makam Kuno Sutan Nasinok Harahap Di Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara.” Medan.
Nasoichah, Churmatin, Nenggih Susilowati, Repelita Wahyu Oetomo, Taufiqurrahman Setiawan, and Pesta Siahaan. 2018. Sebaran Makam Kuna Di Kompleks Makam Sutan Nasinok Harahap, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Berita Penelitian Arkeologi. Medan: Balai Arkeologi Sumatera Utara.
Nasution, Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Medan: Forkala Provinsi Sumatera Utara.
Siahaan, EK. 1982. “Laporan Survay: Monografi Kebudayaan Angkola-Mandailing Di Kabupaten Tapanuli Selatan.” Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara.
Sibeth, Achim et al. 2007. Batak Sculpture. Singapura: Editions Didier Millet Pte Ltd.
Sipayung, Hernauli. 1996. Peralatan Upacara Religi Batak Toba. Medan: Museum Neg. Prop. Sum. Utara.
Susilowati, Nenggih. 2017. “Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 20 (1): 48–65.
Tim Peneliti. 1980. “Laporan Penelitian Pengumpulan Dan Dokumentasi Ornamen Tradisional Di Sumatera Utara.” Medan.
Informan:
1. Sutan Hamonangan Harahap, 67 tahun
2. Darman Harahap, 43 tahun